Hunter

978 Kata
"Jadi, dulu sekali, di dunia ini, Sylvie," Pak Pendeta Simon berhenti sejenak. Kedua matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Mungkin saja pendeta Belanda itu merasa ada yang memata-matai. Salah-salah ucap dan perbuatan, nyawa taruhannya. "konon juga, pekerjaan hunter itu diprakarsai oleh Vatican, untuk memburu sekelompok orang yang berprofesi sebagai peramal, paranormal, tukang tenung, hingga penyihir. Pekerjaan-pekerjaan seperti itu betul-betul ada, dan melawan apa yang kitab suci katakan. Dan, yang sepengamatan Bapak juga, Daddy kamu itu seorang hunter." Sylvie terperangah, meskipun dirinya agak bingung. Dia tak mengerti soal apa sebenarnya pekerjaan hunter itu. Apakah itu semacam orang yang berburu binatang? Namun dilihat dari reaksi pendeta tersebut, Sylvie menengarai bahwa pekerjaan hunter itu semacam pekerjaan yang berbahaya dan tidak baik. Setengah jam kemudian, dengan menyaksikan ekspresi Pak Pendeta Simon yang begitu serius dan tegang (belum lagi yang selalu melirik ke kiri dan kanan), perlahan Sylvie mulai dibukakan matanya soal segala sesuatu yang selama ini dirinya tidak ketahui. Padahal Sylvie bukanlah anak kecil. Ingat, dirinya akan beranjak dewasa. Menurut Pak Pendeta Simon, pekerjaan hunter itu memang berasal dari Vatican sebagai pemrakarsanya. Lalu, di kemudian hari, perlahan pula, ada sekelompok organisasi terlarang dan pembangkang dari Gereja Katolik, yang membentuk para hunter-hunter tandingan, yang berusaha mencari tahu apa saja rencana Vatican dan apa saja pula segala tafsiran dari beberapa nubuatan yang selama ini hidup di masyarakat. Tujuannya jelas: mereka sepertinya ingin mendominasi di muka bumi dan alam semesta ini. Dari situlah, persaingan dimulai. Hunter dari Vatican melawan hunter dari organisasi tersebut. Saling sadap, saling mematai-matai, saling curi informasi,... dan segala saling lainnya menjadi hal lumrah. Keduanya sama-sama meyakini bahwa apa yang mereka lakukan ini demi Tuhan. Dari mereka pula, hunter-hunter dari organisasi-organisasi samar-samar mulai marak. Seseorang direkrut sebagai hunter karena alasan-alasan tertentu. Salah satu tujuan khususnya ialah mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Ada yang bilang juga, hunter ini bertugas untuk mencari orang-orang tertentu, yang Pak Pendeta Simon tidak bisa ceritakan saat ini. Pak Pendeta Simon bilang, "Nanti suatu saat kamu akan tahu orang-orang seperti apa yang dicari para hunter. Bapak juga kurang paham. Apalagi Bapak pun sempat dicari dan dipantau oleh para hunter. Bapak pun bingung, apa yang mereka cari dari orang-orang seperti Bapak." Lalu, Pak Pendeta Simon masih terus bercerita, para hunter ini konon dibayar. Tidak dibayar secara resmi memang. Namun mereka diberikan kemudahan menuju segala hal yang mereka impikan dan kehendaki. Jalan mereka dimudahkan. Kalaupun ada bayaran, cara p********n tidak seperti pekerjaan-pekerjaan lainnya yang pasti butuh slip gaji dan tanggal p********n. Konon, mereka dibayar kalajudirasa sudah selesai menyelesaikan misi yang diemban. Seperti apa cara kerja hunter, bagaimana cara mereka dibayar, segala sesuatunya masih diliputi misteri, sulit mendapatkan informasi terakurat soal hunter. "Walau demikian, setelah Bapak selidiki dan amati diam-diam, hunter ini bukanlah pekerjaan yang baik. Bahkan untuk disebut pekerjaan pun tidaklah layak. Mereka tidak sehat secara rohani, menurut Bapak. Bapak kan pernah sempat dipantau dan sering diperlakukan tidak enak." tandas Pak Pendeta Simon. "Jadi, pekerjaan hunter itu seperti apa? Apa hubungannya pula sama keluarga saya? Dan, masakan Daddy itu seorang hunter? Di mata saya, Daddy tidak kelihatan sebagai seorang pemburu, apalagi pembunuh bayaran." ujar Sylvie dengan segudang pertanyaan masih menumpuk di kepalanya. Pak Pendeta Simon hanya tersenyum, lalu berkata, "Kamu cari tahu sendiri, Sylvie. Kamu juga sudah tahu sedikit barusan. Kalau kamu mau, di gereja, ada beberapa buku tentang sejarah gereja dan kekristenan. Bahkan buku-buku tentang segala mitos dan misteri yang ada di dunia itu pun ada. Soal kekasihmu dan keluarganya, malah jauh lebih banyak lagi, walau kebanyakan dalam bentuk manuskrip." Saat disinggung soal Maruap, Sylvie bersemu merah kedua pipinya. Pak Pendeta Simon terkekeh. "Besok, Bapak temani kamu ke perpustakaan gereja. Kalau kamu mau, Bapak juga bersedia mengantarkanmu ke orang-orang yang sekiranya bisa menjadi narasumbernya. Ada beberapa orang yang Bapak rasa tahu soal segala hal yang kamu ceritakan ke Bapak selama ini, khususnya soal hunter dan keanehan-keanehan di keluargamu. Tapi, please, Sylvie, rahasiakan kalau Bapak yang memberitahukan awalnya ke kamu. Di dunia ini, ada banyak misteri seperti kotak pandora. Begitu dibukakan, hidup kamu pasti tidak akan sama lagi dan cenderung tidak tenang." Sekonyong-konyong Sylvie bergidik. Sekujur bulu romanya berdiri. Perempuan berambut pirang itu mulai merasa bahwa sebentar lagi akan ada satu babak baru dalam hidupnya. Sesuatu yang hebat (nan mengerikan) tengah menunggu di depan sana. Belum lagi Sylvie jadi bertambah penasaran soal keluarganya tersebut. Sebetulnya selama ini ayahnya terlibat apa. Organisasi apa pula yang dimaksud oleh Pak Pendeta Simon? Sylvie mulai merasa bahwa masih banyak misteri di dunia ini selain dari pada segala mimpi, penglihatan, dan pengalaman-pengalaman horornya. Ini juga jauh melebihi dari cerita-cerita Adolf, temannya di ELS dahulu. Pula, Sylvie mulai merasa bahwa segala misteri itu bisa jadi merupakan kunci untuk menyelesaikan suatu permasalahan. Dari arah rumah Pak Pendeta Simon, lumayan jauh juga jaraknya (walau masih bisa ditempuh lumayan cepat dengan bantuan seekor kuda), di dalam sebuah rumah tradisional khas daerah tersebut, seorang pemuda Batak meraung histeris. Dirinya ketakutan setengah mati, walau yang mati itu salah saudara saudara sepupunya. Bang Togar, setelah bertingkah seperti orang kerasukan, mendadak saja menusukan ke perutnya sebuah belati. Darah muncrat dengan luar biasa banyaknya dari arah perut dan bahkan mulutnya sendiri. Tak usah berpikir lebih lama lagi, Maruap langsung lari dari dalam rumah Bang Togar. Apalagi selain dirinya mulai ketakutan, Maruap takut dirinya dituduh yang bukan-bukan. Ditambah lagi, sepertinya ia melihat sekelabat-sekelabat yang mengganggu pandangan matanya. Siapakah mereka itu? Maruap merasa pernah mengenali mereka semua. Seperti pernah bertemu di suatu tempat. Dejâ vu, inilah mungkin yang dimaksud oleh Sylvie, begitu pikir Maruap dalam pelariannya. Intuisi Maruap begitu tinggi, untuk sementara ini, dirinya harus jaga jarak dulu dengan ayahnya, ibunya, kakak-abangnya, maupun segala kerabatnya. Oh, kalau menginap di rumah Pak Pendeta Simon, amankah, begitu pikiran selintas Maruap tiba-tiba muncul. Jaman itu, sedikit sekali orang Batak yang bergaul dengan orang-orang Eropa. Kebanyakan orang Batak selalu saja enggan dan segan bergaul dengan kaum Eropa. Pasti keluarganya akan takut untuk mencari Maruap di rumah seorang pendeta Belanda. Mungkin terpikirkan saja tidak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN