BAB 51

1239 Kata
"Pasti senang sekali bisa main ke sana. Makan permen kapas, melihat kembang api dari dekat, membeli aksesoris juga melihat pertunjukan," gumam gadis itu sendirian seraya menatap letupan kembang api yang entah sudah berapa kalinya menghiasi langit di angkasa. Rumah besar yang ia tinggali itu kini terasa sepi dan kosong seolah tak berpenghuni. Karena hanya ada dirinya sendirian di rumah itu. Semua anggota keluarga yang lain telah pergi ke tempat festival untuk bersenang-senang. Aurora sempat kesal karena para saudaranya sempat mengejeknya yang tidak diizinkan pergi. "Hei!" Sebuah suara mengagetkan Aurora membuat gadis itu berjingkat dan hampir terjatuh tersungkur keluar jendela. "Kai!" jerit Aurora. Aurora mengedarkan pandangannya, melihat ke sana kemari. Memastikan bahwa tidak ada yang melihat mereka. "Kamu kenapa?" tanya pria itu dengan begitu santai. "Aku takut seseorang memergoki kita," ucap gadis itu. Pria itu tampak tak peduli. Justru malah senyum-senyum sendiri. "Mari kita pergi!" ajak pria itu. "Hah?" Aurora merasa salah dengar. "Mari kita menikmati malam festival. Mari kita ke sana!" ajak Kai seraya menunjuk ke tempat yang terang benderang itu. "Tidak! Aku tidak boleh keluar dari rumah," tolak gadis itu. "Kenapa?" Dahi pria itu berkerut karena penasaran. "Karena aku adalah calon putri mahkota. Aku harus menjaga nama baikku dan keluargaku," ucap Aurora. "Lagipula, ayah sudah memeringatiku agar tidak lagi menemuimu. Karena aku sekarang adalah milik putra mahkota," ucap Aurora. "Rora, aku tahu tentang hal itu. Tapi, tidak dengan begini juga kan? Kamu memiliki hak untuk bahagia. Kamu bukan tahanan apalagi tawanan. Lagipula Kamu dan putra mahkota belum resmi menikah. Mari kita pergi sekarang. "Sudahlah, Kai. Jangan buat aku melanggar janjiku pada ayahanda," ucap gadis itu yang mengandung penolakan. "Sebentar saja!" rayu Kai. "Tidak!" kukuh gadis itu menolak. "Ayolah!" paksa pria itu. "Hanya sebentar saja. Lalu kita segera pulang." "Jangan membuat aku goyah, Kai." "Kamu tidak mau menuruti aku meski tahu ini adalah kesempatan terakhir kita untuk bertemu?" tanya Kai lagi. Gadis itu tampak ragu. Esok lusa adalah hari pertunangannya, itu artinya ia tidak akan dapat bertemu lagi dengan Kai. "Tapi ...." "Tidak ada penolakan, Rora. Mari pergi denganku." *** Gadis cantik bercadar hitam itu tampak gelisah meski seorang pria tampan telah menggenggam jemarinya. Ia tampak melirik ke sana-kemari, khawatir jika ada orang yang mengenalinya. Entah sudah berapa kali Kai mendesah, mengembuskan napas kasarnya. Ia merasa tidak ada gunanya mengajak Aurora pergi jika gadis itu masih saja ketakutan seperti itu. "Rora! Apa yang sebenarnya Kamu takutkan? Kita hanya pergi ke festival, bukan pergi untuk melakukan hal buruk!" bentak pria itu. "Ayolah, nikmati malam ini. Nanti Kamu tidak akan bisa menikmati semua ini dengan bebas setelah Kamu resmi tinggal di istana." "Aku takut, aku akan terkena masalah. Karena aku melanggar larangan ayah," ucap gadis itu. "Aku yang akan menjagamu. Aku pastikan Kamu akan baik-baik saja." Kai membuka cadar gadis itu dan membuangnya. "Kai! Apa yang Kamu lakukan?" pekik gadis itu terkejut. Kini wajahnya terbuka. Semua orang dapat melihatnya. "Jangan takut, mereka melihat kita dengan wajah yang berbeda. Di rumahmu juga sudah ada Aurora palsu yang menggantikanmu, jadi Kamu bisa lebih tenang menikmati malam ini," bisik Kai di telinga gadis itu. "Benarkah?" tanya Aurora dengan wajah berseri. Kai mengangguk dan tersenyum. Senyum di bibir Aurora terbit mendengar ucapan Kai. Itu artinya malam ini ia bisa bersenang-senang, ia bisa ke sana-kemari tanpa takut apa pun lagi. Aurora yang pemurung mendadak berubah kembali menjadi gadis yang ceria. Gadis itu berlari ke sana-kemari, menari-nari seperti anak kecil. Kai membiarkannya, tak merasa malu apalagi risih. Karena sesungguhnya, sosok bahagia Aurora saat inilah yang sangat ia rindukan. Ia suka melihat gadis itu menikmati hidupnya. "Menarilah, Rora. Menarilah! Nikmati malammu tanpa kekhawatiran," gumamnya perlahan. Puas menari, mereka bergandengan tangan dan berkeliling. Kai membelikannya permen kapas, membawanya ke tempat pertunjukan tari dan ke tempat lainnya hingga ia puas. Sungguh, malam itu adalah malam terindah yang pernah gadis itu lewati. Malam festival yang sempurna bersama seseorang yang istimewa di hati. "Berhenti, Rora!" ucap Kai tiba-tiba saat mereka melintasi sebuah toko perhiasan. Pria itu menarik tangan gadis itu, membawanya mendekat pada penjual pernak-pernik. Kai menundukkan kepalanya, memilih dengan cermat hiasan rambut yang dijual. Pria itu tersenyum lalu mengambil satu. "Kemarilah!" Kai mengusap rambut Aurora lalu memakaikan jepit rambut bermotif bunga anggrek berwarna merah jambu tersebut. "Cantik!" puji Kai. Wajah gadis itu seketika merona, berwarna merah jambu. Jantungnya bedegup kencang saat Kai tak henti menatap wajahnya. Apalagi jarak di antara mereka berdua sangat dekat. "Apakah Kamu bahagia?" tanya Kai. Gadis itu mengangguk yakin. Akan tetapi tak lama kemudian wajahnya tampak murung. "Akan lebih bahagia jika saja aku bisa hidup bersamamu, Kai. Akan lebih bahagia jika saja pria yang akan menikahi aku adalah Kamu," ucap gadis itu terdengar putus asa. Sementara pria itu justru bahagia. Karena gadis itu lebih memilih dirinya daripada putra mahkota yang memiliki segalanya. "Apa ini keinginanmu? Apa ini harapanmu?" tanya Kai. "Iya." "Baiklah, harapan akan dikabulkan," ucap pria itu seraya tersenyum manis. "Kai, apa maksudmu?" tanya Aurora penasaran. "Hm, rahasia." Pria itu bertingkah sok misterius. "Ayolah, Kai!" rengek gadis itu. "Astaga! Sudah malam. Mari kita pulang atau Tuan Athura akan menggantungku di halaman rumahmu," ucap pria itu mengalihkan pembicaraan. Kai meraih jemari gadis itu menggandeng dan menyembunyikannya ke dalam jubah besar yang ia pakai agar gadis itu tidak kedinginan. Kedua insan itu berjalan kembali ke rumah seraya tertawa dan bercanda. Ini adalah kencan pertama dan mungkin akan menjadi kencan terakhir mereka. *** "Lihatlah, Kamu sangat cantik," puji Gaia saat melihat hasil riasan di wajah putrinya. Aurora tersenyum memandang wajah cantiknya di cermin. Namun, senyumnya palsu. Karena ia tidak merasakan kebahagiaan sedikit pun atas pertunangan ini. "Mari kita pergi ke depan, putra mahkota telah menunggumu," ucap Gaia. "Hah? Bukankah masih ada waktu lagi?" tanya Aurora karena terkejut. Pasalnya, pertunangan sudah ditetapkan akan dilaksanakan pada jam tersebut. "Nanti atau sekarang sama saja." Gaia menarik tangan putrinya dan membawa ke depan. Para putri Athura yang lainnya tampak kesal melihat kebahagiaan yang bungsu dapatkan. Segala upaya telah mereka lakukan demi menggagalkan pertunangan itu, tetapi tak satu pun cara yang mereka gunakan berhasil. Justru semua tipu daya berbalik pada mereka. Tak jarang mereka celaka sendiri saat ingin mengerjai Aurora. Aurora menjalani semua prosesi yang ditetapkan oleh kerajaan. Ia didampingi oleh Gaia melakukannya dengan sempurna. Karena wanita yang melahirkannya ke dunia itu sudah mengajarinya terlebih dahulu. "Putra mahkota datang." Semua tamu yang hadir memberi hormat pada pria tampan dan gagah itu. Amayra dan saudaranya yang lain hampir memekik dan pingsan melihat ketampanan Kairos. Sementara sang mempelai wanita malah menundukkan kepala dalam-dalam enggan menatap wajah tunangannya. "Pakaikan kalung ini, lalu gelang ini dan yang terakhir cincin ini padanya," ucap Selena dengan wajah berseri. Kai lantas memakaikan semua perhiasan itu di tubuh Aurora. Namun, gadis itu masih saja menundukkan kepala enggan menatapnya. Sampai pria itu menyelipkan cincin di jari manisnya, Aurora masih tak mau menatap wajah pria itu. "Harapan terkabul," ucap Kai lirih. Gadis itu mendongak, merasa mengenali suara itu. Senyum pun terbit di bibirnya kala pria yang telah mengikatnya dalam ikatan pertunangan itu adalah orang yang sama dengan pria yang ia temui setiap hari. Putra mahkota adalah pria yang sama, yang selalu menyelamatkan dirinya dari marabahaya. "Kai," gumamnya lirih. Air mata kebahagiaan menetes, membasahi wajahnya. Pria itu segera menyekanya dengan lembut. "Aku akan segera memenuhi janjiku untuk membuatmu selalu bahagia," ucap pria itu. Rasanya ingin sekali Aurora menghambur memeluk kekasih hatinya yang kini telah menjadi tunangannya. Rasanya ia ingin memekik kegirangan saat ternyata keinginannya benar-benar menjadi kenyataan. Namun, ada banyak mata yang melihat dan memperhatikan. Gadis itu hanya bisa menahan keinginannya dan menunjukkan senyum bahagianya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN