Bab. 6 - Gara-gara Teror

1521 Kata
Pak Sholihin memijat keningnya, pusing saat mendengar banyak laporan warga desanya yang sering diganggu wanita cantik dan seksi saat malam hari, lalu wanita cantik itu mengubah wajah cantiknya menjadi jelek dan sangat mengerikan ketika laki-laki yang dia goda mulai bertingkah nakal. Sudah dua pekan semenjak kejadian Rudin dan Asep yang katanya melihat wanita cantik sebagai hantu, lalu mengalami demam tinggi, kini hampir setiap hari para lelaki desa mengalami hal serupa membuat para wanita merasa takut suami mereka diganggu lalu sakit. lalu tidak bisa bekerja, dan akhirnya tidak mendapat uang belanja. Seperti Wati, yang juga mengeluhkan kondisi suaminya yang masih meriang dua hari ini kepada Pak Sholihin. Wanita beranak tiga itu mengatakan kalau suaminya sakit, dia tidak mendapatkan uang belanja setiap harinya, karena sang suami libur bekerja sebagai pedagang Cilok keliling. Seorang pedagang sudah tentu mendapatkan penghasilan perhari, bukan perbulan gajian seperti karyawan. “Saya bingung atuh Pak RT, kalau begini caranya. Mau bawa suami berobat saya gak punya uang lagi, uang simpanan sudah habis, tadi saja buat makan saya utang dulu ke si Asep.” Cerita Wati dengan mimi dan nada suara yang menyedihkan. Memanglah Wati ini termasuk pelanggan Asep yang sering ngutang sayur. “Ibu tahu sendiri kemarin Kang Arman gak mau dibawa berobat. Saya tidak ingin memaksa,” ucap Pak Sholihin terdengar santun, “lagipula seperti pengalaman lelaki desa lainnya yang terserang demam mendadak, mereka tidak perlu berobat ke dokter, satu-dua hari akan sembuh sendiri,” lanjut Pak Sholihin. “Tapi kan saya gak sabar atuh Pak RT. Sehari saja suami saja gak kerja gimana nasib saya dan anak-anak,” timpal Wati sembari memilin ujung bajunya yang lebar. “Kamu bisa jadi buruh cuci atau setrika untuk sementara, Wati. Perempuan kalau lakinya sakit yang harus solutip.” “Halah, Pak RT ini, solutip, solutip.” Bibir Wati mencibir, mau mau dia menjalankan saran lelaki yang memimpin desanya itu, Wati salah satu grup emak-emak berdaster langganan Asep yang doyan ngerumpi sekaligus bergengsi tinggi. “Trus, maunya Bibi, gimana?” tiba-tiba anak perempuan Pak Sholihin yang tak lain istrinya Danang itu keluar dari arah ruang belakang. “Eh, Kartika,” ucap Wati sedikit malu, “anu, saya teh gak gimana-gimana, Cuma lagi perlu duit.” “Yeee, semua orang juga perlu duit, Bi. Saya juga. kalau perlu duit, ya harus kerja. Saya teh juga kerja sekarang, jaga toko bajunya Mang Ucup.” Mendengar Kartika bekerja jaga toko, mata Wati membulat. “Masih ada lowongan gak? Daripada nyuci nyetrika mending saya jaga toko aja.” Wati nyengir, “biar gak ngebabu banget dilihatnya, hihii.” Pak Sholihin menarik napas panjang dan dalam. “Sudah gak ada, Bi. Kalau Bibi mau, Bibi bisa bantu nyuci nyetrika di rumah saya. Gimana?” Sebuah tawaran baik dari Kartika, Wati bingung antara menerima dan tidak. Ingin menerima tapi gengsi, tidak diterima tapi lagi butuh uang untuk makan. Dia benar-benar delima, eh dilema. Yang dia pikirkan saat ini, hanya tentang bagaimana dia nanti kalau ketahuan ngebabu di rumah Pak RT oleh emak-emak satu gengnya? *** Malam ini suasana malam masih sepi seperti malam-malam sebelumnya. Ditambah banyaknya kasus teror wanita cantik nan seksi di desa yang membuat para lelaki berjatuhan. Jatuh sakit setelah digoda. Di sebuah Pos Kamling, terdapat tiga orang laki-laki yang duduk saling berhadapan, mengenakan sarung sebagai penutup tubuh mereka agar tidak merasa kedinginan oleh embusan angin malam. Tiga cangkir kopi, dan sepiring singkong rebus menemani malam mereka hingga menjelang pagi nanti. Tidak ada satu pun yang enggan beranjak dari pos tersebut, mereka diselimuti rasa takut dan kengerian yang sama, takut akan dipertemukan dengan wanita cantik namun mengerikan. Ketiga lelaki yang bertugas malam ini adalah Asep. Danang dan Rudin. Danang dan Rudin, keduanya bermaksud mendorong Asep agar mau keliling desa untuk memeriksa keadaan. Sementara mereka menunggu di pos saja. “Hukuman karena kamu sudah bermaksud menikung Lastri, kemarin,” kata Rudin, kesal. Dia masih dongkol terhadap Asep, meski sudah dua pekan semenjak mendapat laporan dari sahabat karibnya, Juki, bahwa Asep mencoba mendekati Lastri. Asep dituduh memanfaatkan keadaan, mengambil kesempatan dalam kesempitan waktu itu. “Kalau saya ketemu demit, trus sakit. tanggung jawab, ya, Kang?” Asep menatap Rudin tajam. Rudin memang berusia lebih tua dibanding Asep, tetapi tingkah laku lelaki itu sama seperti pemuda usia tanggung yang berpola menyebalkan. Apalagi semenjak hidup sendiri dan tahu cintanya dibalas Lastri. Semakin jijik saja Asep melihat gaya lelaki itu. “Ya, Danang yang nanggung, saya yang jawab!” seloroh Rudin. “Enak aja!” sahut Danang, mulai menyalakan sebatang rokok, lalu menyesapnya nikmat. “Kamu harus mau dong, Nang. Kamu kan pengurus kampung ini. orang penting.” Rudin berkata penuh penekanan. “Tapi saya gak mau ngurusin orang model si bujang lapuk.” Asap mengebul ke udara dari mulut Danang. “Halah, Nang, Nang. Kamu itu kalau bukan Kartika kasihan sama kamu, mungkin kamu juga masih jomlo kayak saya ini. malah makin ngenes. Sudahlah tampang goreng, pengangguran juga,” cibir Asep, sambil bersedekap. Tiba-tiba saja angin berembus cukup kencang membelai kulit dan menggoyang pepohonan. Ketiga lelaki itu mengencangkan sarung mereka ke tubuh. “Sialan kamu, Sep. Dagang sayuran aja gayamu selangit, sudah kayak orang kantoran saja,” dengkus Danang, mulai tersulut emosi. “Wee, jangan salah, dagang sayur keliling pendapatannya kadang jauh lebih besar daripada orang kantoran.” Asep mencibir, “jangan melihat profesi saya sebagai tukang sayur, tapi lihatlah hasilnya atuh, Nang. Janganlkan satu istri, empat istri aja saya teh sanggup ngidupin.” Danang dan Rudin saling pandang, lalu seketika tawa keduanya pecah. “Sep, Asep, gayamuuu!” kompak bibir mereka maju beberapa senti ke arah Asep. *** Asep ngambek, dia masih dengan pendiriannya tidak mau keliling desa. Rudin beralasan kalau kakinya tiba-tiba terasa nyeri. Mau tak mau akhirnya Danang yang harus berkeliling desa, membawa senter dan gentong kecil untuk memeriksa. sedikit kesal dia melangkah meninggalkan pos kamling dan mulai menyusuri jalanan yang sepi. Sudah lewat tengah malam, udara semakin dingin saja. Danang celingukan ke kiri dan kanan untuk memastikan daerah sekitar aman. Hingga akhirnya, Danang melewati jalanan menuju bagian belakang desa yang sepi, bulu kuduk Danang meremang. Dia seperti merasakan sesuatu, seperti seseorang tengah mengikuti langkahnya dari arah belakang. Terdengar langkah kaki berat dan helaan napas cepat. Terbayang sudah tentang cerita teror demit cantik yang dia dengar beberapa pekan ini yang mampu membuat para lelaki tumbang. Danang ingat cerita sahabatnya, Edi, belum lama ini kalau dia juga pernah melihat makhluk cantik tapi mengerikan. “Bodinya aduhai seksi, kulit putih mulus seperti pualam, rambut panjang menjuntai seperti minta dibelai. Saya ikutin terus dia dari belakang, sambil menikmati keindahan tubuh wanita itu dengan membayangkan yang iya-iya. Saya bersiul ringan, lalu dia menoleh. Seketika itu barulah saya lihat wajah asli wanita itu, Nang. Ternyata sangat mengerikan. Ternyata dia wanita jadi-jadian, saya lihat cukuran kumisnya gak rapi, Nang. Huhuhu!” cerita Edi sambil menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan hari itu. Edi lari sekuat tenaga, tapi anehnya kok malah jalan di tempat. Asem. Pikir Danang. Edi, sahabatnya kadang memang menjengkelkan. Dia pikir Edi bertemu demit cantik ternyata memang demit cantik yang sesungguhnya. Mau heran, tapi dia Edi. “Kang,” panggil sebuah suara di belakang Danang. Danang tersentak, benar dugaannya, seseorang mengikutinya sejak tadi. “Kang Danang,” panggil suara seoarang wanita. Danang semakin merinding, dia percepat langkah kakinya tanpa menoleh. Semakincepat, cepat hampir setengah berlari. “Kaang!” Wanita di belakangnya mengejar, dan Danang semakin menjauh. Lalu dia terdengar sebuah teriakan keras. “OII, KANG! KENAPA LARI ATUH, SAYA TEH CAPEK NGEJAR-NGEJAR AKANG TERUS!! INI SAYA, BUKAN SETAN!” Danang seketika berenti, lalu menoleh dengan cepat. “Ya, Gusti. Neng Kartika?” *** “Kenapa atuh Neng nyusul Akang?” tanya Danang, setelah dia menggandeng tangan istrinya saat berjalan di bawah sinar bulan pucat, wajah Kartika sangat cantik di matanya. “Neng bukannya nyusul Akang tampan, tapi Neng teh mau ke rumah Teteh, katanya dia takut sendirian di rumah, si Aa’ mendadak ada tugas malam di tempat kerjanya,” jelas Kartika pada Danang. “Kenapa gak minta dianterin bapak?” Danang mengerutkan dahi, dia khawatir istrinya keluar malam-malam. “Bapak lagi capek, Kang. Dia butuh istirahat. Tahu sendiri seharian ini bapak sibuk ngurus warga yang sakit. mana harus dengar keluhan ibu-ibu juga. Neng bisa jalan snediri, lagian kan rumah Teteh deket, masih di desa ini juga, kecuali di luar desa, Kang.” “Tapi, Neng-,” Belum sempat Danang meneruskan ucapannya, Kartika segera menempelkan telunjuknya di bibir Danang. “Sssst,” ucapnya lembut, membuat Danang merasa momen mereka saat ini sangat romantis. “Jangan bersuara, Kang. Neng teh kayak dengar suara aneh,” bisik Kartika, menggeser tubuhnya lebih dekat ke tubuh Danang. Tubuh Danang kembali membeku, dia kembali merasa takut akan sesuatu. “Su-suara apa, Neng?” Danang terbata, dia takut untuk melihat ke arah mana pun. “Suara aneh, Kang. Neng gak tahu suara apa.” “Suaranya seperti apa atuh. Neng?” Danang ikut merendahkan nada suaranya. “Suaranya kecil, tapi merdu, Kang.” “Hah?” “Iya, apa henteu cium aroma apa kitu?” Mata Danang melotot. “Bau busuk kah, Neng?” Kartika mengangguk, lalu tersenyum malu-malu. “Iya. Kang, bau busuk kentutnya Neng.” Danang tepuk jidat, ternyata dia sudah kena prank istri sendiri!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN