Tujuh

1033 Kata
"Bapak ...!" panggil Sakura lirih. Pak Umar hanya menatap Sakura dalam diam. "Aku rasa, tawaran dari Paman Hiro ... akan ... aku terima," ucap Sakura terbata. Setelahnya gadis itu memejamkan mata berharap jika keputusannya adalah yang terbaik dari yang paling baik untuknya dan untuk keluarganya saat ini. "Apa yang kau katakan itu? Benarkah kau mau menerimanya, Sakura?" Pak Umar berusaha memastikan jika pendengarannya tidak salah akan jawaban yang Sakura berikan. Sakura mengangguk. Dia sudah berusaha ikhlas menerima apapun itu. Demi keluarganya. Meski sebenarnya Sakura tidak keberatan jika dia harus bekerja sepulang dari sekolah tanpa harus dengan cara menikah. Hanya melihat wajah khawatir bapaknya setiap ia pulang malam, membuat hati Sakura tidak tenang. Dan kini, ada seseorang yang ingin membantu keluarganya dan bertanggung jawab atas semua, Sakura ingin menolak. Tapi sekali lagi, demi melihat wajah sendu bapaknya, lagi dan lagi Sakura tidak tega seandainya bapaknya harus menolak Hiro. Sakura tahu, jika bapaknya akan sulit menolak keinginan dan maksud baik Hiro karena lelaki itu adalah lelaki yang sangat bertanggung jawab. "Bapak, aku sudah ikhlas seandainya Bapak menerima tawaran Paman Hiro." "Tapi ini menyangkut dirimu, Sakura." "Aku tahu, Pak. Tawaran yang diberikan Paman Hiro memang sangatlah berat untukku. Dan menikah, tentu saja belum terbesit sekalipun dalam pemikiranku. Apalagi aku juga masih sekolah." "Itulah yang membuat Bapak kepikiran dan tidak ingin memaksamu." "Tapi, seandainya aku menolak dan tidak mau menikah dengan Paman Hiro, apa Bapak bisa menolaknya? Bagaimana cara Bapak untuk menolak tawaran Paman Hiro, jika tujuan Paman Hiro sebenarnya adalah ingin membantu menanggung semua biaya hidup keluarga kita." Pak Umar tak menyangka jika pemikiran Sakura bisa sejauh ini. "Itulah Sakura yang membuat Bapak dilema. Di satu sisi Bapak sayang sama kamu dan Bapak tak mungkin memaksamu. Tapi di sisi lain, Bapak juga tidak bisa menolak tawaran Hiro karena Hiro yang sudah begitu baik terus saja memaksa Bapak agar mau menerima bantuannya." Bapak menjeda ucapannya. "Bapak tidak ingin menjualmu demi uang. Tapi ... Bapak sendiri tidak mau melihatmu hidup susah dan menggantikan tugas Bapak dalam mencari nafkah. Setiap melihatmu pulang malam, hati Bapak sungguh sakit. Seharusnya semua ini adalah tugas Bapak dan tanggung jawab Bapak." "Sudahlah, Pak. Jangan lagi dipikirkan. Yang jelas sekarang, aku akan terima apapun keputusan Bapak dan Paman Hiro. Aku bersedia menikah dengan Paman Hiro." "Terima kasih, Sakura. Lagi-lagi kamu harus berjuang demi keluarga kita. Maafkan Bapak yang tidak bisa berbuat apa-apa untuk keluarga kita." "Bapak jangan berbicara seperti itu. Ini sudah menjadi jalan hidup kita, Pak." "Bapak tahu itu, Sakura." "Ya sudah, kalau begitu aku berangkat sekolah dulu, ya, Pak. Jangan lupa dihabiskan sarapannya. Setelah itu diminum obatnya." Sakura beranjak berdiri mencium punggung tangan bapaknya sebelum ia berlalu meninggalkan Pak Umar seorang diri di rumah. Pak Umar sudah berkaca-kaca menatap punggug Sakura yang kian menjauh dari penglihatannya. Dalam hati Pak Umar berdoa semoga keputusan Sakura dan juga doa restu darinya adalah keputusan yang terbaik untuk Sakura dan keluarganya. **** Keesokan harinya , Hiro kembali datang ke rumah Pak Umar. Mendapati Pak umar yang sedang bersantai sembari menonton televisi. "Hiro, ayo silahkan masuk!" Pak Umar yang menyadari kedatangan Hiro segera menyambutnya dan istri Pak Umar segera mendorong kursi roda suaminya menuju ruang tamu. Hiro duduk di salah satu kursi. Pandangan matanya menatap sekeliling. Pak Umar tahu siapa yang Hiro cari. "Sakura belum pulang. Mungkin sebentar lagi," ucap Pak Umar memberitahu. Hiro mengangkat pergelangan tangan kanannya dan meatap arlojinya. Sudah jam delapan malam. Jika tahu Sakura belum pulang, mungkin tadi Hiro seharusnya pergi ke tempat kerja Sakura dulu dan menjemput gadis itu. Tapi sekarang Hiro sudah terlanjur berada di sini. Bu Umar yang datang dengan nampan berisi teh hangat meletakkannya di atas meja."Silahkan di minum." "Terima kasih, Bu." "Jam berapa biasanya Sakura datang, Pak." "Jam setengah sembilan terkadang juga jam sembilan." Hiro menghela napas, gadis seusia Sakura harus rela banting tulang mencari nafkah dan pulang malam-malam, padahal esok paginya sudah harus pergi ke sekolah. "Pak, tujuan saya datang kemari karena ingin medapat jawaban dari Pak Umar dan juga Sakura. Bagaimana, Pak? Apakah tawaran saya diterima?" Hiro menanti jawaban Pak Umar dengan harap-harap cemas. Sebenarnya tujuan dia menikahi Sakura juga selain Hiro iba pada Sakura juga agar Pak Umar tak lagi menolak semua bantuannya. Yang ada dalam benak Hiro hanya ini satu-satunya cara yang dapat dia lakukan. Seandainya Pak Umar juga Sakura menolaknya, terpaksa Hiro harus mencari cara lain yang entah apa itu nanti. Belum terpikir di otak Hiro. Pak Umar belum menjawab pertanyaan Hiro saat Sakura datang dan sudah ada di ambang pintu ruang tamu. "Sakura, akhirnya kau datang juga. Masuklah! Ada Hiro yang sudah menunggumu." Dengan langkah perlahan Sakura masuk dan duduk di samping ibunya. Sedari tadi ibunya hanya mendengarkan apa yang diperbincangkan Hiro dengan suaminya. Sebenanrnya Pak Umar juga sudah bercerita banyak pada istrinya, akan tetapi istrinya hanya menyerahkan semua pada anak dan suaminya. "Sakura, Hiro datang ke sini karena ingin menagih jawaban atas tawarannya dua hari lalu. Bapak rasa ada baiknya kamu sediri yang menjawabnya." Sakura sudah gugup luar biasa apalagi saat ini Hiro sedang menatapnya. Ini adalah keputusan tersulit selama dia hidup. Menyangkut masa depannya juga masa depan keluarganya. "Sakura ...!" suara berat Hiro membuat Sakura mendongak menatap lelaki itu. "Bagaimana, apa kau menerima tawaranku?" tanya Hiro lagi. Sakura menghela napas lalu dia bersiap mejawab. "Paman ... aku terima tawaramu,” jawab Sakura lalu menundukkan kepala. Malu dan juga takut Sakura rasakan saat ini. Tapi ia merasa keputusan ini adalah yang terbaik untuk semua. Hiro terhenyak, tak meyangka jika Sakura menerima tawarannya. "Jadi ... kau bersedia menikah denganku?" tanya Hiro sekali lagi. Sakura mengangguk. Kelegaan tak hanya pada Hiro tapi juga pada Pak Umar juga istrinya. Hiro, dia lega karena pada akhirnya dengan dia meikahi Sakura maka dia akan leluasa membantu keluarga Pak Umar. Karena kecerobohannya yang membuat Pak Umar dan keluarganya menjadi menderita. Dan Hiro tak akan pernah memaafkan kesalahannya yang cukup fatal. "Sakura, terima kasih karena sudah menerima tawaranku. Pak Umar, saya akan mempersiapkan segalanya. Dan sesuai janji saya pada Pak Umar, jika setelah menikah nanti saya tak akan mengganggu kehidupan Sakura. Sakura masih bisa bersekolah seperti biasanya dan masih bisa menjalani kehidupan seperti sedia kala. Dan saya akan memenuhi semua tanggung jawab sebagai seorang suami pada Sakura." Penjelasan Hiro yang panjang cukup jelas di dengar oleh mereka semua.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN