“Tuh, mereka sampai.” Pak Sholihin bernapas lega. Di rumah Rudin, Kiayi, Danang, dan Edi muncul. Ketiganya kelelahan, napas mereka putus-putus.
“Assalamualaikum,” ucap Kiayi ngos-ngosan. Ia menarik dan membuang napas panjang. Begitu juga ke dua orang di belakangnya.
“Waalaikum salam, Kiayi. Silakan duduk dulu. Sepertinya Kiayi kelelahan sekali.” Pak Sholihin mempersilakan Kiayi duduk di atas tikar anyam. Hanya tikar itu yang Rudin punya di rumahnya sebagai alas duduk.
Kiayi segera duduk. Semua yang hadir pun duduk membentuk setengah lingkaran. Juki sibuk menyuguhkan minum untuk tamu-tamu di rumah Rudin.
“Singkong rebus ada, Ki?” tanya Edi pada Juki. Ia merasa lapar sekarang.
“Singkongnya nggak ada, Ed. Kalau daunnya ada,” jawab Juki asal.
“Kalau daun singkong mah, di kebun belakang rumah saya juga ada,” sungutnya sambil memegangi perut.
Pak Sholihin tidak menghiraukan omongan Edi, laki-laki itu sudah biasa seperti itu. Di mana tempat minta makan.
“Gimana Kiayi, sudah siap mengobati Rudin? Kasihan dia, badannya makin lemas.” Pak Sholihin merasa kasihan pada Rudin, maka ia bertanya kapan Kiayi akan memulai pengobatan.
“Saya mau lihat dulu, di mana Rudin?”
“Ada di kamar.”
Semua orang beranjak mengikuti langkah Kiayi menuju kamar Rudin, di mana laki-laki itu berbaring.
Saat masuk kamar, mulut Kiayi komat kamit. Membaca doa-doa andalannya agar terbebas dari gangguan setan.
“Tolong ambilkan air segelas, campur dengan sejumput garam,” kata Kiayi pada Juki. Juki dengan sigap mengambilkan air dan memberikannya pada Kiayi.
Semua orang menyaksikan Kiayi menjampi-jampi air dalam gelas tersebut. Setelah dijampi-jampi, air itu ditiup sampai tiga kali.
“fiuh, fiuh, fyuuhh!”
Danang menelan ludah. “Jorok,” katanya dalam hati.
Kemudian air itu Kiayi percik-percikkan ke tubuh Rudin sambil berkata, “keluar dan pergilah!” terus seperti itu sampai air dalam gelas tinggal sedikit. Terakhir, Kiayi mengusapkan sisa air di wajah Rudin.
“Selesai. Tunggu sampai besok. Malam ini, kasih dia makan yang enak-enak sampai perutnya kenyang,” pesan Kiayi sebelum ia pamit pulang.
***
Besok paginya, Rudin masih belum sembuh, tapi sedikit ada perubahan. Juki yang sepanjang malam menjaga Rudin, akhirnya pamit pulang sebentar untuk mandi.
“Ki,” panggil Rudin sebelum Juki pulang ke rumahnya. Juki mendengarkan.
“Bisa nggak kamu suruh Lastri kemari. Saya sakit karena menahan rindu.”
“Buset! Jangan maen-maen kamu, Din! Bukannya semalam katanya lihat setan?” jerit Juki kesal, dilihatnya Rudin yang duduk bersandar di tembok. Di sampingnya ada teh manis hangat dan kue pancong hasil dibagi tetangga.
“Bener dong, Ki. Semalam memang lihat setan cantik, trus saya tiba-tiba rindu sama Lastri.” Suara Rudin lemah. Sepertinya ia benar-benar merindukan janda beranak satu itu.
Juki tak tega, akhirnya ia pamit untuk mandi dan berjanji akan memberitahu Lastri untuk menjenguk Rudin.
Juki memang bisa diandalkan, ia sahabat terbaik Rudin. Selesai mandi, dan berpakaian rapi, ia berangkat ke rumah Lastri mengendarai motor bututnya.
Dilihatnya Asep sudah nongkrong di bawah pohon mangga di seberang jalan rumah Lastri, dikerumuni ibu-ibu berdaster yang asik bergosip seperti biasa. Juki memarkirkan motor di depan rumah Lastri.
“Eh, ada Kang Juki. Sebentar ya, Kang,” kata Lastri pada Asep, ia menaruh kembali sayurannya lalu bergegas menghampiri Juki.
Asep merengut. Matanya mengawasi Lastri dan Juki yang sedang bicara serius.
“Kasihan Rudin, katanya pengen ketemu Neng Lastri.” Tampang Juki memelas, berharap Lastri mau diajak menjenguk Rudin.
“Gimana ya, Kang. Sebenarnya saya malu,” kata Lastri, ujung matanya melirik ke arah gerobak sayur Asep.
“Malu kenapa, Neng?” Juki tak mengerti. Tapi akhirnya ia paham, Lastri pasti tak mau digosipin ibu-ibu berdaster yang lagi berkumpul di gerobak sayur Asep.
“Oalaah, tenang, Neng. Nggak bakal ada yang berani gosipin Neng geulis. Kalau pun digosipkan, memangnya kenapa? Bukan urusan kita kan.”
Lastri terdiam. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat. “Ya sudah, Kang. Saya siap-siap dulu,” kata Lastri akhirnya. Ia pamit masuk ke rumah.
Juki menunggu dengan sabar. Tak lama Lastri keluar rumah sambil menenteng keranjang makanan.
“Bawa apa itu?” tanya Juki penasaran.
“Bawa perasaan buat Kang Rudin, eh bawa makanan buat Kang Rudin maksudnya.” Lastri tersenyum malu-malu. Ia tidak sadar di bawah pohon mangga Asep mencakar-cakar tanah karena cemburu.
“Ayo, Kang kita berangkat,” ajak Lastri.
“Ashiiap, Neng. Kita otw!”
Juki buru-buru melarikan motornya membawa Lastri di belakangnya.
“Lastri!” panggil Asep. Ia sudah mau menangis ditinggal Lastri.
“Lastri!”
“Sudah atuh, Kang. Jangan sedih, kalau jodoh mah nggak akan kemana,” kata Ratna sok bijak.
“Bukan begitu, Bu Ratnaaa. Masalahnya ini sayuran yang dipilih Lastri jadi gagal dibeli!”
“Huuu!” sorak bu ibu berdaster.
***
Sampai di rumah Rudin, Lastri langsung bertanya, “Kang, Akang sakit apa atuh?”
“Sakit merindukan Eneng Lastri,” jawab Rudin malu-malu, ujung matanya melirik Juki yang duduk nelongsor depan pintu. Bibir Juki maju lima senti, mencibir Rudin.
“Oalaah, cepat sembuh ya, Kang. Kan Lastri sudah jenguk Akang.” Lastri menyodorkan makanan yang dia bawa, “Ini buat Akang, silakeun dimakan.”
“Wah, repot-repot bener si Neng, pake bawain makanan segala.” Tapi diambilnya juga rantang makanan Lastri, Rudin buru-buru membukanya dengan semangat.
“Ini mah, kesukaan Akang atuh Neng. Kok tau sih Akang suka makan serabi.”
Mendengar serabi, Juki menoleh, lalu beranjak menghampiri Rudin.
“Din, bagi dua!”
Mata Rudin melotot. “Ogah!”
“Orang pelit kuburan sempit, Rudin!” Juki balas melotot.
Lastri yang menyaksikan kelakuan Rudin dan Juki jadi geleng-geleng dengkul.
“Sudah, sudah. Jangan rebutan, kan Lastri bawanya banyak. Nih, satu rantang isinya sama.”
“Naah, mantap itu Neng. Ini yang namanya rezeki mah nggak ke mana. Uhuyy!” Juki mengusap bibirnya dengan lidah. “Serabinya bikin ngiler, euy!”
“Sok atuh, Kang, dimakan.” Lastri mempersilakan.
Rudin dan Juki bergerak cepat menuju dapur, mengambil sendok bersamaan. “Gak usah sikut-sikut juga kali, Din.” Juki sewot, tangan Rudin nggak sengaja mengenai pinggang Juki.
“Ya, mangap atuh, Ki. Nggak sengaja, kan lagi semangat.”
“Semangat sih semangat, Rudin, tapi hati-hatiii.”
Rudin duduk kembali di ruang tamu, memegang sendok bersiap menyantap serabi buatan yayang tercinta.
“Hmm, enak banget ini mah, Neng. Sering-sering lah Akang dibuatin lagi.”
“Ngelunjak!” sahut Juki, ikut menyantap serabi.
Lastri tertawa kecil. Dia senang melihat Rudin dan Juki memuji masakannya. “Boleh, Kang, asal duit belanja Akang transfer ke Lastri. Hehee.”
Rudin melongo, sedangkan Juki menahan tawa.
“Lastri becanda, Kang. Tapi kalau Akang Rudin gak keberatan ya Lastri juga mau.”
“Tenang we, Neng. Jangankan transferan, apa pun yang Neng mau akan Akang berikan. Akang juga siap melamar Neng Lastri tersayang,” ucap Rudin menggebu-gebu. Dikedipkannya satu mata ke arah Lastri.
“Wah, kayaknya Akang sudah sembuh ini,” timpal Lastri.
“Sudah sembuh dong, Neng. Kan sakitnya Akang obatnya ya Neng Lastri.” Rudin memanfaatkan kesempatan.
“Ehem. Uhuk, uhuk! Hoeekk!” Juki tiba-tiba keselek serabi.