Hiro tidak tahu harus berbuat apalagi agar ia bisa membantu keluarga Pak Umar, karena benar saja apa yang pernah Pak Umar sampaikan bahwa beliau hanya akan menerima bantuan Hiro untuk biaya pengobatannya saja. Tidak untuk yang lainnya. Padahal menurut Hiro, Pak Umar jadi seperti ini karena dirinya, sehingga Pak Umar tak dapat lagi bekerja dan tidak bisa menghidupi anak dan istrinya.
“Pak Umar, saya mohon Anda terima ini.“ Hiro menyodorkan amplop coklat berisi sejumlah uang. Untuk kesekian kali Hiro mengharap agar Pak Umar mau menerima bantuannya.
Pak Umar masih dengan senyum tuanya menyodorkan kembali amplop coklat yang tadi Hiro berikan.
“Hiro, mohon maaf sebelumnya. Bukannya Bapak sombong atau apa. Tapi Bapak memang benar-benar tidak bisa menerima ini semua.“
Hiro mengusap wajahnya frsutasi. Harus dengan cara apalagi agar Pak Umar mau menerima uang yang sebenarnya tidak banyak nilainya. Tapi Hiro rasa akan cukup untuk membiayai hidup keluarga Pak Umar beserta untuk biaya sekolah Sakura dan juga Salman.
“Pak Umar, katakan pada saya. Apa yang harus saya lakukan agar Pak Umar mau menerima bantuan dari saya.“
Lagi-lagi Pak Umar tersenyum.
“Hiro, kamu tidak perlu melakukan apapun. Bapak yakin pasti rejeki itu akan ada. Kamu jangan khawatir.“
Sekalipun Pak Umar mengatakan itu dengan memaksakan senyum, tapi Hiro tetap tidak bisa menerima semua ini. Hidup Hiro tidak akan tenang selagi dia masih menanggung kesalahan yang cukup besar pada Pak Umar dan keluarganya.
Hiro menyerah. Dia ambil kembali amlop yang tadi dikembalikan oleh Pak Umar. Selanjutnya Hiro pun meninggalkan kediaman keluarga Pak Umar dengan pikiran berkecamuk. Harus dengan cara apalagi dia bisa membujuk Pak Umar agar mau menerima bantuannya.
Dengan kondisi Pak Umar yang demikian, bagaimana mungkin Pak Umar bisa mencari nafkah untuk keluarganya. Bahkan keseharian Pak Umar hanya bisa duduk di atas kursi roda.
****
Beberapa hari berlalu semenjak pertemuan terakhirnya dengan Pak Umar, Hiro yang sedang mengadakan janji temu dengan kliennya, memilih sebuah resto untuk tempat pertemuan mereka. Hari sudah beranjak sore saat Hiro keluar dari dalam mobilnya yang ia parkir di halaman depan resto tersebut.
Dengan tangan kanan yang menggenggam ponselnya, Hiro mendorong pintu masuk resto. Berdiri sejenak mengamati seluruh penjuru ruangan. Berharap Hiro dapat menemukan keberadaan kliennya. Tapi alangkah terkejutnya, saat ekor mata Hiro menangkap keberadaan seseorang yang sedang menggunakan seragam pelayan.
Dengan langkah lebar, Hiro segera mendekati pelayan wanita yang sedang membungkuk mengelap meja.
“Sakura!” panggilnya.
Gadis yang ia panggil namanya mendongak menatap Hiro tak percaya.
“Paman!“ suara Sakura sangat lirih.
“Untuk apa kamu berada di sini? Bukannya kamu harus sekolah?”
Nada Hiro sedikit meninggi menandakan jika lelaki itu sedang emosi.
“Aku ... aku bekerja di sini. Dan ini sudah sore, Paman. Jadi jam sekolahku juga sudah usai.“
“Apa? Kau bekerja di sini? Sejak kapan kau bekerja di tempat ini?”
Melihat kilat amarah di wajah Hiro membuat Sakura menunduk takut-takut.
“Sudah dua hari aku bekerja di sini, Paman.”
“Astaga, Sakura!“ Hiro meraup wajahnya kasar.
Jadi ini yang dilakukan gadis itu untuk membantu biaya hidup keluarganya. Dengan bekerja paruh waktu sebagai pelayan resto. Bahkan seharusnya tugas Sakura sebagai seorang pelajar adalah belajar. Bukan justru merangkap sebagai pelayan.
Rasa bersalah kembali menyeruak di hati Hiro. Ini semua karena kesalahannya. Hingga masa depan Sakura pun dipertaruhkan. Tidak, Hiro tidak akan membiarkan Sakura menanggung beban hidup karena kesalahannya. Hiro harus melakukan sesuatu .
“Permisi, Paman. Aku harus meneruskan pekerjaan," pamit Sakura.
Gadis itu sudah berlalu meninggalkan Hiro yang masih diam terpaku di tempat.
Baru saja berniat untuk menyusul Sakura, panggilan dari kliennya yang duduk di salah satu kursi mengalihkan perhatian Hiro. Dengan terpaksa Hiro melupakan keberadaan Sakura. Dan menghampiri kliennya.
***
Setelah selesai bertemu dengan kliennya, Hiro tak langsung pulang. Padahal hari sudah beranjak malam. Yang Hiro lakukan adalah berdiam diri di dalam mobil miliknya. Dengan sesekali ia memainkan ponsel untuk mengusir rasa bosan karena berjam-jam harus duduk di dalam mobil.
Bukan tanpa sebab Hiro melakukan semua ini. Karena Hiro ingin menunggu Sakura selesai bekerja. Hiro ingin tahu sampai jam berapa Sakura bekerja. Bahkan ini sudah jam sembilan malam. Resto sudah mulai ditutup. Beberapa lampu sudah dimatikan. Hiro masih setia dengan penantiannya. Pasti tak akan lama lagi Sakura akan keluar.
Tiga puluh menit berlalu dan benar saja, Sakura keluar melewati pintu samping resto. Hiro yang melihatnya segera menegakkan punggungnya. Dinyalakan mesin mobilnya dan segera menjalankannya. Menyusul Sakura yang sudah berjalan menyusuri trotoar jalan.
Hiro menjalankan mobilnya pelan, lalu ia buka kaca mobilnya.
“Sakura!” panggil Hiro.
Sakura yang sedang berniat mencari angkutan umum, menghentikan langkah lalu menoleh. Dia melihat Hiro yang berada di dalam mobil yang sedang mengikutinya.
“Paman, Hiro!”
Hiro sudah menghentikan mobilnya tepat di samping Sakura.
“Ayo masuklah! aku akan mengantarmu pulang.”
“Tidak usah, Paman. Aku bisa naik ojek atau angkutan umum,” jawab Sakura membuat Hiro geram.
“Sakura! aku bilang masuk. Dan jangan membantah. Ini sudah malam dan tidak baik untuk gadis sepertimu pulang sendirian seperti ini.” Dengan memaksa Hiro tetap membuat alasan agar Sakura mau ikut dengannya. Tentu saja Hiro khawatir jika ada orang yang ingin berbuat kejahatan pada gadis sepolos Sakura.
Sakura mendengus sebal. Tapi ada baiknya juga dia mengikuti Hiro. Daripada dia harus menunggu angkutan umum yang kadang cukup lama baru lewat, tak ada salahnya menerima tawaran Hiro yang akan mengantarnya pulang. Bisa mengirit ongkos juga.
Sakura membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya. Kelegaan menyusup di relung hati Hiro. Dengan semangat Hiro segera menjalankan mobilnya.
“Untuk apa kamu bekerja di sana Sakura? Bahkan kamu harus pulang malam seperti ini.” Hiro memulai percakapan bersama gadis di sebelahnya.
“Paman, kan, tahu. Bapak tidak bisa lagi bekerja. Lalu, siapa yang akan membiayai hidup kami?”
“Apa bapakmu tahu jika kau bekerja di resto itu?” tanya Hiro menyelidik.
Sakura menganguk. “Saya bekerja juga atas seizin Bapak, Paman.“
Lagi–lagi rasa bersalah hinggap di hati Hiro. Pak Umar sungguh keterlaluan. Beliau menolak bantuannya, tapi justru membiarkan anak perempuannya harus bersekolah sambil bekerja. Tidak. Hiro tak akan tinggal diam mengenail hal ini.
“Kau tahu Sakura. Sebenarya tugasmu itu adalah sekolah dan belajar. Bukan bekerja keras seperti ini. Bahkan semalam ini kau baru pulang. Ini sangat membahayakan dirimu. Seorang gadis sepertimu pulang sendirian malam-malam begini. Bagaimana jika ada orang yang berniat jahat kepadamu? apa kau tak pernah terpikir akan hal itu?” Omel Hiro pada Sakura yang ditanggapi Sakura dengan diam saja.