“Ya!” panggil Alya, kakak perempuannya.
“Hem.” Dengan malas, lelaki itu menjawab.
“Gimana dengan pernikahanmu?”
“Gimana apanya?”
Alya berdecak. “Safia.”
“Kenapa dengan Safia?”
“Kalian perlakukan dia dengan tidak baik. Apa menurutmu dia akan tetap diam saja?” tanya yang Alya lontarkan, ketika sang mama pergi meninggalkan mereka karena ingin memesan makanan via online.
“Aku tak perduli. Kalau dia tidak sanggup bertahan dengan pernikahan ini … gampang. Dia bisa pergi dan aku tak akan mencegahnya.”
“Kamu ini. Kenapa kamu nikahi dia jika tidak menginginkan dia menjadi istrimu, Ya!”
“Itu salah dia sendiri. Kenapa membuat masalah denganku.”
“Apa kamu yakin, meninggalnya Wila karena Safia sengaja mencelakainya?”
“Kalau tidak karena dia … Wila nggak akan pergi meninggalkan aku. Kau tahu, Kak. Safia, dia juga menyukaiku. Safia dan Wila bersahabat baik tapi bisa-bisanya Safia malah menyukai kekasih sahabatnya sendiri. Dan aku yakin sekali ada sesuatu yang telah Safia rencanakan pada Wila sampai kecelakaan itu terjadi. Agar Safia bisa memilikiku dengan cara menyingkirkan Wila."
“Tapi … jika Safia tidak terlibat atas kecelakaan Wila bagaimana? Dan ternyata kamu hanya salah sangka saja?"
Arya mengedikkan bahunya. Dalam hatinya sudah terlanjur membenci Safia karena dalam benak Arya, Safia lah penyebab Wila pergi meninggalkan dia untuk selamanya.
“Apa kamu tidak ada niat menjalani saja pernikahan yang baik dengan Safia?”
“Tidak. Kak, apa kamu pikir aku masih bisa hidup berbahagia setelah Wila meninggalkan aku? Aku sangat kehilangan dia, Kak. Dan rasanya semua seperti mimpi. Di saat aku tidak sanggup kehilangan dia, bisa-bisanya Wila malah meminta agar pernikahan tetap dilanjutkan dengan Safia lah yang menjadi pengantin wanitaku."
"Itu semua karena mungkin Wila ingin agar kamu tetap melanjutkan kehidupan meski tanpanya."
"Semua orang akan sangat mudah mengatakannya karena tidak pernah merasakan apa yang sedang aku rasa sekarang."
Alya menghela napas panjang. Menepuk punggung adiknya. "Yang sabar, Ya. Jangan terus terpekur akan kesedihan sebab ditinggalkan oleh Wila. Kasihan Wila tidak akan tenang di sana jika melihatmu seperti ini."
Obrolan adik kakak itu terhenti ketika sang mama datang dengan membawa dua kantong berisi makanan yang baru saja dibeli melalui aplikasi online.
“Ayo kita makan dulu,” ajak Bu Neni pada kedua anaknya dan cucunya.
“Mama pesan apa tadi?” tanya Alya yang antusias karena sudah mulai kelaparan.
“Makanan kesukaan kalian," jawab Bu Neni yang selalu tahu selera makan kedua anaknya, meski keduanya telah sama-sama dewasa. Sesayang itu beliau pada Alya dan Arya. Oleh karena itulah, kesedihan dan kekecewaan yang Arya rasakan, juga turut dirasakan oleh Bu Neni. Bahkan Bu Neni ikut-ikutan membenci Safia karena dalam benak Bu Neni juga menyalahkan Safia. Andai saat itu Wila tidak berkendara bersama Safia, andai Safia bisa lebih berhati-hati saat mengendarai motornya, kecelakaan itu tidak akan pernah terjadi. Dan Wila masih akan hidup dan telah menjadi menantunya saat ini. Bu Neni memang sangat menyukai dan menyayangi Wila layaknya anak perempuan sendiri. Begitu bahagia ketika Arya dan Wila akan menikah. Namun, kebahagiaan itu dipatahkan dengan kesedihan yang mendalam karena kepergian Wila untuk selama-lamanya. Yang makin tidak bisa Bu Neni terima, karena Wila justru memberikan wasiat pada Arya agar tetap melanjutkan rencana pernikahan yang kurang tiga hari dengan seseorang yang telah menjadi penyebab meninggalnya wanita itu. Bu Neni masih tak bisa menerima semua ini. Itulah kenapa keberadaan Safia di sekitarnya hanya menambah luka batin beliau. Memperlakukan Safia dengan tidak baik agar wanita itu tidak betah dan pergi meninggalkan kehidupan Arya. Yang penting, Arya sudah melaksanakan wasiat Wila.
Bu Neni mulai membuka kantong makanan dan mengeluarkan isinya di atas meja. Arya memperhatikan apa saja yang mamanya pesan. “Kalau mama sudah pesan makanan sebanyak ini, kenapa pakai nyuruh Safia belanja segala?”
“Kenapa? Kamu tidak suka jika perempuan itu mama suruh-suruh?”
“Bukan begutu mama. Hanya aneh saja. Sia-sia lah dia belanja.”
“Nggak ada yang namanya sia-sia. Biar saja dia tahu rasa. Jangan harap dia hanya mau enaknya tinggal di sini sesuka hatinya. Lagian nggak ada yang gratisan ya di dunia ini.”
"Terserah mama saja lah.”
Arya pun malas mendebat mamanya. Memilih menikmati makanan saja karena jujur dia sendiri sudah lapar.
Pun halnya dengan Alya dan anaknya yang ikut makan juga sembari menunggu suaminya datang menjemput.
***
Safia sungguh lelah sekali. Bahkan sejak pulang kerja tadi perempuan itu sama sekali belum sempat berisitirahat dan sudah diharuskan ke pasar untuk berbelanja. Inginnya tadi dia ke supermarket saja tapi lokasi dari perumahan tempat tinggalnya lumayan jauh. Dan yang lebih dekat dengan rumah adalah pasar sore yang memang buka di sore hingga pagi. Beberapa sayuran dan perdagingan serta aneka bumbu-bumbu sudah Safia beli. Sekalian untuk stock di rumah mertuanya agar dia tidak lagi dikerjai seperti ini. Diminta memasak tapi tidak ada bahannya. Sangat menyebalkan. Andai saja Safia tidak ingat tentang Arya, mungkin dia juga tidak akan mau disuruh-suruh seperti ini. Ayah dan ibunya saja yang merupakan orang tua kandungnya, tidak pernah memintanya pergi ke pasar. Tapi ini … ya sudahlah tak ada gunanya juga menggerutu dan menyesali nasibnya. Dulu dia yang tergila-gila dengan Arya sampai rela melakukan apapun juga untuk mendekati pria itu. Termasuk bekerja menjadi staff biasa saja di kantornya sekarang. Namun sayangnya, Arya lebih memilih Wila ketimbang dirinya.
Sekarang, di saat Arya telah menikah dengannya dan Safia tahu bahwa Arya belum bisa menerimanya karena rasa cinta Arya pada Wila tak mungkin bisa terhapus begitu saja. Safia terima dan mau bersabar. Berharap suatu saat nanti Arya mau membuka diri dan menerimanya sebagai pengganti Wila.
Turun dari atas ojek motor sedikit kesusahan karena banyaknya barang belanjaan yang dia bawa. Menyipitkan mata ketika melihat adanya mobil lain yang terparkir di halaman depan.
Tak lama berselang, bahkan Safia masih berdiri di halaman ketika sosok lelaki muncul keluar dari dalam rumah.
"Loh, Saf! Baru pulang. Dari mana?"
Safia tersenyum tipis pada sosok lelaki yang juga baru kedua kalinya ini dia temui. Lelaki yang tak kalah tampan dari Arya, dan yang Safia ingat namanya Ridwan.
"Dari pasar, Mas."
Kening Ridwan mengernyit. "Ke pasar malam-malam begini?"
Safia menganggukkan kepala. Tidak mau banyak berkata-kata sebab Alya dan Bu Neni keluar dari dalam rumah menatapnya tidak suka.
"Saya permisi masuk dulu, Mas!" pamit Safia, melewati Ridwan, Alya dan Bu Neni begitu saja.