Pak Umar sudah diizinkan pulang oleh dokter. Sungguh Sakura merasa senang karena bapaknya tak lagi dirawat di Rumah Sakit. Meskipun sekarang bapaknya harus menggunakan bantuan kursi roda, karena kelumpuhan yang diderita.
Bu Umar sedang membereskan barang-barang yang dibantu oleh Sakura. Dan di saat itulah mereka dikejutkan dengan kedatangan Hiro.
"Ibu, apakah sudah siap?" tanya Hiro.
"Sudah, Hiro."
"Baiklah, jika seperti itu mari kita pulang," ajak Hiro kemudian.
Bu Umar mengangguk. Lelaki ini adalah orang yang bertanggung jawab. Sejak kecelakaan yang menimpa suaminya, Hiro tidak pernah absen mengunjungi suaminya di rumah sakit. Semua biaya perawatan juga Hiro semua yang telah menanggungnya.
Bahkan sekarang, saat suaminya sudah diizinkan pulang, Hiro dengan sigap menjemput mereka dan mengatakan akan mengantarkan ke rumah.
Bu Umar membawa satu buah tas besar. Sakura membawa buah beserta beberapa makanan yang mereka dapat dari para kenalan yang datang menjenguk Pak Umar.
Hiro mendorong kursi roda Pak Umar keluar dari ruang perawatan. Bu Umar beserta Sakura mengikuti di belakang.
Sampai di parkiran, Hiro membuka pintu depan sebelah kemudi. Dengan sigap Hiro memapah Pak Umar untuk masuk ke dalam mobil. Lalu melipat kursi roda dan menyimpannya di dalam bagasi. Hiro juga membukakan pintu untuk Bu Umar dan Sakura.
Setelah mereka semua siap, Hiro duduk di belakang kemudi. Dan mulai menjalankam mobilnya keluar dari pelataran parkir rumah sakit.
Tak sampai satu jam perjalanan, mereka tiba juga di rumah sederhana keluarga Pak Umar. Hiro menghentikan mobilnya di depan rumah yang halamannya tak seberapa luas. Kedatangan mereka disambut oleh seorang lelaki kecil yang tak lain adalah adik dari Sakura.
Bu Umar dan Sakura keluar dari dalam mobil. Begitipula dengan Hiro yang langsung membuka bagasi untuk mengambil kursi roda Pak Umar.
"Salman, ayo bantu Paman Hiro," pinta Bu Umar pada anak lelakinya. Salman adalah seorang siswa Sekolah Menengah Pertama yang berusia empat belas tahun.
"Baik, Bu," jawab Salman lalu tergopoh-gopoh menghampiri Hiro yang sedang membantu Pak Umar ke luar dari dalam mobil.
"Sudah tidak apa-apa. Biar Paman saja yang mendorong kursi roda Bapak," ucap Hiro pada Salman.
Sampai di depan pintu, Bu Umar meminta Hiro untuk masuk ke dalam rumah.
"Ayo Hiro, silahkan masuk." Bu Umar mempersilahkan.
"Baik, Bu," jawab Hiro dengan menganggukkan kepala.
Lalu lelaki itu mendorong kursi roda Pak Umar masuk ke dalam rumah.
"Beginilah kondisi rumah kami, Hiro," ucap Pak Umar lirih.
Hiro hanya tersenyum menanggapi.
"Ayo, duduklah!" pinta Pak Umar.
"Baik Pak. Terima kasih."
Hiro duduk di salah satu kursi yang sudah terlihat usang. Rumah Pak Umar adalah rumah yang sangat sederhana. Tampak kecil dan tak banyak perkakas yang ada di dalam rumah ini.
"Pak Umar!" panggil Hiro.
Pak Umar menatap Hiro dengan senyuman. Sekalipun kondisi Pak Umar bisa dibilang tidak baik-baik saja, akan tetapi senyuman tak pernah lepas dari bibir pria itu.
"Ada apa, Hiro."
"Begini Pak. Eum ... Saya akan bertanggung jawab penuh dengan apa yang telah saya perbuat pada Bapak. Karena saya, sekarang Bapak tidak bisa lagi bekerja seperti sedia kala." Hiro terdiam.
Pak Umar masih menunggu Hiro melanjutkan ucapannya.
"Jadi, mulai hari ini, saya akan menanggung semua yang selama ini menjadi tanggung jawab Bapak. Saya akan membiayai sekolah Sakura dan Salman. Saya juga akan menanggung semua biaya pengobatan Pak Umar hingga Pak Umar sembuh dan kembali sehat seperti sedia kala."
Pak Umar mencerna setiap perkataan yang keluar dari mulut Hiro. Lalu beliau menghela napas dan memberikan jawaban.
"Begini Hiro! Bapak sangat berterima kasih sebelumnya padamu. Karena Hiro mau bertanggung jawab dengan apa yang telah terjadi pada diri Bapak. Akan tetapi, Bapak sungguh minta maaf jika Bapak tidak bisa menerima semua kebaikan Hiro. Mengenai biaya sekolah Sakura dan Salman, mohon maaf Bapak tidak bisa menerimanya. Itu semua bukan tanggung jawab Hiro. Menyekolahkan Sakura dan Salman adalah tanggung jawab Bapak sebagai kepala keluarga."
"Tapi Pak, gara-gara saya Bapak jadi seperti ini. Bapak tidak bisa lagi bekerja. Ini semua karena salah saya."
"Dengar Bapak, Hiro. Ini semua musibah. Hanya saja perantara musibah yang saya alami itu adalah melalui kamu. Jangan selalu menyalahkan diri sendiri dengan apa yang terjadi pada diri Bapak."
"Tapi saya akan tetap membantu Bapak, apapun yang akan terjadi."
"Jangan, Hiro. Bapak akan menerima bantuanmu hanya untuk pengobatan Bapak saja. Tapi tidak untuk yang lainnya. Karena itu semua bukanlah tanggung jawabmu, Hiro."
Pembicaraan mereka terhenti karena Bu Umar datang membawa dua cangkir teh hangat.
"Hiro, silahkan diminum,” pinta Bu Umar.
Hiro tersenyum dan menganggukkan kepala. “Terima kasih, Bu.”
Setelah itu Bu Umar ikut duduk di salah satu kursi kosong di dalam ruang tamu kecil rumah ini.
Hiro menyesap teh hangat buatan Bu Umar. Lalu ia letakkan kembali cangkir teh yang masih tersisa separuh isinya.
Kembali Hiro menatap Pak Umar dan Bu Umar bergantian.
"Pak Umar, apa yang bisa saya lakukan agar Bapak mau menerima semua bantuan dari saya. Sungguh saya ikhlas melakukan semua ini. Saya tidak ingin Sakura putus sekolah. Begitupun juga dengan Salman. Mereka berdua masih mempunyai masa depan yang panjang. Jangan karena kondisi Bapak yang masih sakit, Bapak tidak bisa lagi bekerja, lalu Sakura dan Salman harus menjadi korbannya. Saya tidak ingin semua itu terjadi. Dan saya tidak akan bisa memaafkan diri saya sendiri."
Pak Umar terdiam. Apa yang Hiro katakan benar adanya. Saat ini kondisinya tidak memungkinkan untuk Pak Umar dapat bekerja kembali. Lalu, akan dapat uang dari mana mereka nantinya? Bagaimana dengan biaya sekolah Sakura dan Salman. Tapi, Pak Umar juga tidak mungkin menerima bantuan dari Hiro yang jelas-jelas itu semua bukan tanggung jawab lelaki itu. Tanggung jawab Hiro hanya kepadanya. Membiayai pengobatannya hingga sembuh. Bukan membiayai hidup Sakura dan Salman.
Sungguh Pak Umar dilema dibuatnya. Harus bagaimana dia sekarang? Jika hanya mengandalkan istrinya rasanya tidak mungkin. Karena istrinya hanyalah seorang buruh cuci dan setrika. Mungkin dari penghasilan istrinya hanya akan cukup untuk biaya makan mereka sehari-hari.
Lantas bagaimana dengan nasib kedua anaknya kelak? Bahkan kelumpuhannya ini akan sampai kapan Pak Umar pun juga tidak tahu.
"Pak Umar, tolong jawab saya. Bagaimana caranya agar saya bisa tetap membantu Anda dan agar Anda mau menerima semua bantuan saya. Terutama untuk biaya sekolah Sakura dan Salman. Saya benar-benar tulus ingin membantu keluarga ini."
Pak Umar masih terdiam tak tahu harus menjawab apa.