"Sylvie,"
"Yeah, Meneer," Sylvie terkesiap dari lamunannya di siang bolong. Akhir-akhir ini Sylvie lumayan sering berwajah pucat nan tegang. Banyak sekali yang ia pikirkan. Mulai dari Maruap, misteri di keluarganya, hingga mimpi-mimpinya. Yah, Sylvie mendapatkan mimpi yang sangat aneh. Di mimpinya, dia berjumpa dengan beberapa orang dari beberapa negara. Ada yang bahasanya dia mengerti--seperti Jerman, Italia, dan Spanyol, ada pula yang tak Sylvie mengerti. Mana paham ia bahasa Mandarin, apalagi Arab.
"Apa yang kamu lamunkan? Cerita sama Bapak?" ujar Pak Pendeta Simon seraya tersenyum. "Maruap kah?"
Sylvie tersenyum malu. "Meneer bisa saja. Well, aku memang selalu terpikirkan Maruap. Tapi ada banyak yang jadi beban di kepalaku ini."
"Jangan diambil pusing. Nanti bisa cepat beruban rambutmu itu. Sayang sekali kalau rambut pirangmu itu berubah warna jadi putih pucat." Pak Pendeta Simon terkekeh-kekeh.
Sylvie campur aduk antara kesal dan malu.
*****
Maruap meraung-raung sendiri dalam kamar tersebut. Sebuah kamar yang berada di rumah salah satu kemenakannya. Berulangkali ia meneriaki nama seseorang, "Porsea sialan!" Masih kesal ia dengan kejadian di rumah Togar saban hari. Ternyata segalanya bermula dari Porsea.
Hanya saja Maruap masih bingung sendiri. Bagaimana bisa kejadian-kejadian aneh terus menerus memberondonginya siang dan malam. Matinya Togar, ibunya yang merintih kesakitan, beberapa kejadian aneh sebelum Sylvie ia antarkan, hingga yang teranyar: rumah tulang-nya diserang.
Diserang? Yah, diserang. Tak hanya diserang oleh serentetan peluru tentara Hindia Belanda, namun juga serangan dari alam lain. Awalnya Maruap tak percaya. Namun Tulang Hinsa terus menerus berkata bahwa begitulah tanda-tandanya kalau ada yang menyerangmu secara supranatural. Tidur tak tenang, merasa takut dan tertindas di rumah sendiri, kecurigaan terus menerus, hingga sering meributkan hal-hal sepele. Itu semua bisa disimpulkan seperti itu setelah sebulan Maruap menginap di rumah tulang-nya.
Tapi ada yang aneh pula. Tentara-tentara Belanda ini mau apa datang ke rumah tulang-nya? Terkait Sylvie kah? Maruap tahu, Sylvie itu berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya, Pak Robert memiliki akses ke mana-mana, yang salah satunya akses ke pemerintahan Hindia Belanda. Mungkin Pak Robert kira Maruap membawa lari anak perempuan semata wayangnya. Tapi masa harus mengikutsertakan sepeleton tentara? Itu kan berlebihan.
Maruap memijit-mijit keningnya. Pusing sekali. Ini pusingnya hampir menyamai suasana di rumah Togar, namun ini lebih dahsyat. Meskipun demikian, Maruap malah kangen Sylvie. Sudah berminggu-minggu Maruap tak menemui Sylvie. Bagaimanakah kabar Sylvie? Betahkah Sylvie berada di rumah dan keluarganya? Sylvie tahu tidak, ia tengah diungsikan ke rumah salah satu kerabatnya?
"Sylvie," rintih Maruap seraya memandangi pemandangan malam yang berada di luar jendela. "Kamu masih di rumah keluargamukah? Aku di sini kangen kamu sekali. Oh iya, kamu bertahanlah di keluargamu. Aku pasti cari cara agar kamu tak perlu lagi melihat segala yang tak enak yang ada di keluargamu itu. Percaya sama aku, Sylvie. Aku tak sampai hati membiarkanmu melewati segala hal menyeramkan tersebut sendirian saja."
Entah kenapa Maruap merasa Sylvie bisa mendengar rintihan hatinya di kala malam berselimutkan purnama tersebut. Yang Maruap tak tahu, saat itu Sylvie tengah memikirkannya juga. Beberapa kali nama Maruap keluar dalam tiap doa Sylvie. d**a Sylvie sesak sekali tiap mengucapkan nama Maruap. Sylvie ingin menemui Maruap. Tapi pasti keluarganya akan tahu. Entah kenapa Pak Robert mendadak begitu membenci Maruap. Maruap itu salah apa? Kalau bukan karena Maruap, Sylvie tak akan pernah tahu segala aktivitas di keluarganya itu sangat janggal, aneh, hingga terlarang. Firman Allah bahkan sangat menentang.
*****
"Itu artinya ada yang mendatangimu," kata Pak Pendeta Simon dengan nada sangat berhati-hati. Ingat, dunia bukanlah sebuah tempat aman untuk membicarakan beragam topik seperti yang kita duga. Walau katanya demokrasi, apa jaminannya kita tidak akan kenapa-napa saat mendiskusikan topik seperti yang disuguhkan Sylvie ke Pak Pendeta Simon. Lagipula ada yang berkata bahwa sistem demokrasi itu sengaja diciptakan untuk kepentingan beberapa organisasi (yang konon terlarang dan berbahaya oleh Vatican). Selain itu, Pak Pendeta Simon pernah beberapa kali mendapat serangan bernama mimpi buruk hanya karena meladeni curahan hati jemaatnya yang tengah bermasalah dengan roh-roh pengganggu, klenik, dan dunia supranatural.
Sylvie mengernyitkan dahi. "Memang bisakah orang hidup mendatangi kita di alam mimpi? Bukankah itu hanya bisa dilakukan oleh mereka yang sudah meninggal?"
Pak Pendeta Simon berusaha menahan tawa. Walau diskusi itu terjadi di rumahnya sendiri, beberapa kejadian aneh bin mengerikan telah membangkitkan kewaspadaannya. Plus, Pak Pendeta Simon tak ingin menyakiti Sylvie dengan menertawakan pertanyaan perempuan bermata hijau tersebut.
"Bisa." Pak Pendeta Simon mengangguk seraya pandangan tegas diberikan kepada Sylvie. Lalu sembari berbisik, Pak Pendeta Simon berkata, "Sudah sejak lama sekali, beberapa ilmuwan tertentu sudah mengetahui bahwa tiap tidur atau dalam keadaan setengah tidur, manusia itu melepas rohnya dan membiarkannya melayang-layang hingga ke beberapa tempat. Oleh para ilmuwan yang disebut sebagai underground scientist tersebut, kondisi itu jamak dan umum terjadi, Sylvie. Masalahnya, sadar atau tidak sadarkah orang itu rohnya melayang hingga negeri seberang saat tidur? Beberapa ilmuwan Perancis malah menyebut keadaan itu sebagai dejâ vu. Itu persis yang kamu sudah alami sebelum tiba di tanah Sumatera ini."
Sylvie mengangguk-angguk. "Memang juga apakah ada kondisi setengah tidur itu?"
"Ada." Lalu Pak Pendeta Simon kembali menengok ke sana ke mari hanya untuk memastikan tak ada yang menguping. "Saat kamu hendak mau tidur dan jatuh ke alam bawah sadar atau alam mimpi, itulah yang disebut kondisi setengah tidur. Saat kamu hendak terbangun, itu juga sama. Bahkan orang mabuk pun juga disebut sebagai kondisi setengah tidur."
"Oh, I see," Sylvie mengangguk.
"Bapak memberitahukanmu hal-hal seperti ini, hanya agar kamu bisa mengetahui bahwa tak selamanya fenomena spiritual dan supranatural itu berasal dari Allah. Kamu juga tahu kan, kamu tinggal di wilayah yang kleniknya digunakan secara blak-blakan. Orang tak takut untuk menunjukan jimatnya secara frontal pula. Seharusnya kamu juga tahu bahwa tak hanya orang meninggal atau Allah yang bisa mendatangi seseorang yang masih hidup."
Kemudian hening sejenak. Di saat itulah, Sylvie teringat mimpinya semalam. Ia memimpikan teman-temannya saat di ELS. Ada Adolf Schummer, Gouw Ai Thien, Brian Kryschopp, Karina Singh, Pierre Vicente, Adrian Vavassori, dan Jean Marveoux (baca: Jéng Ma:fou). Oleh Adolf--temannya yang paling sering memberitahukannya soal alam spiritual, Sylvie diperingatkan bahwa ayahnya tengah mencari habis-habisan. Ayahnya sangat marah saat mengetahui Sylvie minggat. Konon, ada yang memberitahukannya bahwa Sylvie minggat untuk menemui Maruap. Desa Maruap sering didatangi beberapa kali oleh para tentara Belanda. Maklum, ayah Sylvie sangat memiliki koneksi ke para petinggi di pemerintahan Hindia Belanda. Bahkan, ada rumor yang menyebutkan bahwa ayahnya tahu cerita sebenarnya di balik meninggalnya Sisimangaraja. Segala trik pemerintah Hindia Belanda telah diketahui Pak Robert, yang bahkan beberapa merupakan usul dari Pak Robert sendiri. Selanjutnya, beberapa temannya bahkan ada yang mengusulkan Sylvie untuk pulang saja. Siapa tahu saja amarah Pak Robert bisa diredakan. Malah Gouw Ai Thien berujar, "Kasihan lelaki itu, Sylvie. Kalau kamu sayang sama lelaki itu, pulanglah. Orang-orangnya tengah mengalami siksaan yang sangat tak manusiawi sekali. Dia juga, konon, tengah berada dalam pelarian akibat ulah--maaf--Daddy kamu itu."
Sebegitu parahkah? Sylvie tak menyangka situasi dan kondisinya akan jadi seperti ini. Masa ayahnya bisa berlaku sekejam itu? Rasa-rasanya Sylvie tak percaya jika tak melihatnya sendiri. Soal Maruap sendiri, Sylvie sudah lama tak tahu menahu. Sylvie terlalu sibuk dengan dunianya sendiri; dengan segala penyelidikannya sendiri akan segala keanehan yang dia alami sejak kecil hingga sekarang. Selain dari mimpi tersebut, tentang Maruap, Sylvie hanya mengetahui dari isu dan beberapa kejadian yang dialaminya di desa tempat Pak Pendeta Simon tinggal dan menginjili.
"Maruap bagaimana kabarnya sekarang?" desis Sylvie secara spontan.
Pak Pendeta Simon cekikikan. "Kangenkah kamu dengan Maruap?"
Sylvie tersentak, bersemu merah, lalu menjawab malu-malu, "I-i-iya, Meneer."
"Memang kamu sungguh-sungguhkah mencintai Maruap, terlepas dari segala mimpi dan penglihatan yang kamu dapatkan tentang Maruap sejak kecil?"
Sylvie bergeming sebentar. "Iya, Meneer. Saya sangat mencintainya. Maruap itu satu-satunya orang yang saya bisa leluasa menyampaikan segala isi pikiran saya tanpa malu-malu, tanpa takut pula dianggap aneh. Selama ini, beberapa kali saya bercerita, orang-orang malah mencibir dan memandang sinis saya. Mungkin disangkanya saya ini orang gila. Tapi oleh Maruap, saya tak pernah dianggap gila atau sinting sedikitpun."