Sambil bernyanyi ia menjemur pakaian yang ia bawa dari sungai tadi. Bedanya, ia hanya menjemur pakaian miliknya sendiri. Tanpa menjemur baju kakak-kakaknya seperti yang biasa ia lakukan.
Aurora sedikit kesal, karena perasaannya yang tidak karuan. Rasanya sulit untuk diungkapkan saat para kakaknya itu menjodohkan dirinya dengan Kai. Bagi Aurora, hal itu sungguh mempermalukannya. Karena pada kenyataannya, hati Aurora memang tidak akan menolaknya. Aurora menyadari bahwa perlahan ia mulai menyukai pria itu. Dan ia benci mengakuinya, karena ia tahu Kai bukan tipe pria yang serius. Pria itu terlalu sembrono. Gadis itu tidak mau dipermainkan olehnya. Aurora juga yakin bahwa pria itu memiliki banyak kekasih, mengingat ketampanan yang dimiliki oleh Kai.
"Sepertinya aku harus minta maaf pada semua saudaraku, aku sadar kalau aku sudah bicara sangat keterlaluan," ucap gadis itu. "Argh! Maafkan aku kakak, aku tidak sengaja membentak dan berkata kasar pada kalian." Gadis itu benar-benar menyesal. Ia tidak menyangka akan menolak perintah saudarinya.
Bruk!
Suara bakul yang diletakkan di atas tanah dengan cukup kasar membuat Aurora sedikit terkejut. Rupanya Alodia dan Alora yang datang. Kedua gadis itu membawa bakul semua saudaranya ke tempat Aurora menjemur pakaian. Wajah keduanya masam dan tidak bersahabat.
"Jemur semua ini, atau Kak Amayra akan semakin marah. Dasar gadis kurang ajar. Berani sekali mempermalukan kakak di depan orang asing," ucap Alodia memeringati.
Aurora hanya diam saja. Ia tahu bahwa ia salah karena telah berbicara kasar. Namun, apa yang saudaranya lakukan padanya lebih kasar dibandingkan dengan apa yang ia lakukan. Aurora membuang napas kasar, mengendalikan emosinya.
Tanpa menunggu jawaban Aurora, kedua gadis itu berlalu begitu saja. Mereka berdua tidak peduli atau pun kasihan pada adik mereka yang harus mengerjakan semuanya seorang diri.
"Sabar, Rora! Sabar!" Gadis itu mengelus dadanya.
Aurora segera melanjutkan pekerjaannya karena hari semakin sore. Ia bergegas, ia harus segera mandi dan membantu menyiapkan makan malam.
***
"Bi, kenapa tidak ada sedikit pun makanan di atas meja? Kenapa juga tak ada bahan makanan di mana pun? Apakah Bibi lupa membelinya?" tanya gadis itu pada pelayan rumahnya saat tak ada apa pun di sana.
"Maafkan Bibi, Nona. Tadi ...." Pelayan rumah itu menjawab dengan terbata.
Aurora langsung bisa menyadarinya. Karena ini bukan pertama kalinya hal seperti itu terjadi. Gadis itu tersenyum dan memberikan sekeping emas pada wanita tua itu.
"Ambilah, Bi. Setidaknya Bibi tidak akan kelaparan malam ini," ucap Aurora dengan tersenyum.
"Lalu Nona?"
Gadis itu menggelengkan kepala. "Bibi tidak perlu mengkhawatirkan saya. Saya tadi sudah makan cukup banyak."
Pelayan rumah itu heran mendengar ucapan Aurora. Bahkan gadis itu baru pulang dan baru menginjakkan kaki di dapur. Kapan dan bagaimana bisa gadis itu sudah makan?
"Nona bohong, kan? Nona melakukan semua ini demi saya?"
"Tidak, Bi. Tadi Rora pergi dengan teman dan dia menjamu aku makanan banyak sekali, jadi Rora masih kenyang. Pergunakan uang itu baik-baik, Bi. Maaf Bibi jadi susah begini," ucap Aurora tidak enak hati.
"Apa yang Nona katakan. Ini bukan salah Nona," ucap pelayan itu.
"Lebih baik Bibi pergi ke pasar. Makan di sana lalu segera pulang," ucap gadis itu seraya tersenyum dengan manis.
"Terima kasih, Nona." Pelayan rumah itu sangat bersyukur karena masih ada Aurora yang berhati lembut di rumah itu. Jika tidak, entah bagaimana ia harus bertahan di rumah yang seperti neraka itu.
Maafkan saudara saya, Bi. Bibi jadi harus sering kelaparan saat suasana hati mereka sedang buruk, batin gadis itu sedih.
***
"Tidak ada gunanya kita menyingkirkan makanan di rumah ini, Kak. Dia bilang dia masih kenyang karena sudah makan," ucap Agni memberikan laporan setelah menguping pembicaraan Aurora dan pelayan secara diam-diam.
"Kurang ajar!" Amayra sangat marah karena gagal memberi gadis itu pelajaran.
"Kak, tapi ... dia sedari tadi bersama kita di sungai. Makanan pun telah kita singkirkan begitu kita sampai di rumah. Lalu, kapan ia makan?" ucap Althea merasa curiga.
"Ucapan Kamu benar juga, Thea."
"Tapi Kak ... jangan-jangan pria jelek dan dekil tadi yang memberinya makanan," duga Althea.
"Benar juga!" Amayra semakin geram dibuatnya.
"Ini tidak bisa kita biarkan, Kak. Kita harus memberinya pelajaran agar dia tidak berani melawan kita lagi," ucap Apsara.
"Kamu ada ide?" tanya Amayra.
Apsara mendekatkan bibirnya di telinga sang kakak tertua. Gadis itu lantas berbisik entah apa, membuat saudara yang lainnya penasaran.
"Bagus, Sara. Kamu memang pintar! Lihat saja, Rora! Apa yang akan Kami lakukan kepadamu," ucap Amayra penuh dendam.
***
Malam telah tiba. Gadis itu masih terlelap dalam mimpinya saat ia merasakan wajahnya basah seperti disiram air. Aurora gelagapan, hampir tersedak karenanya. Gadis itu bangkit dan melihat keenam saudaranya berdiri menatap penuh kebencian.
"Apa yang Kakak lakukan padaku?" tanya Aurora seraya menyeka wajahnya dengan lengan gaun tidurnya.
"Alora, Alodia! Bawa dia!" Bukannya menjawab pertanyaan Aurora, gadis itu menyuruh kedua adiknya membawa si bungsu.
"Baik, Kak." Dengan sigap, kedua gadis itu memegangi tangan Aurora menarik gadis itu dari ranjang tidurnya.
"A-apa yang akan kalian lakukan?" Terbata-bata gadis itu bertanya. Ia sungguh ketakutan, karena ia tahu para saudaranya sangat kejam.
"Menurutlah! Ayo jalan!" Alodia memeringati. Menarik paksa gadis itu dengan kejam. Bahkan gadis itu tanpa segan memelototkan matanya sebagai bentuk ancaman.
"Rasakan!" umpat Apsara. Gadis itu tersenyum puas. "Setelah ini aku yakin Kamu tidak akan berani melawan Kami lagi."
"Apa salah Rora, Kak? Rora minta maaf. Ampuni Rora, Kak!" Aurora memohon dengan air mata bercucuran.
Mereka membawa Aurora ke belakang rumah. Mereka terus menarik gadis itu menuju gudang belakang yang gelap dan sepi. Membawa Aurora tanpa menghiraukan permohonan gadis itu.
"Masukkan dia ke dalam sana, cepat!" perintah Amayra.
"Jangan, Kak! Jangan lakukan ini! Rora takut!" Gadis itu meronta, melawan meski tenaganya tidak sebanding dengan mereka.
Alodia dan Alora segera melemparkan Aurora ke dalam gudang kotor dan gelap itu. Dengan cepat, Apsara menutup pintu dan menguncinya. "Rasakan! Malam ini Kamu akan tidur di tempat yang sangat istimewa untukmu. Kami akan membukakan pintu untukmu besok pagi."
"Makanya jangan pernah berani melawan kami, atau Kamu harus menanggung akibatnya."
Mereka berenam tertawa terbahak-bahak. Mereka sangat puas melihat penderitaan Aurora. Setelah puas tertawa, mereka segera meninggalkan Aurora sendirian di sana dan kembali masuk ke dalam rumah.
"Apa salah Rora, Kak? Kenapa Kalian sangat membenci Rora?" Gadis itu menangis dalam kegelapan. Entah sampai kapan ia harus menanggung kekejaman para saudaranya.