BAB 56

1022 Kata
Di sebuah hutan belantara yang dipenuhi oleh pepohonan besar berusia puluhan tahun, seekor makhluk kecil tertidur pulas di antara rerumputan yang rimbun. Sudah bebeapa hari ia tertidur di sana. Tanpa bangun, tanpa makan apalagi bergerak. Seolah ia tak bernyawa lagi. Namun, masih ada napas kehidupan dalam diri makhluk malang tersebut. Dia, dia yang berwarna hitam legam dan bermata keemasan. Meskipun begitu ia terlihat cukup imut, dan bentuknya cukup lucu menggemaskan. Zrasss! Tanpa mendung, hujan tiba-tiba turun membasahi bumi malam itu. Begitu derasnya, hingga hutan yang masih sangat alami tersebut sanggup tertembus olehnya. Si makhluk malang itu, mengerjapkan matanya saat merasakan tetesan demi tetesan air hujan. Seluruh tubuhnya terasa sejuk, setelah bebrapa hari ini rasanya seperti terbakar akhirnya terasa begitu nyaman. “Meong ... meong ....” Suaranya yang lemah mulai terdengar. Itu adalah suara yang pertama kali keluar dari mulutnya. Begitu lemah dan lirih. “Meong ... meong ...” (Di manakah aku?) Ia mulai menggerakkan tubuhnya, lalu mengangkat kepalanya. Ia menoleh ke sana kemari seolah mencari sesuatu. Akan tetapi, berapa kali pun ia memikirkannya, ia tak merasa ingin melakukan apa pun. Ia bahkan jadi sangat kebingungan. Bingung akan semuanya. Aku ini siapa? Aku ini mahkluk apa? ucapnya dalam hati seraya mengangkat kakinya yang berbulu. Kenapa kakiku dipenuhi bulu? Sesungguhnya wujudku seperti apa? Aku merasa sepertinya wujudku yang sebelumnya tidak sejelek ini. Grukkk. Perut makhluk kecil itu berbunyi layaknya seorang manusia. Ah, aku sangat lapar. Aku harus memakan sesuatu. Makhluk itu mendongak dan tetesan air hujan kembali menyapanya. Si hitam manis lantas membuka mulutnya, juga menjulurkan lidahnya agar air hujan bisa masuk dan membasahi kerongkongannya yang terasa sangat kering. Mungkin cukup ini dulu, cukup minum air untuk melegakan dahagaku. Mungkin besok pagi aku baru akan mencari makanan untuk mengganjal perutku. Makluk itu bergidik ngeri jika ia harus berjalan di tengahnya kegelapan hutan belantara. Ia takut akan segalanya. Takut pada hewan lain yang mungkin saja akan memangsanya. Dengan langkah tertatih, ia berjalan menuju ke tempat yang teduh. Pangkal pohon dengan akar yang terkeluar dari tanah yang menjadi tujuannya. Di sana, ia setidaknya bisa bersembunyi dari ancaman hewan lainnya. *** Hap! Si hitam manis melompat dalam satu gerakan menangkap seekor capung yang terbang di atas kepalanya. Berhasil, Si manis tampak bahagia karena ada makanan yang bisa ia makan siang itu. Manis menutup matanya, kemudian melahap makhluk yang masih bergerak-gerak itu dengan cepat. Dalam hati manis merasa bersalah larena harus membunuh makhluk kecil itu demi memuaskan rasa lapar di perutnya. Namun, apa yang bisa ia lakukan saat ia tak bisa makan apa pun selain dari golongan hewani. Tiga jam yang lalu. Matanya terbuka, ternyata hari telah berganti pagi. Gelap yang ia takuti sejak semalam telah lenyap disapu oleh cahaya sang surya. Pemandangan alam yang penuh dengan warna hijau langsung menyambutnya. Kini tampak jelas, tempat seperti apa yang ia tinggali sekarang. Keadaan tempat itu begitu sepi, hanya sesekali terdengar suara serangga yang berterbangan atau hinggap di dedaunan. Grukk. Perut si hitam manis terasa perih melilit setelah beberapa hari ia tidak menyantap apa pun. Bahkan sejak semalam, ia hanya minum sedikit air hujan sebagai pereda dahaganya. Aduh, perutku. Sepertinya aku harus mencari makanan. Hitam manis bangkit dari tidur yang nyaman lalu menggeliat kecil. Setelahnya, ia mulai berjalan berkeliling mencari buah yang bisa ia makan. Hah! hah! Hah! Si manis mulai kelelahan setelah mengitari tempat itu berkali-kali dan tak kunjung mendapatkan makanan untuknya. Tak ada satu pun buah-buahan yang ia jumpai. Aduh, aku lapar sekali. Tapi apa yang bisa aku makan? Bahkan pohon buah-buahan pun tidak tersedia. Si hitam manis tampak putus asa. Baiklah, aku akan makan rumput saja. Itu lebih baik daripada aku mati kelaparan di tempat ini. Si hitam manis mulai menggigit tumbuh-tumbuhan yang di sekitarnya. Memakan dedaunan yang sangat tidak jelas rasanya. Namun, si hitam manis menahannya, demi bertahan hidup. Mungkin setelah ini ia harus mulai mengembara ke seluruh hutan, mencari tempat tinggal yang memiliki sumber makanan melimpah. Si hitam manis terus saja memakan dedaunan, hingga pada akhirnya rasa lapar tak mendera lagi. Namun, baru saja makhluk itu berhenti mengunyah, rasa mual yang teramat menyerang perutnya. Bergejolak dan akhirnya tertumpah. Hitam manis memuntahkan semua dedaunan yang ia makan. Hoek! Semua terkeluar dari perutnya tanpa terkecuali. Terkuras habis tak menyisakan apa pun. Kenapa perutku tidak mau menerimanya? Apa ada yang salah? Hitam manis sangat sedih karena kini ia merasakan lapar lagi. Bahkan semakin terasa melilit setelah ia memuntahkan semuanya. Apa yang harus aku makan? Si manis meringkuk di rerumputan, membiarkan tubuhnya yang lemas teronggok di sana diterpa sinar matahari pagi. Seekor katak melompat-lompat di hadapan si manis. Katak itu berhenti tepat di hadapannya, berjarak kurang lebih satu meter. Katak itu tampak mendongak dan membuka mulutnya. Tak lama kemudian, lidahnya terjulur dan menangkap makhluk kecil berwarna hitam lalu menelannya. Lalat! Euhhh! Si hitam manis ingin muntah lagi menyaksikan pemandangan di depannya. Kenapa? Apa salah kalau aku makan lalat? Kau pikir, makananmu apa? Setelah ini, aku yakin Kau juga akan memakan serangga. Si hitam manis terkejut karena katak itu bisa mendengar suara hatinya. Bahkan katak itu bicara padanya. Tidak! Aku tidak akan memakan benda menjijikkan seperti itu, sangkal si hitam manis. Katak itu tertawa. Jangan angkuh kucing kecil! Di hutan ini hanya ada banyak serangga dan hewan besar lainnya. Lalu apa yang akan Kamu makan? Singa? Harimau? Itu tidak akan mungkin. Hanya serangga kecil yang bisa Kamu makan di tempat ini. Kucing? Hitam manis sangat terkejut saat katak itu berkata bahwa ia adalah seekor kucing. Tidak mungkin! Tidakk! Kamu seekor kucing. Bagaimana bisa Kamu tidak tahu kalau dirimu adalah kucing? Kamu memang sangat aneh. Tidak, aku tidak aneh. Seingatku aku bukan makhluk seperti itu. Aku ... aku .... Hitam manis bahkan tidak bisa mengingat bagaimana wujud dirinya yang sebelumnya. Lihatlah, Kamu benar-benar aneh. Lebih baik Kamu sekarang pergi ke telaga dekat sini. Berkacalah, lihat wujudmu di sana.' Setelah berkata demikian, sang katak melompat-lompat, pergi menjauh dari si hitam manis. Si manis ingin berkata, di mana letak telaga itu. Setidaknya ia bisa berburu ikan di sana, tetapi terlambat. Sang katak telah menghilang. Telaga? Haruskah aku pergi ke sana? Astaga! Kenapa aku harus menuruti ucapan katak itu? Aku tidak aneh. Aku tidak akan melakukan apa yang katak itu suruh.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN