Pengalihan Isu

1283 Kata
Sylvie terheran-heran pagi ini. Luar biasa terheran-heran. Seingatnya, dia memang sudah beberapa kali mendatangi rumah Maruap dan keluarga Siagian. Ini kampung yang sama. Tapi mengapakah tak ada seorang pun yang mengenal Maruap? Jangankan Maruap, nama Pak Ramli juga tidak. Aneh. Sempat Sylvie merasa apa jangan-jangan dia salah tempat? Lagipula bukankah sudah sekian bulan dia tak ke kampung dan rumah Maruap. Bisa jadi gadis berambut pirang itu lupa. Namun dibilang lupa, rasanya tak juga. Obyek-obyek yang menjadi penandanya masih tetap ada. Kandang babi itu, pohon kelapa dengan bentuk unik, gubuk tua itu pula,... juga rumah Maruap yang terasa sangat berbeda daripada rumah-rumah di sekitarnya. Sylvie merasa rumah Maruap itu bagaikan sebuah istana dewa-dewa. Hanya saja, itu dia, mengapa ganti pemilik? Bukan Pak Ramli dan istrinya yang keluar. Sepasang suami istri etnis China-Melayu yang malah keluar. Saat itulah..... "Ya sudah, kita pulang saja," Pak Pendeta Simon yang menemani memberikan saran. "Bapak mendadak merasa tak enak saja. Tak hanya saat kita berada di sini saja, saat kita berangkat pun sama. Seperti ada yang tak suka. Bapak duga, itu mungkin dari Daddy kamu. Banyak yang kamu tidak tahu dari keluarga kamu." Sylvie makin mengernyitkan dahi. Dia makin penasaran, walau makin takut pula. Ia merasa bahwa makin dia tahu yang sebenarnya, sesuatu berbahaya tengah mengancamnya di depan. Namun tetap saja, ketakutan itu bukanlah penghalang. Yang Sylvie tahu, dia harus tetap maju dan berjuang apa pun kesulitan yang berada di depannya. ***** Dada Maruap sesak. Kepalanya terus menerus berdenyut-denyut. Keringatnya terus mengucur. Serangan bernama mimpi buruk kembali didapatkannya. Bayangan demi bayangan mengerikan didapatkannya. Suara-suara pengganggu menjadi makanan sehari-harinya. Ada yang datangnya dari keluarganya, keluarga Sylvie, maupun keluarga Porsea yang belum terlalu lama dikenalnya. Seluruh dari mereka itu sangat mencecarnya habis-habisan. Bahkan, itu semua membuatnya takut untuk berdoa kepada Debata yang baru dikenalnya. Oh Jesus! "Baru bangun kau, Maruap?" Seseorang menoleh ke dalam kamarnya. "Iya, Tulang." jawab Maruap agak terengah-engah. "Masih dapat serangan lagi kau ini?" Ternyata itu Tulang Hinsa. Maruap hanya mengangguk. Sementara Tulang Hinsa malah cengar-cengir, nyaris mau tertawa. Adik dari Ibu Siti itu kemudian beringsut lebih dekat pada Maruap. Lalu, pria paruh baya dengan jenggot cukup lebat itu merangkul erat Maruap. "Kuat juga kau ini, Bah!" seru Tulang Hinsa. "Di kampung ini, malah di seantero Bona Pasogit ini, belum ada pemuda yang setangguh kau ini, Maruap. Tulang sangat salut dengan kau. Sebegitu berharga jugakah gadis bule itu? Padahal banyak dari halak hita--orang kita--yang sama cantiknya. Itu si Farida, contohnya. Pariban kau itu cantik, kan?" Maruap menggeleng, masih terengah. "Tak ada yang seperti Sylvie, Tulang. Lagipula aku merasa Sylvie itu..." "Gadis bule itu kenapa?" Maruap tak berani menceritakan segala mimpinya yang menyebabkan dia harus diruwat di tempat Bang Togar selama beberapa minggu. Dia masih trauma. Maruap takut pula bahwa dirinya akan mendapatkan perlakuan serupa dari Tulang Hinsa, yang bisa jadi malah makin parah. "Tulang tahu maksud kau apa." Tulang Hinsa mengulum sebuah senyuman misterius. "Maksud Tulang?" "Kau masih ingat dengan si Togar?" Maruap mengangguk. "Itu dia, Bah. Beberapa hari lalu, entah benar entah bukan, Tulang didatangi si Togar itu. Ada Ompung-ompung kau juga. Mereka cerita yang selengkapnya..." Tulang Hinsa memilih untuk bergeming. Paman dan keponakan saling menatap. Sangat tegang. Jantung Maruap berdebar-debar. Apa maksudnya, pikir Maruap, jangan bilang Tulang Hinsa sama seperti Togar. Apa mungkin saja satu kampung sudah tahu? Itu mungkin saja, bukan? Segala keanehan yang terjadi merupakan alasan utama Maruap bisa berpikir seperti itu. "Tulang dukung hubungan kau dengan gadis bule itu. Pertahankan dan perjuangkanlah. Jangan pikir cinta itu mudah didapatkan. Walau lawan kau itu begu sekalipun, kau harus tetap memperjuangkannya. Gadis bule itu sangat layak pula untuk kau perjuangkan." Nah, nah, nah. Maruap sudah menengarai akan jadi seperti ini. Dia tak usah heran lagi sebetulnya. Bukankah segala kejadian aneh itu sudah menjadi jawabannya? Lagipula tak selamanya pertanyaan itu harus dijawab. Terkadang ada beberapa pertanyaan yang harus disimpan dalam lubuk hati, lalu membiarkannya dijawab oleh waktu. "Tulang dengan Nantulang kau itu pun sangat mati-matian memperjuangkan cinta kita berdua. Meskipun Ompung Doli kau itu tak suka karena Nantulang kau itu berasal dari keluarga miskin." ***** "Kampung Maruap itu sangat mistis, menurut Bapak," Begitulah awal dari segala penjelasan Pak Pendeta Simon. Kata Pak Pendeta Simon, dirinya dan Sylvie tak merasa berada di alam nyata. Tak seperti berada di alam manusia (hidup) saja. Mereka seperti berada di alam lain, di dimensi lain. Belum apa-apa, beberapa anjing hutan sudah melolong. Satu-dua ekor anjing malah mau coba menerkam Sylvie. Untung Pak Pendeta Simon berhasil menjinakannya. Belum lagi, menurut Pak Pendeta Simon, raut wajah dan sorot mata beberapa warga terasa janggal. Mereka seperti menyimpan ketakutan yang tak bisa dikeluarkan. Seperti mengeluarkan segala ketakutan tersebut malah jauh lebih berbahaya. Alhasil, bagi mereka, menjadi palsu adalah jalan terbaik. Yah, itu seperti senyum palsu, ekspresi palsu, gerak-gerik palsu, hingga jawaban palsu. Pak Pendeta Simon sepakat saat Sylvie bilang rasanya beberapa warga berbohong. Pendeta itu juga sama seperti Sylvie. Itu bukan kunjungan perdananya. Selain bersama Sylvie, Pak Pendeta pernah beberapa kali berkunjung ke kampung tersebut sendirian. "Rumah yang kita datangi itu memang rumah Maruap, Sylvie. Kita dibohongi mentah-mentah. Mungkin saja sepasang China itu dipaksa tinggal di sana. Lagipula sepasang China itu juga tak mantap menjawab." "Aku juga merasa begitu, Meneer. Belum lagi, saat kita ke sana, langit langsung berawan. Mataharinya sangat tertutupi awan-awan kumulo-nimbus. Juga, hidungku mencium bau-bauan tak sedap yang tak sewajarnya." "Itu salah satu tandanya, ada yang tengah bermain mistik. Hati-hati kalau menciumnya. Efeknya memang tak langsung. Pelan tapi pasti." timpal Pak Pendeta Simon membenarkan. "Fungsi otak yang diincarnya." Sylvie mengangguk. Lalu gadis itu sejenak mengalihkan pandangannya menuju pemandangan yang berada di luar jendela kereta kuda. "Ada beberapa warga yang Bapak kenal juga. Bapak masih ingat nama-namanya. Itu seperti Tanto, Tio, Rivai, Sitorus, Monang, dan Jenter. Bapak rasa mereka memang berbohong. Seperti ada yang melarang mereka untuk jujur. Gadis kecil yang kita datangi itu, yang namanya Lani, seharusnya mau berkata. Yang ada, dia malah menjerit dan kabur. Aneh sekali." Sylvie masih memandangi pemandangan sementara telinganya menangkap segala kata-kata Pak Pendeta Simon. "Si Jenter itu juga biasanya jujur. Tak biasanya dia berbohong. Bapak tahu Jenter itu berbohong, Sylvie. Dari ekspresinya, sudah terlihat." Pak Pendeta Simon mulai senewen. "Sylvie! Kamu ini mendengarkan Bapak atau tidak?" Sylvie tersentak. Dia terburu-buru menoleh. "Sorry, Meneer. But, for God's sake, aku benar-benar mendengarkan apa yang Meneer katakan." "Kamu ini sedang pikirkan apa? Maruap lagi kah? Sudahlah, lupakan saja lelaki tersebut. Bukankah itu sudah menjadi bukti bahwa dia tak sungguh-sungguh mencintai kamu?" Pak Pendeta Simon menghela napas. Dia tahu mengapa Sylvie seperti itu. Pasti karena Maruap. Pasti Sylvie adalah orang yang sangat marah dari peristiwa yang terjadi di kampung tersebut. Ingin rasanya pendeta itu menceritakan yang sebenarnya. Namun Simon terlalu takut. Untuk yang sebelumnya saja, Simon masih was-was agar tak mendapatkan serangan lagi. Dalam hati, Pak Pendeta Simon mulai bisa memahami kasusnya seperti apa, juga segala aktor di balik layarnya. Mr. Robert Van Weiderveld memang bukan sekadar orang biasa (Menggunakan gelar Mr, karena Robert merupakan lulusan sekolah hukum). Mungkin jauh lebih untuk Pak Pendeta Simon merahasiakannya dari Sylvie, walau hatinya berat. Itu jauh lebih baik. Jujur saja, pendeta itu masih belum siap mati untuk segala kebenaran yang akan keluar dari mulutnya. Dia masih takut mati. Dia masih ragu pula bahwa matinya itu mati syahid. Biarkan saja Sylvie mencari jawabannya sendiri. Putri semata wayang Pak Robert ini juga anak cerdas sebetulnya. Lewat beberapa kode yang akan pendeta itu sampaikan kelak, Sylvie pasti akan paham dengan sendirinya. "Het spijt me--aku minta maaf." ujar Pak Pendeta Simon dalam hati, seraya menitikan air mata (untung saja Sylvie tengah menengok ke arah lain). Baginya, berbohong itu jauh lebih baik daripada berkata jujur. Setidaknya, untuk sekarang ini, untuk beberapa topik pula. Sementara Sylvie hanya terbengong-bengong saat mengamati betapa drastisnya sikap Pak Pendeta Simon berubah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN