Asep melanjutkan mendorong gerobak sayurnya, sekarang ia menuju pohon nangka di depan rumah Pak Sholihin. Terlihat bapak-bapak sedang berkumpul.
“Wah, tumben euh pagi-pagi sudah ngerumpi,” sapa Asep ramah. Gerobak sayur tepat berada di bawah pohon nangka yang lebat buahnya.
“Bukan ngerumpi, Asep. Kita lagi ngobrolin soal Rudin.” Pak Sholihin menjelaskan. Bibir Asep mencebik.
“Euleehh, di mana-mana kok bahas si Rudin!”
“Lha, harusnya kamu juga tau Asep. Bukannya semalam kamu juga ikut ngeronda?” Danang mengingatkan. Ia tahu sebab ia yang bertugas membuat jadwal ronda malam di desa itu.
Asep menekuk wajahnya. Ia mencari-cari alasan.
“Anu, saya teh semalam mencret euy. Jadi pulang duluan. Mules atuh!”
“Ah, alesan kamu!” timpal Edi, menantu Pak Sholihin.
“Ya, terserahlah.” Asep menepiskan tangan ke udara, “Bapak-bapak hayuk atuh beli sayuran Kang Asep yang kasep pisan ini.”
Bapak-bapak tiba-tiba mual mendengar ucapan Asep.
“Nanti si Rudin kita bawa ke Pak Kiayi Sapi'i Barangkali dia kesambet setan beneran. Katanya, Kiayi itu bisa mengusir roh halus dalam tubuh seseorang. Bagaimana Pak Sholihin?” Edi menyarankan idenya yang dirasa sangat brilian itu.
Pak Sholihin berpikir sejenak, sambil mengelus-elus jenggotnya yang sebagian sudah ditumbuhi uban.
“Hemm, kalau begitu, boleh juga kita coba usulan kamu, Ed. Siapa tau Kiayi Safi'i bisa ngobatin.”
Edi tampak senang sarannya diterima oleh Pak Sholihin, yang juga menjabat sebagai ketua RT desa. Asep yang mulai bosan menunggu kehadiran ibu membeli sayurannya mulai bosan.
“Ibu-ibu pada kamana ini? Saya paling benci dighosting. Apalagi di php-in. Pada mau beli tidak?” Ia bicara sendiri sambil duduk nelongsor dengan punggung bersandar di pohon nangka.
Tidak ada angin tidak ada hujan, sebuah nangka berukuran besar jatuh dari pohonnya.
Buk!
Buah nangka itu menimpa kepala Asep.
“Aduh, Gustiii!” jerit Asep mengelus kepalanya yang sakit. Beruntung ia memakai topi untuk melindungi kulit kepalanya.
“Dasar sialan, udah sepi pelanggan kepala kena timpuk nangka!”
Pak Sholihin dan dua orang yang menemaninya tertawa. Edi paling lebar tertawanya, sampai lalat berhasil masuk mulutnya. “Hoek, hoek!” Edi muntah-muntah.
“Sukurin!” Kini giliran Asep yang tertawa.
Pak Sholihin mendekati nangka yang jatuh, ia senang ternyata nangka itu sudah matang. Baunya harum sampai ke tulang-tulang.
“Sep, kamu belah nangka ini. Ambil separohnya buat kamu. Sisanya mau saya bagi-bagikan tetangga,” kata Pak Solihin, menyerahkan nangka besar yang sudah matang itu pada Asep.
“Siap Pak Sholihin, sini saya belah nangkana. Biar hilang sakit di kepala saya.” Asep mengambil golok dalam gerobaknya yang biasa dibuat memotong ayam. Kemudian membelah nangka penuh semangat.
“Kadang, kita harus merasa sakit dulu baru bisa ngerasain senang. Bisa pula di antara keduanya datang bersamaan. Jadi kita harus sa-bar.”
“Iya, Pak Sholihin.” Asep menimpali. Senyumnya mengembang. Beberapa kali Asep menelan ludahnya, buah nangka memang menggoda.
***
Malamnya, Pak Solihin, Edi, dan menantunya mendatangi rumah Rudin, di sana juga sudah ada Juki dan Daud yang menemani. Sesuai rencana, mereka akan membawa Rudin ke rumah Kiayi Safi’i.
Mereka melihat Rudin terbaring di ranjangnya. Menggigil kedinginan tapi suhu badannya panas. Bibir Rudin gemetar, tangannya menangkup kaku.
“Rudin,” panggil Pak Sholihin. Tangannya menyentuh tubuh Rudin yang tertutup selimut.
“Apa benar kamu lihat setan semalam, sampai menggigil begini?” Pak Sholihin memastikan. Kemarin, ia hanya mendengar kabar dari Juki.
Rudin tidak menjawab, ia masih gemetaran.
“Bener, Pak Rete. Katanya semalam dia ngeliat setan di dekat pohon pisang di belakang gardu. Tapi anehnya saya nggak lihat.” Untuk kedua kalinya Juki menjelaskan pada Pak Sholihin.
“Kesambet kali nih anak,” timpal Daud, lalu menjerit kesakitan. Jari tangan Juki diam-diam mencubit b****g Daud dari dalam sarung.
“Ed, kamu panggil saja Kiayi Safi'i datang ke sini. Kayaknya Rudin nggak bisa diajak ke luar,” perintah Pak Sholihin pada Edi. “Nang, kamu temani Edi, ya. Biar gak cengok di jalan.”
Edi dan Danang pamit keluar rumah menjemput Kiayi Safi’i. Mereka berjalan kaki menuju ujung desa, di mana rumah Kiayi itu berada. Apesnya, mereka harus melewati kebun milik Pak Sholihin.
“Saya sebelah sini aja, ya, Kang,” kata Danang mengambil posisi samping kiri Edi. Edi yang sangat dekat dengan pagar kebun Pak Sholihin mendadak merinding saat melihat garis kuning dalam kegelapan.
“Jangan sampai kita juga ketemu setan itu, bisa kencing di celana saya.” Edi sudah mulai merinding.
Desau-desau angin membuat Danang menutup daun telinga. Angin berembus cukup kencang. Perjalanan mereka sudah hampur sampai, Edi dan Danang memutuskan untuk berlari secepat mungkin dan berhenti di depan rumah Kiayi Safi’i. Kebetulan Kiayi Safi’i sedang duduk di teras rumahnya sambil minum s**u kotak.
“Assalamualaikum!” ucap Edi dan Danang bersamaan, napas mereka tersengal-sengal. Sangat kelelahan.
Kening Kiayi itu berkerut. Cepat-cepat ia habiskan s**u kotaknya setelah menjawab salam.
“Ada apa? Kayak habis dikejar setan saja,” kata Kiayi. “Ayo, duduk.” Ia mempersilakan kedua tamunya duduk di kursi kosong di dekatnya.
Edi menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Ya, Kiayi. Terima kasih. Tapi kita buru-buru. Kedatangan kami berdua ke sini untuk menjemput Kiayi, disuruh Pak RT. Katanya beliau minta tolong Kiayi nyembuhin si Rudin yang lagi kesambet setan.”
“Kesambet setan bagaimana?” tanya Kiayi Safi’i tak mengerti.
“Saya juga nggak tau Kiayi, mending Kiayi lihat sendiri saja nanti biar lebih jelasnya.”
“Aneh, kok tiba-tiba si Rudin kesambet setan. Setan dari mana? Perasaan di desa kita aman-aman aja belakang ini.” Kiayi Safi’i masih memikirkan Rudin.
“Itu dia Kiayi, katanya sih semalam Rudin melihat setan saat di pos kamling. Saya juga baru tahu tadi pagi ceritanya, pas Juki melapor ke Pak RT,” timpal Danang.
“Yasudah kalau begitu, kalian tunggu dulu sebentar di sini, saya mau ambil tas dulu.”
Kiayi masuk ke rumah, dan keluar lagi sudaj membawa tas slempangnya.
“Keren juga Kiayi satu ini, pakai tas slempang segala. Saya pikir bakal bawa tasbeh aja.” Edi nyerocos sambil cengar-cengir, sementara Danang memilih melihat bintang-bintang di langit yang bersinar terang, seperti jerawat-jerawat istrinya yang berkerlip menggemaskan.
Kiayi Safi’i, Danang, dan Edi berjalan berjajar ke samping memenuhi jalanan. Kiayi Safi’i berada di tengah-tengah antara Danang dan Edi. Saat melewati kebun Pak Sholihin, kedua lengan Kiayi terasa berat, digelayuti oleh dua orang laki-laki penakut di samping kiri-kanannya.
“Astagfirullah, apa-apaan kalian ini, seperti anak kecil aja!” Kiayi gemas melihat tingkah Danang dan Edi.
“Cuma di kebun ini kok Kiayi, nanti kalau sudah lewat kita lepasin, deh tangannya,” rengek Edi, matanya memejam kuat-kuat.
“Saya sih nggak takut Kiayi, Cuma agak gemetaran aja.” Danang ikut-ikutan ngomong.
Kiayi Safi’i berdecak kesal. “Bukan apa-apa, saya susah jalannya kalau kalian megangin tangan saya begini!” Kiayi segera melepas tangan Danang dan Edi bersamaan.
“Kiayi ...,” rengek keduanya. “Atuuuttt!”
Kiayi melihat ke sekeliling kebun, di sana sangat gelap. Sedangkan lampu di sepanjang tidak cukup membantu menerangi jalananan.
Sayup-sayup terdengar suara aneh, berasal dari kebun Pak Sholihin. Seperti suara cakaran kucing, tapi mana mungkin?
“Danang, Edi, tenang. Ikuti perintah saya,” katanya. Kedua laki-laki itu menurut. “Tarik napas, lalu perlahan embuskan. Tarik napas lagi, embuskan lagi. Tarik napas ... ayo kabuuurr!” Kiayi Safi’i berlari cepat diikuti Danang dan Edi di belakangnya.
“Kiayiii ... tungguu!”