Tapanuli, 1876
Satu tahun sudah terlewati. Semenjak Sylvie mulai berani bercerita tentang segala keanehan di keluarganya, bulan-bulan pun tinggal kenangan. Banyak hal sudah terjadi.
Sekonyong-konyong Pak Pendeta Simon dipindahtugaskan ke suatu daerah yang kelak menjadi asal muasal Singapura. Maruap masih lebih sering di tempat pamannya, walau sesekali kembali ke rumah keluarga intinya, yang dihajar dengan segala perlakuan tak enak. Sementara Sylvie yang lebih parah. Dia tak berani pulang sama sekali ke rumahnya. Di bayangannya, sederetan mimpi dan penglihatan itulah penyebabnya. Terlebih mimpi di mana Pak Pendeta Simon datang untuk memperingati Sylvie. Itulah pegangan Sylvie untuk tidak kembali ke rumahnya. Di tengah pelariannya, Sylvie hidup di kampung di mana Pak Pendeta Simon tinggal sebelum pindah ke Singapura. Perempuan itu masih di rumah tersebut. Sendiri saja. Tapi lebih baik tinggal sendiri daripada tinggal di rumah yang makin lama makin membuat Sylvie bergidik. Dia ogah untuk terus menerus harus menjalani sekumpulan ritual dan upacara aneh tersebut.
Kembali ke Maruap. Pemuda itu masih tinggal di rumah pamannya. Sesekali di tempat perantauannya, dia sangat merindukan Sylvie. Tanpa sepengetahuan Maruap, Sylvie tanpa pernah berhenti untuk mencari keberadaan Maruap. Yang ada, banyak tangan gaib (invicible hands) yang sepertinya coba menghalangi Sylvie menemui Maruap. Kampung Maruap masih tetap sama saja bagi Sylvie. Masih angker, masih mistis, masih aneh. Warga-warganya makin terasa--di mata Sylvie--seperti berbohong dan menyembunyikan sesuatu. Sylvie muak dengan segala kebohongan tersebut. Itulah sebabnya, Sylvie sudah tiga bulan tidak ke kampung Maruap. Walau sesekali, perempuan itu pun merindukan Maruap dan selalu terbayang di otaknya bagaimana cara menemukan Maruap.
"Tidak, Tulang!" teriak Maruap. "Tak maulah aku ke sana. Orang Belanda kan itu?"
"Terus kenapa kalau dia orang Belanda? Baik itu. Tak ada hubungannya dengan keluarga pacar kau itu. Tulang sudah bilang kan, aman kalau kau ke sana." ujar Tulang Hinsa yang mulai senewen.
"Ah, siapa tahu saja nanti diam-diam Tuan Pieter itu akan melaporkannya ke ayahnya Sylvie. Tulang kan tahu, Pak Robert itu memiliki akses hingga pemerintahan Hindia Belanda. Sudah terkenal pula Pak Robert di seantero Hindia Belanda. Nanti Pak Robert tahu, aku dituduh yang bukan-bukan, lantas dijebloskanlah aku ke penjara bawah tanah. Tulang mau aku membusuk di penjara bawah tanah?"
"Ckckck," Tulang Hinsa terheran-heran. Namun bisa diterima. Jaman itu, kebencian warga pribumi terhadap orang Eropa memang sangat menjadi-jadi. Mereka selalu skeptis jika ada orang Belanda yang baik. Alhasil, pikiran picik muncul di mana-mana. Pikiran "Jangan-jangan" selalu ada. Memang benar. Itu hal wajar pula. Sebab pikiran seseorang bisa diketahui, namun tetap saja tak ada seorang pun tahu niat jahat sesamanya. Niat jahat itu lebih samar-samar dan tak terdeteksi daripada sebuah isi pikiran. Itulah yang ditakuti oleh Maruap dan mungkin nyaris sebagian besar warga pribumi lainnya.
"Tapi Tuan Pieter itu betul-betul baik. Beliau rekan bisnis Tulang. Tak ada hubungan ke keluarga Van Weiderveld, pemerintah maupun tentara Belanda. Jujur dan sangat berintegritas orangnya. Ayolah, Maruap, tolong antarkan ini ke Tuan Pieter. Sudah ditunggu sama Tuan Pieter." bujuk Tulang Hinsa.
"Kalau aku kenapa-napa bagaimana, Tulang? Tulang tahu, tiap detik, serangan ini akan terus ada dan bahkan masih berlangsung. Kemarin saja, tiba-tiba saja aku didatangi asap gaib. Bau asapnya sangat menggangguku. Sampai-sampai segenap tulangku ini mau patah." balas Maruap dengan ekspresi yang bisa menimbulkan keibaan bagi pamannya tersebut.
Tulang Hinsa hanya bergeming. Maksud Tulang Hinsa itu baik. Sudah berbulan-bulan Maruap mendekam terus menerus di dalam kamarnya. Kalaupun keluar kamar, Maruap masih berada dalam rumah. Untuk keluar rumah, Maruap masih gamang. Karena itulah, Tulang Hinsa merencanakan sesuatu agar keberanian Maruap muncul di tengah-tengah serangan-serangan gaib itu muncul. Tulang Hinsa hanya takut Maruap mengira semua orang itu sama jahatnya dengan mereka yang menyerang Maruap secara gaib. Kasihan mereka yang tak bersalah--yang tak berkaitan ke permasalahannya--yang jadi mendapatkan tuduhan negatif dari Maruap. Lagipula tak selamanya orang Eropa itu jahat. Masih banyak orang Eropa yang baik, yang malah lebih baik, ramah, dan sopan dari orang pribumi. Orang Batak pun sama. Tak selamanya jahat dan pro keluarga Porsea.
"Ya sudah, terserah kau sajalah, Maruap," Tulang Hinsa pasrah. "Biar Tulang saja yang mengantar sendiri."
Setelah diselidiki secara supranatural, memang akar masalahnya--tiap serangan itu--bermuara ke keluarga Porsea. Tulang Hinsa tak habis pikir apa hubungan keluarga Siagian dengan keluarga Porsea. Mereka hanya saudara jauh, yang berbeda suku pula. Konon, itu merembet pula ke keluarga Van Weiderveld. Seperti yang sudah diceritakan, Pak Robert memiliki akses ke pemerintahan Hindia Belanda. Orang berpengaruh walau kelihatannya orang biasa. Lalu, karena persoalan Sylvie, Maruap harus mengalami semuanya. Segalanya saling bertautan sampai Maruap jadi memiliki ketakutan dan kecurigaan berlebihan ke sesamanya manusia. Begitulah efek samping jika seorang manusia mendapatkan serangan dari alam gaib, alam lain, maupun alam supranatural. Ketakutan dan kecurigaan berlebihan di tubuh korbannya. Mau pelakunya pun sama--yang ingin korbannya hidup segan, mati tak mau. Lalu, dengan mudahnya, pelakunya bisa mengontrol korban sekehendak hatinya.
*****
Sepeninggal Pak Pendeta Simon, Sylvie memutuskan untuk terjun aktif di kegiatan pelayanan dalam gereja; membantu gereja untuk mengenalkan Kristus ke pribumi. Terkadang, Sylvie yang bersuara lumayan emas, ikut serta menyanyi dalam sebuah paduan suara gereja. Mungkin berkat Sylvie-lah, gereja jadi kebanjiran pengunjung. Banyak yang datang hanya untuk mendengar suara Sylvie. Wajah Sylvie juga sering dipuji banyak orang.
Biasanya Sylvie dinafkahi oleh Pak Pendeta Simon yang sehari-hari berkebun dan menjual hasilnya ke pasar (selain dari gajinya sebagai seorang pendeta). Namun Sylvie mencoba mandiri. Dia tahu bahwa dia tak boleh lagi datang ke keluarganya. Oleh karena itu, Sylvie mencoba untuk mandiri. Apapun ia lakukan untuk mencari uang sendiri. Mulai dari ikut serta dalam bazar gereja, meneruskan usaha perkebunan Pak Pendeta Simon (yang membuatnya jadi bahan perhatian karena fisiknya), hingga beberapa tawaran menyanyi. Yang terakhir itu, awalnya Sylvie enggan. Dia tak merasa suaranya itu bisa dijual mahal. Tetapi tuntutan untuk bisa menyambung hidup, segala sesuatunya haruslah ia lakoni.
Sylvie jadi lelah karena itu semua. Belum lagi segala keanehan yang juga tak pernah berhenti menghantuinya. Di saat itu pun, Sylvie masih teringat Maruap. Dia masih putar otak agar segera bertemu Maruap. Andai ada Maruap, batin Sylvie, pasti segala sesuatunya akan berjalan mudah. Sylvie lelah harus terus memendam rindu dan terngiang-ngiang wajah dan suara Maruap walau Maruap tak ada di sekitarnya secara fisik. Walau lelah, Sylvie sama sekali tak menyerah. Perempuan itu tetap mencari cara agar bisa segera bertemu Maruap.
"Ah, rabu depan, aku mau ke sana. Aku harus cari cara mendapati satu saja orang waras yang bisa kumintai tolong soal Maruap." kata Sylvie kepada dirinya sendiri, sebelum jatuh ke alam mimpi. Sylvie berharap, selain oleh Pak Pendeta Simon, Maruap mau dan bisa mendatanginya di alam mimpi. Kalau di alam fisik dipersulit, masih ada alam mimpi, kan.