BAB 3

1068 Kata
Negeri indah, nun jauh di sana yang terletak di lapisan langit ke tujuh. Negeri makmur dan sentosa, dihuni oleh para dewa dan dewi yang rupawan dan terhormat. Tersebutlah negeri Nirvana, negeri para dewa yang dipimpin oleh seorang raja yang bijaksana. Negeri sihir yang tersembunyi dari mata dunia sejak ribuan tahun silam. Alkisah, sebuah keluarga dewa yang memiliki kedudukan tinggi di Nirvana. Athura, sang menteri perang yang paling dipercayai oleh raja Phillips dan ratu Selena. Athura adalah dewa yang memiliki tujuh orang putri yang cantik jelita. Amayra, Althea, Agni, Apsara, Alora, Alodia, dan Aurora adalah putri dari Athura dan dewi Gaia. Kecantikan mereka tersohor di mana-mana. Bahkan sampai ke pelosok negeri sekali pun. Tidak ada yang tidak mengenal mereka. Namun kecantikan tak serta merta membuat para putri Athura memiliki budi luhur. Semua putri cantik itu memiliki watak masing-masing. Amayra terkenal sombong dan kejam. Althea terkenal dengan kepribadiannya yang dingin. Sedangkan putri-putri yang lainnya dikenali sebagai putri yang manja dan egois. Namun, satu di antara mereka yang memiliki sifat yang berbeda. Aurora, sang putri bungsu yang memiliki wajah paling rupawan di antara yang lainnya. Selain cantik, Aurora juga memiliki sifat baik hati dan tidak sombong. Aurora yang sedikit berbeda dengan mereka mulai mereka kucilkan. Para saudaranya menganggap dirinya mencari perhatian dengan berpura-pura baik. Hingga akhirnya para saudara Aurora pun tega membulinya. Mereka sering melimpahkan pekerjaan mereka pada sang adik. Mereka juga memperlakukan Aurora seperti pembantu. Namun, Aurora tidak pernah marah atau sedih. Ia merasa senang bisa membantu para saudaranya. Hari itu, hari di mana pelangi menghiasi langit nan biru. Para putri Athura sedang bermain-main di tepi sungai. Mereka bersenang-senang. Saling berbagi cerita dan tertawa. Sesekali mereka bermain dengan kawanan kupu-kupu yang berterbangan mengelilingi taman bunga di tepi sungai itu. Mereka terlihat begitu bahagia dan tertawa. Di antara mereka bertujuh, ada seorang yang tidak diizinkan ikut bermain. Aurora, sang putri bungsu itu tidak boleh ikut mereka dan harus mencucikan pakaian mereka di sungai. Namun, Bungsu tidak merasa sedih ataupun sakit hati. Ia cukup senang melihat para saudaranya tertawa di atas sana. "Hei! Kenapa tidak ikut bermain?" Suara yang tiba-tiba muncul di belakang Aurora, membuat gadis itu sangat terkejut. Gadis itu lantas menoleh dan melihat seorang pria berpakaian biasa berdiri di belakangnya. "Maaf, Tuan. Alangkah tidak sopan jika Anda berada di tempat ini. Di tempat para wanita sedang mencuci pakaiannya. Bahkan di tempat ini pula kami mandi dan membersihkan diri," ucap Aurora dengan menundukkan kepala. Gadis itu merasa sangat malu karena kain yang terikat di pinggulnya saat ini basah dan membentuk lekuk tubuhnya. "Baiklah, aku akui, aku bersalah. Tapi, katakan dulu, kenapa Kamu tidak main dengan mereka!" perintah pria itu. "Apakah Tuan tidak melihat? Pekerjaanku sangat banyak. Bagaimana bisa aku bermain-main?" Aurora berbicara dengan begitu berani. Pria itu mengernyitkan kening, menatap tujuh bakul berisi pakaian yang sudah dicuci. "Sebanyak ini, semua pakaianmu?" "Tentu saja tidak, Tuan. Ini adalah baju saya dan saudari-saudari saya," ucap Aurora seraya menunjuk ke atas sana, di mana para putri sedang bersenang-senang. "Eits! Jangan pernah berpikiran untuk mencurinya seperti kisah dongeng," ancamnya. Pria itu tertawa. Ia merasa sosok gadis yang ada di hadapannya begitu unik dan menarik. Sebentar kemudian ia kembali bertanya untuk memuaskan rasa penasarannya. "Lalu, kenapa hanya Kamu yang bekerja?" "Mereka adalah kakak-kakakku. Jadi tidak ada salahnya kalau aku mencucikan baju mereka. Ah, sudahlah! Sebaiknya Tuan segera pergi, saya masih banyak pekerjaan," usir Aurora. "Baiklah, aku akan pergi. Tapi sebelum pergi aku ingin mengetahui namamu," ucap pria itu. "Hm, tidak akan aku beritahu," ucap Aurora ketus. Lagi-lagi pria itu tertawa. Namun, anehnya ke enam saudara Aurora tidak menyadari kehadirannya. "Kenapa?" tanya pria itu saat Aurora terus menatap ke atas sana. "Bagaimana mereka tidak menyadarinya, saat Kamu tertawa dengan begitu kencang," gumam Aurora masih bisa didengar pemuda itu. "Bagaimana? Eum, aku akan menjelaskan caraku. Tapi, aku mau Kamu katakan namamu! Ayo, katakan siapa namamu!" ucap pria itu. "Kenapa aku harus peduli dengan caramu. Baiklah, aku akan menganggapmu hantu, ya begitu saja!" ucap Aurora. Pria itu tertawa kembali. Semakin tertarik dengan gadis itu. "Bagaimana bisa Kamu bilang pria setampan aku ini adalah hantu?" "Astaga, pria ini percaya diri sekali!" umpatnya. "Tapi memang tampan sih," tambahnya dalam gumaman. Pria itu tersenyum karena ia bisa mendengar ucapan Aurora meski begitu lirih seperti suara semut. "Kenapa senyum-senyum begitu. Jangan-jangan Kamu pria mes*m. Cepat pergi! Atau aku akan berteriak agar semua orang datang dan memukulimu," ancam Aurora lagi mulai jengah dengan kekeras kepalaan pria itu. "Coba saja!" tantang pria itu. "Kak! Tolong, Kak! Ada pria mes*m!" teriak Aurora memanggil kakak-kakaknya. "Pria mes/m? Mana?" tanya mereka berenam mencari-cari. "Ini!" Aurora menunjuk pada pria yang kini tersenyum-senyum sendiri itu. Namun, di pandangan ke enam saudaranya, tidak ada apa pun di sana. "Kamu ini gila, ya? Lihatlah! Si bungsu gila, karena pekerjaannya setiap hari hanya mencuci dan tak sempat bermain dengan kita," ejek Amayra. Mereka berenam lantas tertawa. "Mana mungkin seperti itu. Aku ini masih waras, tidak gila," gumamnya kesal. "Bagaimana bisa mereka tidak bisa melihat pria sebesar ini?" Aurora semakin kesal, saat melihat pria yang duduk di atas batu sungai itu tersenyum-senyum. "Puas! Kamu puas membuatku dianggap gila oleh saudara-saudaraku?" tanya Aurora kesal. "Atau ... jangan-jangan Kamu benar-benar hantu!" pekik Aurora. "Aku sudah bilang, tidak ada hantu setampan aku. Lagipula, ini siang hari. Siang-siang mana ada hantu. Cepat katakan namamu, atau aku tidak akan pergi dan terus mengganggumu," ancam pria itu. "Apakah kalau aku mengatakan namaku, Kamu akan pergi?" tanya Aurora. "Tentu saja. Aku pria! Aku akan selalu menepati janji," ucapnya yakin. "Baiklah, hanya namaku ya. Jangan berani mengganggu kehidupan kakak-kakakku yang berharga. Namaku Aurora, putri Athura sang panglima perang. Kalau Kamu berani macam-macam, aku akan memberitahukannya pada ayahku," ancam Aurora mulai membawa-bawa nama ayahnya agar pria itu pergi dan berhenti mengganggu. "Baiklah, baiklah! Aku akan pergi. Jangan katakan pada ayahmu itu. Aku sungguh takut jika harus berhadapan dengan orang besar di Nirvana ini," ucap pria itu. Sedetik kemudian, pria itu menghilang entah ke mana. Aurora tersenyum puas, tak sia-sia ia membawa nama ayahnya. Di hari berikutnya, pria itu datang kembali mengajak Aurora berbicara. menemani gadis itu melakukan pekerjaan. Pria itu tak mau pergi meski Aurora telah mengusirnya. Aurora juga mengabaikannya. Hingga akhirnya, gadis itu membiarkannya karena lelah. Anehnya, lagi-lagi semua orang tidak menyadari kehadiran pria itu. Membuat Aurora bertanya-tanya siapa dia sebenarnya. Begitu seterusnya, pria itu selalu datang dan mengajaknya bicara. Hingga akhirnya, Aurora mulai terbiasa dengan kehadiran pria tersebut. Aurora mulai menerima kehadirannya, meski ia tidak tahu asal usul pria misterius itu.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN