Makan malam telah usai, semua orang telah membubarkan diri untuk pergi ke kamar masing-masing atau bersantai di rumah sesuka hati mereka. Namun, gadis itu masih duduk di ruang makan bersama sang ayah.
Ayahnya menatap dengan tatapan tajam. Seolah mampu menguliti isi hatinya. Gadis itu menjadi tak berkutik dibuatnya. Canggung dan tak nyaman ditatap seperti itu.
"Kamu menyadari kesalahanmu atau belum?" tanya Athura pada putrinya.
"Ayahanda, berapa kali Aurora harus menjelaskannya. Aurora tidak melakukan hal seperti yang mereka tuduhkan," sangkal gadis itu.
Aurora masih tetap pada pendiriannya. Menolak mengakui fitnah yang telah disebarkan oleh para saudaranya. Gadis itu bertekad tidak mau diperbudak lagi oleh mereka. Bahkan, Aurora sekarang menolak mencucikan baju saudaranya. Ia juga menolak membersihkan kamar dan hal yang lainnya yang mereka pinta.
Athura menyerah, entah sudah berapa kali ia bertanya. Berapa kali pula, Aurora memberikan jawaban yang sama. Pria itu juga sudah mencoba mengamati, menelisik setiap ucapan, raut wajah dan bahasa tubuh sang anak gadis. Namun, pria itu tidak menemukan sedikit pun kebohongan di sana. Mata bening itu, wajah polos itu benar-benar mengungkapkan kejujuran tanpa kepura-puraan.
"Baiklah, ayah menyerah dan tidak akan menuduhmu macam-macam lagi. Tapi ... ayah mau Kamu menceritakan semuanya tanpa terkecuali. Seperti dulu saat Kamu kecil, hal sekecil apa pun itu, ayah yang akan jadi orang pertama yang mengetahuinya. Ayo, Nak. Katakan sejujurnya, ayah akan menjadi pendengar yang baik. Ayah tahu, anak ayah ini adalah gadis yang baik hati dan jujur," bujuk Athura.
"Ayah mau Aurora cerita apa?" tanya gadis itu.
"Semuanya, Rora. Katakan saja!" Athura tampak berpikir sebentar. "Baiklah. Ayah akan bertanya tapi ayah hanya mengharapkan kejujuranmu," tambah pria itu. Aurora lantas mengangguk menyetujuinya.
"Baik, Ayah. Ayah bisa pegang kata-kataku. Rora berjanji, apa yang akan terucap dari bibir Rora hanyalah kebenaran," ucap gadis itu dengan keyakinan penuh.
Athura mengangguk-anggukkan kepalanya. "Sekarang ayah minta Kamu menceritakan apa yang terjadi malam itu. Ayah mau Kamu cerita tanpa Kamu tambah atau kurangi."
"Ayah, tapi mungkin ayah tidak akan pernah mempercayainya meski Rora mengatakan hal yang sejujurnya," ucap gadis itu.
"Ayah akan berusaha memercayainya, Rora."
"Kalau Rora katakan bahwa Kak Amayra dan Kak Thea ingin mencelakaiku. Apa ayah akan percaya?" tanya Aurora dengan rasa sesak di dadanya.
Athura terdiam membisu. Pria itu kesulitan untuk memercayainya. Pikir pria itu tidak mungkin anak gadisnya akan berbuat sedemikian rupa. Karena di depannya, Amayra dan yang lainnya selalu bersikap baik dan sopan.
"Lihatlah, Ayah bahkan tidak memercayai aku. Jadi apa yang akan aku katakan hanyalah sia-sia," ucap Aurora dengan sangat kecewa.
"Bukan begitu, Rora. Ayah hanya ... hanya meragu. Bagaimana mungkin putri-putri ayah ... baiklah, kita anggap saja bahwa ayah percaya," ucap Athura.
"Ayah tidak ikhlas mengatakannya." Aurora tahu ayahnya tidak tulus mengatakan hal itu.
"Arghh! Begini saja! Ayah akan bertanya. Siapa pria yang mengantarmu pulang dengan kereta pagi itu?"
Aurora kesal saat sang ayah mengalihkan pembicaraan. Namun, ia sudah terlanjur berjanji akan menjawab semua pertanyaan ayahnya dengan jujur.
"Dia ... dia adalah pria yang Rora cintai. Pria itu juga yang menyelamatkan Rora dari ancaman maut malam itu. Jika tidak ada dia, mungkin Rora tidak akan ada di dunia ini lagi," ucap gadis itu dengan perasaan yang sangat sedih.
Athura ingin sekali marah, karena anak gadisnya masih berhubungan dengan pria lain sementara sebentar lagi akan segera bertunangan. Namun, pria itu mencoba untuk memahaminya. Karena dirinya juga pernah muda.
"Ayah tahu, Kamu masih sangat muda. Di umur yang sepertimu, wajar jika Kamu mencintai seorang pria. Tapi, Rora. Kamu adalah wanita yang telah memiliki jodoh, jadi hentikan rasa cintamu. Hapus semua keinginan bodoh itu dari dalam hatimu. Fokusmu hanya akan ada satu, yaitu tentang putra mahkota saja," nasihat Athura.
"Rora mengerti ayah. Rora tahu Rora telah menjadi milik orang lain. Tapi, meski Ayah mengatakan hal tersebut dengan sangat mudah, Rora tetap kesulitan untuk melupakannya. Karena Rora sangat menyukainya. Dia sangat baik, sungguh baik hingga dia mau merelakan Rora hidup bersama putra mahkota. Bahkan bukan itu saja, dia rela menyerahkan nyawa untuk putri ayah ini."
Athura tercekat mendengar pengakuan dari Aurora. Sedikit banyak ia bisa mengerti apa yang gadis itu rasakan. Andai pria itu bisa memutar waktu, maka Athura tidak akan memaksa Aurora agar berpartisipasi.
"Maafkan Ayah, Nak. Ayah tidak bisa membuatmu bahagia. Akan tetapi semuanya sudah terlambat, kita tidak bisa membatalkan perjodohan ini. Karena hanya tinggal besok lusa acara pertunangan kalian akan dilaksanakan, jadi mau tak mau Kamu harus bersiap. Lupakan pria itu, Nak. Demi ayah, demi kehormatanmu, dan juga kehormatan ayah. Jangan pernah menemuinya lagi," nasihat Athura.
"Baiklah, aku tidak akan menemuinya lagi." Dengan hati yang teramat perih Aurora mengiyakan. Padahal hatinya akan sangat gelisah meski tidak bertemu dalam sehari saja. Entahlah, gadis itu bisa menepati janjinya untuk tidak menemui Kai atau tidak.
"Terima kasih, Nak. Terima kasih. Ayah berdoa agar pertunanganmu dengan putra mahkota akan berjalan lancar." Athura lega, karena segala pokok permasalahan telah tercabut dari akarnya. Sedangkan gadis itu merasa putus asa karena setelah pertunangan itu, ia tidak akan bertemu lagi dengan Kai.
***
Suasana kota Nirvana begitu semarak. Seluruh jalanan terang benderang dihiasi lampion berwarna-warni. Di sisi jalan dipenuhi oleh penjual. Baik penjual makanan, pakaian, mainan anak-anak bahkan penjual berbagai camilan juga berjajar rapi di tepi jalan. Barang-barang yang lainnya pun juga tersedia, bebas dijual di sana.
Perayaan festival panen penduduk telah di mulai dan malam itu adalah puncaknya. Di tengah kota, berbagai pertunjukan dilaksanakan sebagai bentuk syukur mereka pada Tuhan. Ada pertunjukan berbagai tarian, ada juga drama panggung yang disajikan dengan tema pertanian dan masih banyak lagi yang lainnya.
Entah sudah ke berapa kalinya bunga api meluncur di langit sana. Berpadu dengan indahnya para bintang bertaburan yang menghiasi angkasa. Menambah semarak dan indahnya malam itu. Anak-anak yang hanya dapat melihat pemandangan itu setahun sekali terlihat bahagia dan antusias.
Tempat itu menjadi sangat ramai, begitu ramai dipenuhi oleh manusia dari kecil sampai besar, dari yang muda sampai yang tua tidak mau ketinggalan. Semua orang bersuka cita merayakan kegembiraan.
Hampir semua orang di Nirvana berbondong-bondong datang ke kota untuk menyaksikan puncak pesta panen. Juga menikmati camilan pinggir jalan yang sepenuhnya gratis karena dibiayai oleh pihak kerajaan. Semua konter makanan sudah dibayarkan oleh kerajaan. Jadi mereka bebas untuk memakan apa pun. Sungguh pesta panen tahun ini begitu meriah karena panen warga begitu melimpah ruah.
Raja dan ratu sangat berbahagia, karena panen melimpah. Berarti juga para penduduknya semakin makmur. Bertepatan dengan acara pertunangan yang sebentar lagi akan digelar, maka raja dan ratu menyelenggarakan pesta panen kali ini dengan begitu megah sebagai ungkapan syukur mereka. Pesta itu juga dilaksanakan dengan uang pribadi raja dan ratu tanpa campur tangan pajak rakyat.
Raja dan ratu merasa semua ini adalah kehendak Tuhan. Mereka menganggap kehadiran Aurora membawa banyak berkah dan keberuntungan untuk negeri itu. Terbukti dengan berbagai pencapaian yang mereka dapatkan. Panen yang dua kali lipat lebih banyak dari biasanya. Kerja sama dengan kerajaan tetangga yang terjalin dengan baik. Bahkan, akhir-akhir ini suasana begitu tenang. Tak ada pemberontakan dan serangan dari kerajaan lain. Keadaan seluruh negeri begitu aman. Semua berjalan dengan mulus seperti yang mereka inginkan.
Di antara para penduduk desa itu ada seorang yang terlihat kasihan karena terkurung di dalam kamarnya seorang diri. Semua anggota keluarganya telah pergi. Hanya dia seorang yang tidak diizinkan keluar dari rumah.
Gadis itu menatap letupan kembang api dengan perasaan sedih. Pasalnya, mungkin ini adalah terakhir kalinya ia bisa menikmati momen gadisnya. Setelah menjadi seorang istri, setelah menjadi seorang putri mahkota, tentunya kehidupannya di masa depan akan diatur dengan lebih ketat.