Athura membawa pulang jasad putrinya dengan langkah yang lemas. Sungguh ia tidak mau membuat istrinya bersedih. Namun, ia tak ingin Gaia lari dari kenyataan. Athura harus meyakinkan istrinya bahwa Aurora kini telah tiada. Mereka harus menerima takdir yang sudah disuratkan untuk putri bungsu mereka.
Sepanjang perjalanan menuju ke rumah, semua warga memandang Athura dengan perasaan yang sangat sedih. Tak sedikit dari mereka yang ikut menangis melihat kepala Aurora dan tubuhnya terpisah. Pemandangan yang sangat mengerikan. Apalagi saat tetesan darah menetes membuat jejak di jalanan yang Athura lalui. Jejak itulah yang mungkin akan membuat mereka terus mengingat tentang Aurora.
Para warga kenal betul bagaimana Aurora. Gadis cantik itu sangat baik hati dan penyayang. Putri bungsu Athura itu suka menolong dan berbelas kasih. Jadi, mereka sama sekali tidak percaya jika gadis sepolos Aurora bisa melakukan hal seperti itu. Mereka tidak percaya jika Aurora adalah gadis tamak.
Langkah kaki Athura semakin berat ketika mendekati rumah mereka. Di depan pintu sana, ia melihat istri dan keenam putrinya sudah menunggu dengan air mata yang berlinang. Mereka pun sama sedihnya dengan dirinya yang kehilangan Aurora.
Athura meletakkan jasad Aurora di depan pintu beserta dengan kepala gadis itu. Gaia menghambur memeluk jasad tanpa kepala itu dan menangis. Sementara para putri Athura membuang muka, bahkan ada yang muntah melihat pemandangan mengerikan itu.
"Maafkan Ibu, Nak. Maafkan Ibu yang tidak bisa menyelamatkanmu." Gaia menangis dan terus memeluknya.
"Urus jasadnya! Terserah Kamu mau minta tolong pada siapa. Aku tidak peduli. Aku akan masuk ke ruang kerjaku. Aku ingin di sana sampai besok pagi tanpa gangguan siapa pun." Setelah berbicara seperti itu, Athura memasuki rumah dan pergi ke ruang kerjanya.
Gaia menatap suaminya dengan kecewa. Ia tak bisa percaya, sosok ayah yang begitu hangat dan mencintai Aurora, kini bersikap sangat dingin dan tidak peduli. Padahal, pria itu juga adalah orang yang dengan kejam mengambil nyawa putrinya.
***
Hari telah senja. Sang mentari pun telah naik ke peraduan. Langit biru mulai berubah gelap dan menghitam. Hanya semburat jingga nun jauh di sana yang sedikit memberikan penerangan. Seorang pria berpakaian serba hitam melayang-layang di atas awan. Melawan angin yang berembus kencang dan dengan cepat melintas.
Lama ia bergerak di atas angin sampai ia melihat daratan berwarna hijau di bawah sana. Pria itu bernapas lega, tempat tujuannya telah dekat. Tempat yang sama sekali tidak diketahui orang dari dunianya.
Pria itu segera turun dan akhirnya mendarat di sebuah hutan belantara. Tempat yang penuh dengan pepohonan besar dan rumput liar. Tempat yang sunyi dan juga gelap. Pria itu menoleh ke sana-kemari. Memastikan ia memilih tempat yang aman. Kemudian dari dalam jubah yang ia pakai, ia mengeluarkan sesuatu. Sebuah makhluk kecil berwarna hitam legam. Makhluk itu tertidur lelap dan tidak sadarkan diri. Pria itu berjongkok dan meletakkan makhluk kecil itu di atas tanah. Kemudian dalam beberapa detik, ia mengusap-usap benda kecil itu dengan penuh kasih sayang.
Ia membuka penutup wajahnya, dengan wajah sedih dipandanginya makhluk kecil itu. "Maafkan Ayahanda, Nak. Hanya sebatas ini yang bisa Ayah lakukan untuk menyelamatkanmu. Setelah ini Kamu harus berjuang sendiri untuk hidup. Benar-benar sendirian dalam tempat seburuk ini. Tapi setidaknya, ini lebih baik daripada kematian. Ayah harap dengan wujudmu saat ini, Kamu bisa bertahan hidup. Sekali lagi, maafkan ayah." Pria itu mengusap kepala makhluk imut itu hingga muncul cahaya yang terang. "Setelah ini, Kamu tidak akan mengingat apa pun. Lebih baik begitu, agar Kamu tidak mengingat semua kepedihan dan penderitaan yang telah Kamu rasakan. Sampai suatu hari itu tiba, Ayah akan datang menjemputmu kembali."
Pria itu memasang penutup wajahnya, kemudian ia terbang kembali ke atas langit yang sangat tinggi. Kembali ke tempat seharusnya ia berada.
***
Malam sebelumnya.
Dewi Gaia berlutut di kaki suaminya, memohon agar Athura menyelamatkan putri bungsu mereka. Dewi Gaia terus saja menangis. Tidak rela jika putrinya mendapatkan hukuman mati. Ibu mana yang akan tega membiarkan putrinya kehilangan nyawa, apalagi jika itu di tangan sang ayah.
"Saya mohon, Tuanku. Selamatkan putri kita. Bagaimana saya bisa hidup tanpa dia?" Dewi Gaia tanpa lelah terus meminta meski hari telah larut malam.
"Berdirilah, Gaia. Jangan mengemis seperti itu. Karena apa pun yang Kamu lakukan sia-sia saja. Aku bukan seorang raja, aku tidak mempunyai kewenangan untuk mencabut atau meringankan hukuman untuk putri kita," ucap Athura.
"Kanda tahu betul, bagaimana sifat putri kita. Tidak mungkin putri kita seperti itu, Kanda. Tidak mungkin Aurora melakukannya." Gaia menangis, terus meratapi nasib putrinya. Wanita itu sama sekali tidak percaya bahwa Aurora mencoba mencuri lotus keabadian.
"Aku juga tidak mempercayainya. Tetapi putri kita sudah mengakuinya. Lalu aku bisa apa? Sudahlah, Gaia. Berhenti menangis. Kita harus merelakan apa pun yang akan terjadi besok." Athura bangkit dan meninggalkan istrinya menangis sendirian.
***
"Kakak, bagaimana nasib bungsu? Aku takut Kak ...," ucap Alora, kakak kelima Aurora. Gadis itu tampak panik setelah mendengar berita bahwa adik mereka tengah di siksa.
"Iya, Kak. Aku mendengar kabar dari prajurit istana, katanya adik bungsu akan dijatuhi hukuman mati," ucap Alodia, putri ke enam membenarkan.
"Mau bagaimana lagi? Kita hanya sedikit mengerjainya agar pertunangannya dengan pangeran Kai berakhir. Tapi siapa sangka semua akan jadi rumit begini dan membuatnya terancam mati?" ucap Althea, putri kedua dengan nada sedingin kutub utara.
"Tapi apakah kita tidak keterlaluan, Kak? Aku merasa sangat bersalah. Haruskah kita katakan yang sebenarnya?" Apsara ikut bersuara.
"Benar Kak, kalau kita tidak menipu dan memaksanya untuk mencuri lotus dia tidak akan celaka seperti ini. Kita harus menjelaskan pada raja. Siapa tahu Aurora akan mendapatkan pengampunan." Kini giliran Agni, kakak ketiga merasa bersalah.
"Biarkan saja! Untuk apa kita memikirkan nasib si bungsu. Biarkan dia merasakan akibatnya. Harusnya yang menikah dengan pangeran Kairos adalah aku. Bukan dia! Bukannya kalian juga akan senang? Setelah ini kasih sayang ibu dan ayah hanya akan ada untuk kalian berdua!" ucap Amayra, sang kakak tertua dengan menyilangkan tangan di depan d**a.
Amayra adalah putri tertua Athura. Namun, perangainya sedikit berbeda. Gadis itu begitu angkuh dan kejam.
"Kita semua terlibat. Kalau ada yang berani membuka mulut, maka kita semua yang akan celaka. Terserah! Itu pilihan kalian. Mau mati atau hidup dengan mengubur rahasia ini dalam-dalam," ucap Amayra dengan nada penuh ancaman.
Semua saudara Amayra menunduk dalam-dalam dan terdiam. Tak satupun dari mereka yang berani bersuara. Ucapan Amayra benar adanya. Semua orang terlibat. Mereka buka mulut, maka riwayat mereka akan tamat.