Tanpa Pak Umar juga Hiro sadari, ternyata Sakura mendengar semua pembicaraan mereka berdua sejak tadi. Sakura tak berniat menguping. Hanya saja, dia yang masih berada di dapur sayup-sayup mendengar namanya disebut-sebut oleh bapak dan Hiro. Sakura yang penasaran pun akhirnya mencoba mengintip di balik dinding ruang tamu. Ya, pada akhirnya Sakura telah mendengarkan semua pembicaraan mereka.
Mendengar apa yang Hiro sampaikan pada bapaknya. Mendengar semua kekhawatiran yang Hiro sampaikan. Sungguh Sakura tak dapat berkata apa-apa. Haruskah dia menerima tawaran Hiro yang ingin menikahinya, agar lelaki itu memiliki tanggung jawab padanya juga pada keluarganya. Tak mau berlama-lama mendengar juga takut jika apa yang dia lakukan kepergok orang, Sakura memilih meninggalkan tempatnya berdiri saat ini dan segera masuk ke dalam kamar miliknya.
Sakura berbaring di atas ranjang menatap langit-langit kamarnya. Pikiran Sakura menerawang. Huft ... beban hidup yang ia tanggung memang cukup berat. Semenjak bapaknya kecelakaan dan hanya bisa duduk di atas kursi roda, Sakura dengan terpaksa harus mengambil alih tanggung jawab bapaknya untuk mencari nafkah.
Dan sekarang begitu ada lelaki yang menawarkan bantuan pada keluarganya, haruskah dia menolaknya. Menolak niat baik lelaki yang sudah membuat bapaknya celaka. Astaga! Sakura sungguh sangat bingung saat ini.
Sementara itu, setelah kepergian Hiro dari rumahnya Pak Umar tak lagi mendapati putrinya. Beliau tahu jika Sakura pasti capek dan sudah beristirahat di dalam kamar. Oleh sebab itulah dengan susah payah Pak Umar menjalankan kursi rodanya untuk memasuki kamarnya sendiri. Pak Umar menatap istrinya yang tengah berbaring di atas ranjang dengan mata terpejam. Raut wajah lelah tampak di wajah istrinya yang mulai menua. Istrinya harus berjuang mencari nafkah untuk memenuhi segala kebutuhan keluarga. Menjadi buruh cuci dan setrika juga berjualan apa saja yang penting bisa mendapat uang halal.
Pak Umar meraup wajahnya, sungguh ia merasa sangat bersalah. Tidak berdaya dengan kondisinya yang lumpuh saat ini. Harus rela membiarkan dua wanita yang ia cintai untuk mencari nafkah.
Haruskah ia terima saja tawaran Hiro? Akan tetapi Pak Umar juga tidak mau egois dengan memaksa Sakura agar mau dinikahi oleh pria itu. Meskipun Hiro berniat baik pada keluarganya dan juga sudah berjanji untuk tetap membiarkan Sakura sekolah sekalipun lelaki itu menikahi putrinya kelak.
Memang sebaiknya Pak Umar membicarakan hal ini pada istrinya juga pada Sakura. Apapun keputusan Sakura nanti, Pak Umar tetap harus bisa menerimanya dengan lapang dadaa. Tidak akan memaksa Sakura agar mau menerima semua keputusannya untuk menikah dengan Hiro.
***
Keesokan harinya saat mereka sedang bersiap sarapan, Pak Umar tak henti menatap Sakura yang kini tengah menghidangkan makanan di atas meja. Anak perempuannya ini begitu rajin dan sangat cekatan mengerjakan semua pekerjaan rumah tangga.
"Pak, ini teh hangatnya. Dan ini obat Bapak. Sarapannya di habiskan, ya, Pak. Setelah itu jangan lupa diminum obatnya."
Sakura telah menyiapkan obat Pak Umar di atas meja. Sejak kecelakaan beberapa waktu lalu, Pak Umar memang masih harus rutin mengkonsumsi obat. Terutama obat pereda nyeri agar kakinya tidak sakit lagi. Selain itu jika tidak minum obat maka kepala Pak Umar akan sering terasa pusing. Itu semua dampak dari kepalanya yang terbentur aspal saat kecelakaan dulu.
"Terima kasih, Sakura." Pak Umar sungguh beruntung memiliki anak yang begitu penyayang dan perhatian kepadanya.
Sakura duduk di samping bapaknya. Dan mulai menyantap makanan miliknya.
"Salman, segera habisakan sarapanmu. Nanti kamu terlambat!" Sakura mengingatkan pada adik lelakinya.
"Iya, Kak," jawab Salman menurut pada kakak perempuannya.
Ibunya tidak ikut mereka sarapan, karena setelah subuh, beliau sudah berangkat bekerja. Menjadi buruh cuci di beberapa rumah tetangga.
Salman telah menghabiskan sarapannya, lalu pamit pada Pak Umar dan juga Sakura untuk pergi berangkat ke sekolah. Karena Salman harus menaiki sepedanya, jadi pagi-pagi sekali Salman harus segera berangkat agar dia tidak terlambat. Jarak rumah dengan sekolah Salman juga lumayan jauh.
Sekarang, Sakura pun telah selesai dengan sarapannya, lalu gadis itu melirik pada bapaknya yang tampak tidak bersemangat pagi ini. Makanan yang berada di piring Pak Umar masih tersisa banyak. Seolah sedang ada yang beliau pikirkan.
"Pak," panggil Sakura. Tangan lembut Sakura memegang lengan bapaknya, membuat Pak Umar tersentak lalu menatap Sakura.
"Bapak kenapa? Sarapannya tidak enak, ya, Pak?"
Pak Umar menggeleng. "B-bukan. Bukan itu. Sarapannya enak, kok." Pak Umar berusaha memaksakan senyumnya.
"Lalu, kenapa makanannya hanya Bapak makan sedikit?" tanya Sakura lagi.
Pak Umar tampak salah tingkah.
"Itu ... Bapak ... Bapak sedang tidak nafsu makan saja, Sakura," jawab Pak Umar berbohong.
"Bapak harus banyak makan jika ingin segera sembuh."
Pak Umar menunduk demi menyembunyikan raut wajahnya, agar Sakura tidak curiga. Pikiran Pak Umar berkecamuk, tidak tenang demi terngiang tawaran yang Hiro sampaikan kemarin.
"Bapak .... Bapak sedang memikirkan apa?"
Pertanyaan Sakura membuat Pak Umar mendongak, menatap putrinya. Beliau ingin bicara tapi mulutnya terkatup rapat. Bagaimana caranya untuk mulai bercerita pada Sakura.
Sakura menghela napas karena Pak Umar hanya diam membisu.
"Bapak ... apa Bapak kepikiran dengan perkataan Paman Hiro kemarin?" tanya Sakura.
Pak Umar terhenyak menatap putrinya dengan pandangan mata tak percaya.
"Sakura ... Kamu ... Kamu tahu?" tanya Pak Umar dengan sorot mata penasaran.
Sakura mengangguk. "Semalam, aku tidak sengaja mendengarkan saat Paman Hiro sedang berbicara dengan Bapak."
"Sakura, Bapak tidak akan memaksamu untuk menyetujui atau menerima tawaran Hiro. Bapak pun juga masih bingung harus berkata apalagi pada Hiro. Lelaki itu begitu baik. Dan Bapak tidak bisa menerima begitu saja kebaikannya."
"Aku tahu itu, Pak. Paman Hiro memang bertanggung jawab penuh dengan apa yang telah dia perbuat pada Bapak."
"Lalu, menurutmu Bapak harus bagaimana? Pernikahan yang Hiro tawarkan pasti sangat memberatkanmu, Sakura. Apalagi kamu masih sekolah. Meskipun usiamu sudah tujuh belas tahun dan sudah boleh menikah, tapi...."
Pak Umar tak melanjutkan ucapannya. Terlalu sulit menjabarkan kata-kata.
Sementara itu Sakura, tak kalah dilemanya. Apa yang harus dia lakukan? Jika menolak tawaran dari Paman Hiro, rasanya seperti dia terlalu sombong karena menolak niat baik seseorang. Namun, jika dia harus menerima tawaran pernikahan itu, terlalu sulit Sakura jalani. Menikah. Satu kata yang punya banyak makna. Dia masih sekolah, mana mungkin sudah harus menikah. Kecuali jika pernikahan itu mereka rahasiakan, mungkin tak terlalu membebani Sakura yang masih berstatus siswa kelas tiga SMA.
Sakura memberanikan diri menatap Pak Umar. Begitupun juga, pandangan mata tua bapaknya seolah menyiratkan banyak harapan pada Sakura. Ya, Sakura memang harus memutuskan. Sakura tidak boleh membuat Pak Umar terus kepikiran seperti ini. Hal ini tidak bagus untuk kesehatan bapaknya.
Pilihan Sakura hanya ada dua. Menolak atau menerima. Dua-duanya juga ada konsekuensinya yang harus Sakura tanggung nantinya. Jika menerima, maka statusnya yang masih muda ini akan berubah menjadi seorang istri. Namun, jika menolaknya akan ada banyak orang yang harus ia kecewakan nanti.