"Kuperingatkan sekali lagi sama kamu, Safia! Di kantor ini, kamu tetap bawahanku. Hanya staff biasa dan bukan siapa-siapa. Jangan sok cari perhatian apalagi sampai menyuruh OB memberikan makanan padaku. Paham kamu!" bentak Arya sembari mencengkeram dagu Safia. Mengabaikan perempuan itu yang kesakitan akibat tekanan kuat tangan pria itu pada kulit wajahnya.
"M-mas ... eh, Pak. Sa-saya hanya ...." Belum selesai Safia dengan kalimatnya, rahang Arya kembali mengeras.
"Ingat, Safia! Pernikahan kita hanya sebab Wila. Setelah saya puas membuat kamu menderita dan membalaskan dendam saya karena kamu telah menghilangkan nyawa Wila, siap-siap saja kamu saya ceraikan!" Dengan kasar Arya menghempaskan tangannya. Menjauhkan dirinya masih dengan tatapan tajam, pria itu keluar dari bilik toilet. Untung saja suasana masih sepi dan tidak ada siapa-siapa. Masih dengan menggerutu dan menahan amarahnya, Arya menuju ruang meeting. Hancur sudah mood Arya pagi ini dan itu semua karena Safia penyebabnya.
Sementara itu, Safia masih berdiri menopang tubuhnya pada dinding toilet. Menormalkan deru napasnya yang memburu karena perlakuan kasar Arya barusan. Tertatih menuju wastafel. Membasuh wajahnya dan menelisik pensmpilannya. Bekas memar kemerahan terlihat samar di kedua pipinya. Safia terdiam. Membuang napas kasar mengingat bagaimana sikap suaminya yang masih juga sama.
Aku harus apa sekarang? tanya pada dirinya sendiri sebelum ia pergi meninggalkan toilet. Berjalan gontai untuk kembali ke ruangannya. Berpapasan dengan salah satu rekan kerjanya.
Perempuan itu mengernyit heran melihat kedatangan Safia dengan wajah lesu dan tidak bersemangat. "Saf!" panggilnya membuat si empunya nama menoleh lalu memaksakan senyum.
"Are you okay?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja, Kania. Jangan khawatir."
Kania, wanita cantik yang menjabat sebagai Manager Operasional di perusahaan, menatap curiga pada sosok cantik yang semenjak menikah justru tak terlihat sama sekali raut kebahagiaan di wajahnya. Akan tetapi meski pun demikian Kania tidak ingin terlalu ikut campur dalam kehidupan pribadi Safia.
"Jika ada apa-apa ... jangan sungkan cerita," ucapnya kemudian lalu menepuk punggung Safia. Kania tersenyum, setelahnya meninggalkan Safia karena sebenarnya wanita itu tadi akan pergi meeting.
Safia mengembuskan napas lelah sekali lagi. Entahlah. Apakah dia sanggup bercerita pada orang lain dengan apa yang dia alami saat ini. Bukankah selama ini Arya yang dia inginkan untuk menjadi suami? Lantas, setelah pria itu dia dapatkan tapi apa yang dia harapkan tidak sesuai dengan keinginan, apakah Safia harus mengeluhkan pada orang lain?
Tidak. Safia gelengkan kepalanya lalu masuk ke dalam ruang kerjanya.
•••
Berdiri di depan lobi untuk memesan ojek online, ketika jam pulang kantor usai. Saat itulah sebuah mobil yang dia hafal diluar kepala melintas di depannya. Mata Safia membulat dengan mulut menganga. Bagaimana mungkin Arya hanya melewatinya begitu saja. Tidak mungkin juga jika Arya tidak melihat keberadaannya.
Dengan menahan kekesalan, wanita itu berjalan meninggalkan lobi untuk menghampiri ojek yang menunggunya di depan gerbang perusahaan. Hal yang mustahil mengharapkan Arya mau berbaik hati memberikan tumpangan padanya.
Berbaur dengan kemacetan. Segala bentuk umpatan untuk Arya hanya mampu tertahan di tenggorokan. Entah pria macam apa yang telah menikahinya.
Hingga hampir satu jam perjalanan yang dilakukan, Safia sampai juga di rumah sang mertua. Segera turun dari atas boncengan motor dan mengembalikan helm yang tadi dia pakai. "Terima kasih, Mas."
"Sama-sama Mbak."
Safia menghirup napas dalam. Rumah yang baru beberapa hari ini menjadi tempatnya pulang. Ada rasa takut yang Safia rasakan ketika harus bertemu dengan ibu mertuanya. Jantungnya berdebar-debar bahkan ketika kakinya baru saja menginjak halaman. Mobil Arya sudah terparkir di carport depan. Safia mendengus merutuki sikap tidak baik suaminya. Memejamkan matanya. Menghirup napas dalam, menyiapkan mental sebelum bertemu dengan Arya dan ibunya.
“Assalamualaikum,” ucap salam yang Safia lontarkan saat memasuki rumah yang pintunya kebetulan dalam kondisi terbuka.
Tak ada sahutan, padahal yang Safia dengar, ada obrolan yang dilakukan Arya, ibu serta entah siapa di ruang keluarga. Perempuan itu melangkah masuk, dan sialnya malah menemukan tatapan tidak menyenangkan tidak hanya dari Arya dan ibu mertuanya saja, melainkan ada juga seorang wanita yang Safia tahu merupakan kakak perempuan Arya. Safia pernah bertemu sekali di hari pernikahannya. Ingin menyapa kakak iparnya, akan tetapi keburu Bu Neni menegurnya.
“Ke mana saja kamu? Kenapa baru pulang?” Pertanyaan yang Bu Neni lontarkan dengan mata tajam menatap pada Safia yang berdiri mematung di ambang ruang keluarga.
“Macet, Ma.” Bukan alasan, tapi memang kenyataannya demikian. Dan lagi, suaminya yang tampan itu malah tidak mau memberikan tumpangan.
“Halah, alasan saja kamu. Buruan sana masak untuk makan malam! Keburu lapar perut kita.”
“I-iya, Ma.”
Safia melangkah menuju kamar. Kamar milik Arya yang juga menjadi kamarnya. Masih untung Arya mengijinkan dia tidur di satu kamar yang sama dengan pria itu. Tanpa mengganti bajunya, hanya menyimpan tas kerja saja, Safia kembali keluar kamar langsung menuju dapur. Sempat melirik pada Arya dan keluarganya yang tampak akur dan akrab menonton televisi sembari bercengkerama. Yang Safia tahu, papanya Arya sudah meninggal dunia dan Bu Neni adalah seorang janda. Kakak perempuan Arya memiliki satu orang anak perempuan yang Safia lihat sedang berselonjor di atas karpet sedang menggambar. Tak mau berlama-lama melihat keharmonisan keluarga suaminya, Safia gegas masuk ke dalam dapur. Takut jika Bu Neni akan kembali marah-marah padanya. Membuka kulkas dan kosong melompong. Hanya ada air mineral dan es batu saja. Bahkan telor atau pun sayuran tak ada sama sekali. Safia mendesah lelah. Bagaimana mungkin ibu mertuanya ini menyuruhnya untuk memasak jika bahan-bahannya saja tidak ada.
Memutusakan untuk kembali ke ruang keluarga. Memberanikan diri bertanya pada sang mertua. “Ma, maaf. Kenapa di kulkas tidak ada bahan makanan?”
Bu Neni melirik judes pada Safia. “Memang nggak ada. Ya kamu beli sana. Gitu saja pake nanya.”
“Tapi ini sudah malam mau belanja di mana, Ma?"
"Terserah kamu lah. Itu bukan urusan saya!" Dengan acuh Bu Neni menjawab. Safia melirik suaminya yang tak ada respon sama sekali.
Dengan memberanikan diri Safia malah memanggil sang suami. "Eum … Mas Arya. Apa saya bisa minta tolong untuk mengantar belanja ke supermarket atau ke pasar yang dekat-dekat sini?”
“Nggak bisa. Saya sibuk,” jawab Arya ketus dengan mata masih mengarah pada televisi.
“Sudah sana pergi sendiri. Jangan manja kamu, Safia!” Bahkan kali ini Bu Neni yang geram sekali dengan Safia, menarik lengan menantunya itu sampai pintu depan.
Safia meringis karena kembali mendapatkan kekerasan dari sang mertua. Modelan mertua dalam sinetron yang suka menganiaya menantunya.
“Malah bengong! Buruan sana!”
“I-iya, Ma. Tapi saya mau ambil dompet dulu di kamar.” Safia melewati Bu Neni dan kembali masuk ke dalam kamar. Sempat melirik Arya, dan suaminya itu malah membuang pandangan ketika tanpa sengaja tatapan mata mereka saling bertubrukan.
Tak mau membuang-buang waktu jika tidak mendapat omelan lagi dari Bu Neni. Safia lekas meraih tasnya yang mana di dalamnya terdapat dompet serta ponsel. Baiklah dia tak akan manja. Jika Arya tak mau mengantarnya, Safia akan naik ojek saja. Meski sudah hampir pukul delapan malam.
Keluar dari dalam kamar, tak ada satu pun dari keluarga suaminya yang menyapa. Bahkan Bu Neni saja seolah tak perduli dengannya, padahal beberapa saat lalu baru saja memarahinya.