Van Weidereveld (2)

1771 Kata
"Itu artinya apa coba, Maruap?" pancing Tulang Hinsa cengar-cengir. Maruap menundukan kepala. Kedua pipinya bersemu merah. Malu-malu ia mengakui bahwa dirinya telah salah mencurigai hampir semua orang seperti berhubungan dengan kasusnya yang belum selesai-selesai. Dua hari lalu, untuk kali pertama Maruap menjejakan kaki pada tanah di luar rumah pamannya tersebut. Tak tahu kenapa, yang ada di pikirannya, ia hanya harus. Tak jauh dari rumah pamannya, ada sebuah pematang sawah. Tak begitu luas, namun dari satu-dua petak sawah itu, keluarga Tulang Hinsa bisa menyambung nyawa. Maruap tergerak hatinya untuk membantu keluarga seseorang yang sangat luar biasa baik hatinya. Dalam perjalanan ke sana pula, walau jaraknya dekat, aneh memang jika Maruap--untuk sampai ke sana saja--butuh waktu tiga jam lebih. Padahal pertama datang ke rumah pamannya itu, pematang sawah itu yang Maruap lihat kali pertama. Bahkan beberapa rumah warga sempat ia tak kenali. "Itu karena kau terlalu sering berpikir yang tak seharusnya. Jadi, secara alam bawah sadar, kau berpikir seluruh orang itu sama dengan mereka yang sering mengganggu kau. Saking curiganya, kau sampai tidak mengenali lingkungan sekitar; juga kau butuh waktu lama sekali untuk sampai ke suatu tempat yang sudah pernah kau lihat." Maruap mengangguk-angguk saat mendengarkan penjelasan Tulang Hinsa. "Tapi Tulang maklum," Tulang Hinsa tersenyum, lalu tertawa lumayan kencang. "Seringnya diganggu secara alam supranatural, akan membuat korbannya jadi lebih sering berpikir yang bukan-bukan. Korban jadi sering mencurigai sesamanya. Walau sesamanya baik dan mungkin tak terlalu berhubungan, bagi si korban, sesamanya akan menjahatinya seperti pelakunya. Biasanya seperti itu, Maruap. Tulang lumayan sering mengalami saat remaja dulu. Hingga Tulang baru sembuh setelah menyepi dulu dari keramaian di suatu tempat, yang kelak Tulang bertemu Nantulang kau itu. Hahaha." ***** Sylvie lumayan gondok. Padahal dirinya menyampaikan satu buah kesaksian di dalam gereja, mengapa dia malah dicecar? Salahkah menyampaikan kesaksian seperti itu? Setahu Sylvie, salah seorang pendeta di sana meminta Sylvie untuk bersaksi iman di sana. Pendeta itu merupakan pendeta pengganti Simom Westenbroek. Masih orang Eropa, namun tak sebaik Simon. Sylvie agak kurang menyukai sorot matanya. Seperti sorot mata seorang penipu. Di mata Sylvie, pendeta bernama Alfred seperti itu. Setahu Sylvie, bukankah yang namanya kesaksian iman, yang seperti itu? Lewat salah satu ayat dalam kitab suci, dikatakan iman adalah dasar dari segala sesuatu yang tak kelihatan. Berarti tak salah, kan, jika Sylvie menceritakan segala pengalamannya sebelum bertemu dan berkenalan dengan Maruap, juga sebelum tiba di tanah Sumatera. Harusnya kan setiap jemaat di sana tidak mengejek. Ini mengapa Sylvie malah dituduh menyebarkan cerita horor yang tak selayaknya diceritakan dalam sebuah rumah Tuhan bernama gereja? Aneh, pikir Sylvie, padahal kalau mau dicerna baik-baik, itu juga sebuah kesaksian iman. Tak hanya itu, yang lebih menjengkelkan, banyak jemaat di sana yang mengejek-ejek hubungannya dengan Maruap. Beberapa mengatainya sebagai hubungan terlarang, karena faktor latar belakang Maruap dan bagaimana Sylvie mengenal Maruap (tentu lewat mimpi). Salah seorang mengatakan, "Sekarang laki-lakinya mana? Apa cerita itu bukan delusi kamu saja, Zus? Laki-lakinya saja tak ada, bagaimana saya mau percaya?" Beberapa bahkan menyarankan Sylvie untuk mencari yang satu kasta. Maksudnya, sama-sama dari kasta Eropa. Syukur-syukur orang Belanda yang beragama Katolik Roma. Sylvie lumayan kesal. Darah sudah naik hingga ubun-ubun kepalanya. Mengapa sedikit sekali--yang bahkan nyaris tak ada sama sekali--orang-orang di gereja itu yang mau percaya dan memberikan respek serta simpati? Mengapa malah diejek? Salahkah jika Sylvie begitu mencintai Maruap dengan segenap hati? Salahkah juga jika pertemuan awal mereka berdua diawali dengan sebuah mimpi? Rasa-rasanya Sylvie sangat menyesal sekali menceritakan segala pengalamannya semasa kecil dulu. Untung saja, Sylvie tak menceritakan segala keanehan yang dialaminya di keluarganya sendiri. Hati nurani Sylvie berkata, "Itu berbahaya," Hanya saja, selama beberapa hari ke depannya, entah mengapa perempuan Belanda ini seperti tercuci otaknya. Beberapa kata-kata dari jemaat gereja itu sedikit mempengaruhinya. Pernah dalam satu waktu sendirinya, Sylvie pernah berpikir bahwa mungkin bapak itu benar. Mungkin Maruap bukan orang yang tepat. Mungkin hubungan itu agak berbahaya dan terlarang. Kata-kata itulah yang menunda pencarian Sylvie akan Maruap. Cepat sekali gadis bermata hijau itu berubah pikiran. Imannya ternyata belum teruji. Itulah yang ditakutkan oleh Pak Pendeta Simon sebelum berangkat ke tanah seberang. Dulu sekali, sewaktu Sylvie masih bersama Pak Pendeta Simon, pendeta itu pernah menyarankan Sylvie agar terus menyimpan itu semua dalam relung hatinya. Bahkan oleh pendeta itulah, Sylvie tahu bahwa segala pengalamannya kala kanak-kanak itu memang sebuah pengalaman iman. Sylvie malah berkata, "Tapi, Meneer, agak-agak horor cerita saya ini. Saya lebih bercerita soal dunia lain. Soal roh-rohan, hantu-hantuan." Pak Pendeta Simon berkata, "Yang namanya kesaksian iman memang seperti itu. Dulu Bapak sempat berpandangan seperti itu. Memang melibatkan alam atau dimensi lain. Memang kamu kira beberapa kisah di kitab suci juga tidak sama? Sama, Sylvie. Beberapa negara di Eropa malah mengategorikan itu sebagai urban legend, alih-alih disebut sebagai ghost stories. Malah cerita Daud melawan Goliat saja sering disebut dongeng atau sebuah urban legend dari Palestina." Sylvie terngiang beberapa pengalamannya bersama Pak Pendeta Simon yang sudah tak bersama Sylvie lagi. Dia kangen pula dengan pendeta itu; sama kangennya dengan Maruap. Hanya saja, untuk yang terakhir, pendiriannya mulai goyah. Kata-kata itu begitu mempengaruhi pikirannya. Sylvie mulai meragukan Maruap dan segala yang terjadi antara mereka berdua. Bahkan sempat terpikirkan mencari laki-laki lain. Hingga..... Suatu hari, teman-temannya yang mendatangi Sylvie di alam mimpi itu mengunjunginya. Lengkap. Tak ada yang kurang. Ada Adolf Schummer, Gouw Ai Thien, Brian Kryschopp, Karina Singh, Pierre Vicente, Adrian Vavassori, hingga Jean Marveoux. Salah satu dari mereka lalu memberikan kode pada Sylvie yang berarti, 'Memang kami yang datang waktu itu'. Orang itu Adrian yang beberapa kali mengedipkan mata sambil cengar-cengir, yang berikutnya Sylvie seperti mendengar suara Adrian di kepalanya yang berkata: "Aku dan lainnya yang memang datang ke mimpi kamu waktu itu." Selanjutnya, di dalam rumah yang awalnya milik Pak Pendeta Simon, Sylvie dan yang lainnya ngalor ngidul. Karina yang berdarah India menutup dulu segala pintu dan jendela. Katanya, "Biar aman saja." Brian membenarkan. "Sylvie, semenjak kamu minggat itu, banyak hal sudah terjadi. Daddy kamu sungguh tak berperasaan. Ayahnya Pierre malah dijebloskan gara-gara tuduhan menyembunyikan kamu. Menyembunyikan apanya? Kami memang tak tahu kamu pergi ke mana hingga secara batin, kami berhasil menemukan dirimu. Tentunya dengan mengandalkan segala isu yang ada. Ada guru yang bilang bahwa kamu tinggal sekarang di kampung ini. Lantas kami semua ingat, kamu pernah bercerita ke kami soal seorang pendeta bernama Simon. Kami selidikilah Pak Pendeta Simon itu. Sayang, orangnya sudah tak berada di sini lagi." Sylvie mengangguk. "Oh yah, bagaimana hubungan kamu dengan pria Batak tersebut?" tanya Adolf. Sylvie menggeleng, lalu buang napas. "Entahlah, hanya saja aku merasa dirinya bukan orang yang tepat. Aku sempat kepikiran hubungan ini salah." Teman-teman Sylvie itu tersentak kaget. Mereka sangat kaget mendengar pengakuan Sylvie barusan. Dulu, Sylvie terlihat sangat yakin, percaya, dan begitu memuja Maruap. Mengapa mendadak berubah? Setelah dikorek-korek, Sylvie baru mau menceritakan apa saja yang sudah ia alami selama ini, termasuk kata-kata jemaat di dalam gereja tersebut. Adolf lalu menyarankan agar tak menyerah begitu saja. Kata-kata mereka itu sebaiknya dihiraukan saja. Pierre berkata, "Aku curiga itu semua mungkin sumbernya berasal dari keluargamu sendiri. Pendeta Alfred Wistermaan itu apalagi. Aku pernah dengar pendeta itu lumayan kenal dengan Daddy kamu itu. Bahkan pernah melihatnya mampir ke rumah. Orangnya sama dengan yang kamu gambarkan itu. Alis tebal, kumis tipis, rambut ikal, rahang kotak, dan ada tahi lalat di dekat telinga kirinya." Omong-omong, jaman itu belum ada kamera. Alhasil, untuk mengenalkan seseorang, memang harus lewat bagaimana kita bisa mendeskripsikan fisik orang tersebut. Atau, lewat sebuah sketsa, yang tak semua orang bisa menggambar. Karina ikut menyumbang saran. "Aku dan lainnya sama-sama berpandangan bahwa hubungan kalian itu tidak salah. Itu merupakan hubungan yang layak diperjuangkan. Jadi, jangan kamu dengarkan kata-kata mereka. Aku yakin Maruap akan sangat sedih hatinya begitu tahu." "Dia saja sangat sulit aku temui. Malah tak ada kabar. Mencoba mencari aku pun tidak." kata Sylvie ketus. "Sylvie, Maruap sangat mencintai kamu. Juga, hubungan itu tak salah. Jadi, benar kata Karina itu. Lagipula, bersama Brian, aku menyelidiki soal Maruap dan keluarganya. Tengah ada masalah sangat serius di keluarganya. Itulah kenapa Karina menutup pintu dan jendela." Antusiasme Sylvie mulai bangkit. Lebih bangkit lagi saat Brian berujar, "Ada yang tak beres dengan ini semua, Sylvie. Ini semata bukan sekadar hubungan cinta belaka. Kamu harus hati-hati. Dan, sebaiknya jangan kembali ke rumah dulu. Kalau kamu, kami bisa tinggal di sini. Atau salah satu dari kami yang tinggal. Bagaimana?" Adolf berkata lagi, "Itu benar, Sylvie. Dan, kalau kamu memang sungguh mencintai Maruap, hanya jangan dengarkan kata-kata orang lain. Bisa saja ada sebabnya mereka berkata seperti itu. Lagipula mana ada perjalanan cinta yang berjalan mulus-mulus saja. Pasti banyak lika-likunya. Kasihan Maruap kalau kamu langsung cepat menyimpulkan seperti itu sebelum menyelidikinya lebih dahulu." "Bisa saja itu hasutan, Sylvie," timpal Karina. "Segala kata-kata yang kita dengar dari orang lain itu sebaiknya jangan terlalu diseriusi. Itu kan baru opini, Sylvie. Masa kamu langsung cepat terpengaruh dan langsung menyimpulkannya sebagai kebenaran. Hubungan kamu dan Maruap juga belum lama. Bagaimana bisa kamu terpengaruh kata-kata mereka?" ujar Jean. "Lebih baik ikuti kata hati saja. Itu tak pernah salah. Kata hatimu berkata apa?" ucap Gouw Ai Thien. Sylvie mulai sadar. Ia bergeming dan merenungi kata-kata teman-temannya. Lalu, ia berkata, "Ia berkata supaya jangan menyerah. Kalian benar, tak sepantasnya aku cepat terpengaruh seperti itu. Aku kan bukan anak kecil lagi." Gouw Ai Thien mengacungkan jempol. Yang lainnya lalu menyemangati Sylvie. Kemudian Sylvie meminta agar mereka mau tinggal bersama. Namun hanya Gouw Ai Thien dan Karina Singh yang mau. Itu juga karena mereka berdua perempuan. Jauh lebih baik sesama perempuan yang menemani Sylvie seraya pertemuannya dengan Maruap kelak. Malamnya, Pak Pendeta Simon datang lagi ke mimpi Sylvie. Pak Pendeta Simon menyarankan Sylvie untuk lebih mengikuti kata-kata teman-temannya. Juga, berpesan bahwa hubungan Sylvie dan Maruap memang harus diperjuangkan. Itu juga dari Allah langsung. Yang menyebabkan Pak Pendeta Simon berkata seperti itu karena peristiwa dejâ vu yang Sylvie dan Maruap alami. Itu sudah satu bukti kuat sebetulnya. Selanjutnya, kata Pak Pendeta Simon, kelak Sylvie akan mengerti mengapa harus memperjuangkannya. Satu lagi, Pak Pendeta Simon bilang bahwa Sylvie itu sangat butuh guru spiritual yang sangat tepat. Salah-salah, habislah Sylvie. Sylvie masih sangat muda dan sangat mudah terpengaruh kata-kata orang. Sylvie masih belum stabil. "Kalau kamu mau, Bapak bisa diam-diam jadi guru spiritual kamu." "Meneer saja sudah tidak berada di sekitarku. Padahal aku butuh kamu, Meneer. Masih banyak yang ingin aku tanyakan." Pak Pendeta Simon tersenyum. "Kamu cari tahu jawabannya sendiri. Dan, jangan pernah beranggapan segala opini itu benar. Selidiki dulu saja sendiri. Perbanyak wawasan dan pengetahuanmu. Lalu, ikuti kata hatimu. Niscaya, kamu akan mendapatkan tiap kebenarannya. Jangan menyerah, Sylvie. Perjuangkan cintamu dengan Maruap. Juga, hati-hati dengan keluargamu dan keluarga Maruap. Ada yang tak suka, lalu menyebarkan segala isu yang bukan-bukan. Jangan kembali ke rumah kamu yah, Sylvie." Kemudian Pak Pendeta Simon menghilang. Sylvie pun terbangun.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN