Porsea

1037 Kata
Hati-hatilah. Yah, hati-hatilah. Berhati-hatilah sebab tanpa kamu sadari, kamu ternyata memiliki hubungan darah dengan seseorang yang kamu benci. Itulah pelajaran yang didapat oleh Maruap. Selama sekian bulan ini, mungkin sudah enam bulan juga, Maruap akhirnya mulai paham apa yang sesungguhnya tengah terjadi dalam hidupnya. Terkhusus untuk Bang Togar, yang mati secara misterius, lalu dalam keadaan tiap organ vital berhenti, malah bisa meraung-raung. Dari awal, hubungan Maruap dengan Sylvie kurang disenangi oleh keluarganya sendiri. Memang awalnya kurang disenangi bukan dari keluarganya langsung. Namun ada beberapa dari keluarga besarnya, dari pohon silsilah keluarganya, yang tidak menyukai. Pernah dalam suatu mimpi, Bang Togar menghampiri dan menyampaikan sesuatu bahwa orang itu--pangkal dari seluruhnya--yang merancangkan semua ini . "Cuma, saranku untuk kau, kau ampuni saja, bah!" seru Bang Togar seraya terkekeh-kekeh. "Para Debata ini juga ingin kau mengampuni." "Mengampuni itu urusan lain, Bang," respon Maruap agak merengut. Masih terngiang di benaknya beberapa kejadian aneh selain kematian misterius Bang Togar tersebut. "Siapakah orang itu, Bang? Kasih tahulah sikit, Bang. Kasih aku sikit petunjuk." Bang Togar terdiam sejenak. Lalu ia berubah nyengir, perlahan mendekati Maruap dan berbisik, "Kau ingat pesta adat anak inanguda dua tahun lalu?" "Ingat, Bang, kenapa memangnya?" "Waktu itu, seingatku, ada orang istimewa yang datang ke kampung kita. Dia datang dari utara kita, Maruap. Terkalah siapa dia?" Maruap mendadak bergeming, berusaha mengingat apa yang telah terjadi. Siapakah, gumam Maruap. Memang ada, tapi siapa. Apa mungkin orang itu. Waktu itu, seingat Maruap, ada keluarga bangsawan (yang sekaligus cucu dari tua adat) datang ke kampung. Namanya kalau tak salah, Porsea. Namanya memang Porsea, tapi tidak datang dari Porsea. Dia memang lahir dari Porsea, namun asal-usul keluarganya dari tanah Karo. Orang Karo-lah si Porsea ini. Sampai beberapa generasi ke depan pun, masih diperdebatkan apakah Karo ini termasuk suku Batak atau bukan. Ada yang menyebutnya bukan, sebab bahasanya berbeda sedikit dari bahasa Batak. Agak mirip kasus Jawa dan Sunda sebetulnya. Namun ada juga yang mengatakan Karo pun termasuk suku Batak. Itu berdasarkan kesamaan sejarah dan nenek moyang. Orang yang bernama Porsea ini memang dari Karo. Memang berbeda dari Maruap yang berasal dari selatan Toba; dari subetnis Mandailing kata ayah Maruap. Tapi tetap saja Porsea dan Maruap ini berasal dari induk yang sama. Mereka bersaudara walau secara subsuku sepertinya bukan. Aneh? Di dunia ini banyak hal seperti itu. Agak membingungkan tali persaudaraan tersebut. Jadi, ceritanya bisa seperti itu, dari penuturan Bang Togar pula, Porsea ini ternyata saudara jauh dari Maruap. Tidak begitu dekat memang hubungan darahnya. Agak begitu jauh, tapi si Porsea ini masih satu pohon silsilah keluarga dengan Maruap. Porsea ini datang dari keluarga ibunya Maruap. Dari situlah hubungan darah itu muncul. "Begitu, Maruap," jelas Bang Togar. "Aku pun baru tahu, walau tahunya tidak secara langsung, hanya lewat alam batin. Kaget aku pula, waktu tahu Si Porsea datang juga. Kupikir, keluarganya bisa datang itu karena urusan bisnis. Eh ternyata ada hubungan darah si Porsea ini ternyata." Maruap hanya mengangguk-angguk. "Konon, kudengar pula, Porsea ini iri sama kau, Maruap. Dia iri bagaimana kau bisa berhubungan dengan perempuan bule. Cantik pula macam bidadari dari banua ginjang." Jaman itu, keberadaan orang-orang Eropa di Nusantara itu seperti kedatangan alien. Bangsa Eropa itulah alien-nya. Tak heran pula, banyak suku di Indonesia kelewat ramah dengan sangat membuka hati pada orang-orang Eropa tersebut. Saking membuka hatinya, bisa menikahi seorang dari para alien itu saja, sudah sangat bangga. Kelas sosialnya naik, katanya. Lalu, berbagai isu, hasutan, maupun tudingan berseliweran di sekitar orang tersebut. "Kenal dari mana?"; "Kok bisa akrab?"; "Kau apakan?"; dan berbagai kata-kata tak enak lainnya. Maruap ini kini berada dalam posisi tersebut. Padahal segala pertemuan awal Maruap dan Sylvie murni karena campur tangan para Debata (Bang Togar dan beberapa ompung yang sudah meninggal, ikut membenarkan). Namun beberapa orang di daerah Sumatera Utara tak percaya. Maruap dituduh telah bersekutu dengan pasukan dari banua toru. Tuduhan yang sangat menyakitkan. Sebab Maruap memang berbeda dari kebanyakan pemuda yang sesuku dengannya. Di saat banyak pemuda yang antusias dengan acara-acara adat atau tradisi keluarga, Maruap justru kurang begitu. Sejak kecil, dirinya merasa seperti ada yang keliru, walau tak tahu apa yang keliru dari itu semua. "Kau hati-hatilah, Maruap." Bang Togar mewanti-wanti. "Kudengar pula, sekeluarganya itu luar biasa liciknya. Naksir pula Si Porsea sama cewek bule itu. Mereka bisa melakukan apa saja hanya untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan. Membunuh pun mereka mau. Tapi jangan kau pikir pembunuhannya itu dengan menggunakan belati. Mereka membunuhnya seperti cara begu menelan orok." "Mauliate, Bang. Semoga arwah Abang mendapatkan tempat istimewa di hati para Debata." timpal Maruap tersenyum, walau agak was-was. Mengertilah Maruap sekarang kenapa beberapa bulan ini dirinya sering mengalami banyak kejadian aneh. Paham pula kenapa dirinya sering dituduh dan dijauhi. Arahnya datang dari keluarga Porsea, yang ternyata masih berhubungan darah dengan Maruap. ***** Obrolan dengan Pak Pendeta Simon, penelusurannya di perpustakaan gereja,..... itu semua membuka pintu wawasan dan pengetahuan seorang Sylvie. Kini ia paham bahwa segala sesuatu itu memang harus diuji. Tak selamanya berasal dari Tuhan. Manusia pun bisa meniru cara Tuhan bekerja. Suara Tuhan bisa diperankan dengan amat baik. Alhasil, yang mendengarnya bakal terkecoh habis-habisan. "Di dunia ini, menurut Bapak, tak ada yang namanya kebetulan. Segala sesuatunya sudah direncanakan, entah itu dari Allah maupun bukan dari Allah. Selalu ada skenario dan maksud tersendiri. Hati-hatilah. Jangan kamu terjebak dengan terus menerus mengatakan itu dari Allah. Selalu ujilah. Bawalah dalam doa agar tidak sesat." tutur Pak Pendeta Simon tersenyum bijak. "Tapi bagi saya, kebetulan itu memang ada," Sylvie berusaha mengoreksi. "Saya sering mengalaminya, Meneer." "Memang ada. Tapi menurut Bapak, yah tetap saja. 'Kebetulan' merupakan satu alasan. Itu sebuah kata untuk memperhalus pula. Bapak berkata seperti ini karena mungkin saja kamu akan sering dikelabui dengan beberapa peristiwa rekayasa yang kelewat mengada-ngada." Sylvie hanya mengangguk saja ketika ia dan Pak Pendeta Simon telah berada di pintu masuk perpustakaan. Dalam hati, Sylvie masih bingung. Tapi tak apalah menyimpan segala kata-kata tersebut dalam otaknya. Mungkin saja kelak berguna. "Kamu mengerti kenapa Bapak berkata seperti itu?" tanya Pak Pendeta Simon agak was-was sekaligus prihatin. Sylvie menggeleng. Ia merasa, entah kenapa, bakal mengalami hal-hal lebih aneh dan menyeramkan di depan sana. Kekalutan Pak Pendeta Simon tertular ke Sylvie. "Sebab dalam beberapa kali hari minggu ini, Bapak mulai sering mendengar pergunjingan tentang kamu, Sylvie. Sepertinya Daddy kamu masih marah besar karena kamu sudah dua bulan ini minggat."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN