Pria itu menapakkan kakinya di dataran Nirvana. Bersamaan itu pula, Aurora juga merasakan kakinya yang tak lagi melayang. Sebuah energi hangat yang melingkupi seluruh tubuhnya juga telah lenyap. Perlahan gadis itu membuka mata, mendongakkan sedikit kepalanya, melirik pria yang beberapa puluh senti lebih tinggi dari dirinya. Pria itu tersenyum manis padanya, mungkin jika ia tidak ingat pada setiap kejahilan pria itu, Aurora sudah tergila-gila padanya. Sungguh, pesona pria asing itu sangat sulit untuk dikendalikan.
"Tidak apa-apa, kan? Kita berhasil mendarat dengan selamat," ucap Kai.
"I-iya." Aurora tersipu, merasa malu karena sempat menjerit-jerit ketakutan.
"Ehem! Kalau sudah, bisakah lepaskan tanganmu? Aku sedikit kesulitan untuk bernapas," ucap pria itu bertingkah seolah merasa sesak.
"Ah! Maafkan aku." Dengan cepat Aurora melepaskan tangannya yang masih memeluk tubuh Kai.
"Mulai sekarang, Kamu tidak boleh takut. Kamu harus terbiasa aku bawa terbang seperti tadi," ucap Kai.
"Hah? Aku sudah bilang takut. Aku tidak akan ikut Kamu ke sana lagi, meski tempat itu begitu indah dan damai," ucap Aurora.
"Kamu melupakan syarat dariku tadi, ya?" Kai sengaja mengingatkan janji Aurora tadi. Aurora langsung mengingat momen saat ia ketakutan dengan jantung yang hampir lepas.
"Ta-tapi ini tidak adil. Kamu memaksaku mengiyakannya saat aku ketakutan tadi," ucap Aurora mengelak.
"Apa pun itu, Kamu telah berjanji. Jadi Kamu harus menepatinya," ucap Kai tak mau dibantah.
"Ck! Dasar pria licik! Pandai sekali memanfaatkan kesempatan di saat aku ketakutan seperti itu," gumamnya lirih.
"Aku dapat mendengar ucapanmu. Aku tidak mau tahu. Pokoknya Kamu harus menepati janjimu. Apalagi kita akan lebih sering ke sana," kukuh pria itu.
"Untuk apa kita ke sana?"
Kai menjentikkan jarinya, memukul kening gadis itu. "Kamu lupa atau pura-pura lupa? Aku sudah bilang, aku akan mengajari ilmu bela diri. Jadi Kamu tak akan takut saat melayang di udara nanti. Karena Kamu juga nantinya akan bisa terbang seperti aku tadi," ucap Kai.
"Apa? Bahkan memukul pun aku tidak bisa, bagaimana aku harus belajar ilmu bela diri?" Aurora mencari-cari alasan agar bisa terbebas.
"Tidak masalah, aku yang akan mengajarimu sampai pandai," jawab pria itu. Lalu pria itu tampak berpikir dan tanpa sadar bergumam lirih, "Ilmu bela diri akan sangat diperlukan jika Kamu nanti tinggal di istana. Seorang putri mahkota harus bisa menjaga diri dari bahaya apa pun. Bahaya yang bahkan datang tanpa kita sadari."
"Kamu bicara apa? Aku bahkan tidak dapat mendengarnya dengan jelas," protes Aurora.
"Ah, bukan apa-apa. Kamu menurut saja. Suatu saat nanti Kamu akan sangat berterima kasih saat merasakan manfaat belajar ilmu bela diri," ucap Kai dengan senyum misterius. Aurora tidak dapat menolak lagi, pria asing itu benar-benar keras kepala.
"Mulai besok sampai seterusnya, aku akan datang kemari dan membawamu ke sana lagi. Kita akan belajar ilmu Kanuragan," ucap Kai.
"Iya, iya. Mari kita kembali ke sungai tadi," ajak Aurora seraya berjalan mendahului. Hanya sebentar karena gadis itu kemudian membalikkan badannya. "Oh ya, kita sudah terlalu lama pergi. Lalu bagaimana nasib cucianku? Sepertinya, aku harus berpuasa ya, malam ini."
"Aku jamin, mereka tidak akan melakukannya padamu," ucap Kai tersenyum penuh maksud.
"Ck! Benarkah? Dia tidak tahu saja bagaimana watak saudaraku," ucap Aurora kembali berjalan menuju ke arah sungai tempat ia mencuci baju.
Gadis itu terperanjat saat melihat tujuh bakul berisi pakaian basah yang telah dicuci. Ia juga melihat seorang gadis yang serupa dirinya, sama persis seperti buah pinang dibelah dua. Tak ada perbedaan sama sekali antara dirinya dan sosok itu.
Mata Aurora membelalak, bibirnya menganga lebar. Gadis itu mengucek matanya berkali-kali, memastikan bahwa ia tidak salah lihat atau sedang berhalusinasi. Namun, beberapa kali pun ia meyakinkan diri, gadis itu memang seperti dirinya. Ia melirik ke arah Kai yang lagi-lagi hanya tersenyum misterius. Entah keajaiban apa yang pria itu lakukan hingga bisa jadi demikian.
"Kenapa? Kamu kagum padaku, ya?" tanya pria itu dengan penuh percaya diri.
"Tidak! Hanya saja ... aku tidak menyangka dan sangat terkejut dengan apa yang aku lihat saat ini," jawab gadis itu.
"Kamu akan terkejut lagi dengan kejutan selanjutnya," ucap pria itu seraya berjalan mendahului.
"Kamu, pergilah! Aurora yang asli sudah datang," perintah Kai pada sosok itu. Tanpa suara, sosok itu mengangguk patuh, kemudian semakin lama, sosoknya semakin memudar dan lenyap. Lagi-lagi, Aurora sangat terkejut dibuatnya. Entah dari apa sebenarnya makhluk itu dibuat oleh pria itu. Ia semakin penasaran siapa sebenarnya Kai. Sebesar apa kekuatan sihir yang pria itu miliki. Aurora merasa kekuatan pria itu bahkan jauh lebih kuat dari ayahnya, Athura. Padahal, Athura adalah panglima perang yang kekuatan dan sihirnya terkenal sangat hebat dan tidak ada tandingannya.
"Ayo! Mau sampai kapan Kamu melamun terus?" Pria itu duduk di atas batu, di mana ia biasanya menunggu gadis itu mencuci baju.
Aurora dengan cepat masuk ke dalam air sungai dan membuat gaun cantiknya basah agar para saudaranya tidak curiga saat melihat ia.
"Hei siapa itu?" tanya Amayra seraya memicingkan mata.
"Entahlah, Kak. Aku belum pernah melihat pria yang sangat jelek dan dekil seperti itu. Entah dari mana ia berasal," ucap Alodia menimpali.
"Tapi ... coba kalian lihat! Pria itu sepertinya sangat cocok dengan adik bungsu kita Aurora," ucap Althea seraya terbahak-bahak. "Iya kan? Mereka sangat cocok karena sama-sama dekil dan jelek!"
"Kak Thea benar sekali. Aku setuju jika Bungsu bersama pria itu. Setidaknya, saingan kita untuk pemilihan putri mahkota bulan depan akan berkurang," ucap Alora disertai tawa yang disusul tawa ke-enam bersaudara tersebut.
"Minggir, Kalian! Aku ingin menyapa mereka!" ucap Amayra seraya mendorong tubuh adik-adiknya agar memberinya jalan dan menghampiri adik bungsunya.
Sementara itu di aliran sungai, Aurora dan Kai tak hentinya berdebat.
"Kenapa mereka memandangimu dengan pandangan aneh seperti itu?" tanya Aurora saat melihat saudaranya seperti melecehkan Kai.
Kai mengangkat bahunya, seolah tidak tahu. Padahal, ia tahu betul kenapa mereka memandang rendah dirinya. Apalagi jika bukan karena sihir yang ia gunakan. "Mari kita lihat saja, bagaimana mereka akan memperlakukan aku."
"Oh, jadi Kamu sombong mentang-mentang Kamu tampan, ya?" ejek Aurora.
"Oh, jadi menurutmu aku ini tampan?" pancing Kai dengan sengaja.
"Tentu saja, siapa pun juga tahu kalau Kamu tam ...." Gadis itu menghentikan ucapannya saat sadar bahwa ia terjebak oleh pertanyaan Kai.
"Ayolah, katakan. Benarkah aku tampan? Jika menurutmu aku tampan, pasti ada kesempatan untukku mendapatkan cintamu, bukan?" gombal pria itu.
"Apa sih! Nggak jelas banget!" Dengan pipi merona Aurora mengelak.
"Wah, pasangan yang serasi ini rupanya sedang bermesraan, ya?" Sebuah suara yang terdengar sinis dan menghina menginterupsi percakapan kedua insan itu. Mereka menoleh, seorang gadis cantik berkulit putih berdiri dengan menyilangkan tangan di depan d**a menatap Aurora dan Kai seraya menahan tawa.