“Apa motif sebenarnya dari semua drama ini?” tanya Rasyid lirih tapi semua orang mendengarkan apa yang dia katakan. Kedua orang kepercayaannya tak bisa membantah jika apa yang dikatakan oleh Rasyid itu benar. Motif apa yang sebenarnya terjadi kenapa semuanya saling berkaitan seperti ini.
“Saya akan coba selidiki soal kehidupan Priandita Bos,” usul Edgar. “Aku tahu dia mantannya Asmara, tapi kenapa dia harus ikut campur dan berniat menghancurkan kehidupan Asmara seperti ini,” kata Rasyid.
Dika melipat tangannya di bagian depan tubuhnya. “Kalo ini cuma soal rasa cinta, kenapa dia sampai obsesif seperti itu kepada Asmara. Aku rasa ada motif lain sih, coba nanti kamu cek kapan terakhir mereka memutuskan untuk berpisah,” nalar Dika dan Edgar mengangguk paham.
Rasyid menyandarkan kepalanya di sofa, dia memejamkan mata sesaat. Untuk urusan yang seperti ini, biasanya Rasyid paling antusias untuk memikirkan semua kerumitannya tapi kali ini diam saja.
“Sebenarnya kamu ini kenapa sih? Aku baru sadar lo kalo ternyata kamu lebih baik marah-marah dan merintah sana sini daripada diem gini doank kaya orang nelen biji dondong aja,” keluh Dika.
“Gimana kalo pada kenyataannya semua ini gara-gara aku,” gumam Rasyid.
Dika mengerutkan dahinya dan Edgar mendengarkan ucapan bosnya dengan serius. “Apa maksudmu?” tanya Dika dan saat yang bersamaan ponsel Rasyid berdering.
Pria itu melihat siapa yang menelponnya dan mengangkat panggilan itu. “Heemmm,” jawab Rasyid malas.
“Kapan kamu ada waktu, kita bertiga mesti ketemu, penting dan aku ga mungkin bahas di telpon,” kata Oman membuat Rasyid menegakkan tubuhnya.
“Aku cek jadwal dulu, aku ga bisa mastikan sekarang,” kata Rassyid melirik Dika. Asistennya itu paham dan mengambil tablet yang berisi jadwal kerja Rasyid.
“Weekend depan, tapi sebelumnya aku ke Spanyol dulu, mau ketemu di Indonesia apa Dubai, atau di Spanyol aja,” usul Rasyid di akhir ucapannya.
“Ga bisa Bro, aku ke Jerman lusa sampai weekend depan, elu ke Jerman aja lah kan deket,” kata Oman enteng. Rasyid berdecak, “Dua jam naik pesawat itu ga deket geblek,” umpat Rasyid kesal.
Oman tertawa dari sebrang sana. “Karena ini harus dibahas juga sama playbooy cicak juga makanya aku usul di Jerman,” kata Oman.
“Playboy cicak sapa?” tanya Rasyid tak mengerti. Oman gantian yang berdecak, “Temen elu, si Reno,” sahut Oman cepat. Tak ayal Rasyid tertawa mendengarnya tapi tak lama dia ingat jika dia baru saja bertengkar dengan sahabatnya itu.
“Harus banget sama Reno,” ujar Rasyid dan Oman hanya berdehem. “Jelas banget karena ini kaitannya sama kalian berdua dan ga boleh kelewatan, aku ga sudi jelasin dua kali,” kata Oman.
“Kabarin aja kapan dan tempatnya, ntar aku pertimbangkan, kalo emang ga sempet aku bakal ngomong dua hari sebelumnya sama elu,” kata Rasyid berniat mengakhiri telponnya tapi Oman mengatakan hal yang membuatnya tak berkutik.
“Semakin elu nunda pertemuan kita, aku ga janji kalo Ar Madin, Abrisam dan mungkin cewek yang kalian kejar bakal selamat dari semua kubangan Marques ini,” kata Oman langsung menutup panggilannya.
“Hey, Man, Oman,” panggil Rasyid. Dia menelpon Oman balik tapi ga diangkat sampai beberapa kali. Rasa kesal Rasyid belum hilang kini ditambah lagi rasa penasaran yang Oman berikan kepadanya.
“Masukkan jadwal weekend depan kita ke Jerman, tempat dan tujuan nunggu info dari Oman,” kata Rasyid dan Dika mengisi jadwal baru Rasyid.
“Ada masalah apa?” tanya Dika mulai kepo. Rasyid hanya menghela napas, “Entahlah dia bilang ada hal yang harus dia jelaskan tapi ga bisa di telpon makanya dia minta ketemu,” ulang Rasyid.
“Dan yang jadi masalah, jika aku menunda ini maka Abrisam, Ar Madin dan gadis yang kukejar juga akan menerima imbas kelakuan Marques,” kata Rasyid menahan kesal.
Dika membulatkan matanya, “Aku kira urusan soal duit di Bassil kemarin udah beres,” kata Dika sedangkan Rasyid menggelengkan kepalanya. “Ga cuma soal duit kayanya, ini udah merembet ke hal lain entah apa itu,” jawab Rasyid.
“Jika melihat tipikal Marques udah jelas banget ini bukan hal sepele atau sesuatu yang bisa membuat dia melepaskan apa yang dia genggam dengan mudah,” komentar Dika.
“Haaahh, entahlah, kita tunggu apa yang Oman bawa aja. Kayanya aku perlu refreshing besok, ngegym di mal enak kayanya besok, apa maen ice skating,” gumam Rasyid sambil ngeloyor masuk kamar.
Rasyid sudah siap dengan peralatan gym, Edgar yang melihatnya menawarkan diri untuk mengantar tapi Rasyid menolak. Dika juga enggan ikut, pria berusia 28 tahun itu akhirnya pergi sendiri.
Rasyid ingin melihat sepatu terlebih dahulu, karena itu dia mampir ke salah satu gerai sepatu berbagai model bukan hanya sepatu olahraga.
Dia melihat sepasang pria dan wanita yang nampak bahagia saat memilih sepatu. Sekilas muncul bayangan dirinya bersama orang yang dia sayangi melakukan hal itu dan entah kenapa bayangan senyuman Asmara yang muncul di kepalanya.
“Astaga, kenapa harus wanita itu yang muncul, apa ga ada wanita lain yang lebib baik,” gumamnya tapi tanpa sadar senyuman terukir di wajahnya.
Tanpa sengaja dia berpapasan dengan pria yang tadi dia amati, dahinya berkerut seketika. “Kayanya wajahnya pernah lihat dimana ya? Apa wajah dia yang pasaran?” lirih Rasyid tapi matanya masih memperhatikan pria itu.
Karena urusannya sudah selesai dia memutuskan pergi dari sana. Langkahnya terhenti saat ada pesan di ponselnya.
Edgar [Asmara ada di mall yang sama dengan tempat Boss gym.]
Rasyid mengerutkan dahinya,tapi kemudian dia membatalkan agenda gym dan ingin mencari Asmara. Seketika ingatannya kembali pada pria yang ada di toko sepatu tadi.
“Ahh, sial, aku baru ingat dia siapa,” umpat Rasyid dan bergegas kembali ke toko itu. Ponselnya kembali berbunyi dan dia melihat ada satu pesan baru.
Edgar [Devio juga ada di mal yang sama tapi dengan wanita lain, bukan Asmara.]
“Vrengsek bener, aku sudah menduganya, awas aja itu cowok sampe bikin perkara, aku abisin sekarang juga,” gerutu Rasyid cepat kembali ke toko itu.
Tapi belum sempat dia sampai di toko sepatu, Rasyid yang buru-buru tak melihat jalan hingga seseorang menabraknya. Dia sudah siap mengeluarkan sumpah serapahnya sampai dia melihat orang yang menabraknya membuatnya bungkam.
“Maaf, saya tak sengaja,” ucap wanita itu dengan suara serak. Rasyid menyadari jika wanita yang menitikkan air mata itu Asmara, saat ingin mengajaknya bicara, dia sudah keburu kabur. Rasyid mengejarnya tapi kecepatan Asmara menghilang terlalu cepat.
“Abis ini aku belajar ilmu menghilang dan buntutin orang lah, gila itu cewek cepat banget ngilangnya,” geram Rasyid.
Rasyid memikirkan kemungkinan kemana wanita pergi saat dia sedang terluka. Dia mengedarkan pandangan dan melihat ada toilet di sekitar mereka, segera dia berjalan ke sana dan menunggunya di depan toilet.
Entah sudah berapa menit Rasyid, berkali-kali melihat jam di tangannya. “Apa dia ga ke sini ya?” ucap Rasyid. Dia memutuskan untuk pergi dari sana, tapi sebelum menjauh dia mendengar suara isakan seorang wanita di salah satu ruang penyimpanan dekat toilet.
“Jangan nangis Ra, kamu ga boleh keliatan lemah, pikirkan banyak hal termasuk keluargamu. Ayolah,” ucap Asmara yang jelas didengar oleh Rasyid.
Rasyid hanya diam menunggu menyandarkan tubuhnya di tembok. Seorang petugas mal menghampirinya, “Ada yang bisa saya bantu Pak, kenapa berdiri di sini?” tanya petugasnya.
Rasyid mengeluarkan dua lembar uang berwarna merah, “Minjem dulu tempatnya jangan ke dalam, sampai aku pergi dari sini,” kata Rasyid menyalaminya.
“Tapi saya mau naruh ini dulu,” ucap petugasnya. Rasyid melotot, “Bentar doank, ga sampe mal tutup juga, masa iya aku perlu beli malnya juga biar bebas mau ngapain aja,” usir Rasyid membuat petugas itu hanya menghela napas dan pergi dari sana.
Hampir tiga puluh menit dia berdiri di sana dan Asmara masih di dalam. Petugas itu kembali lagi dan Rasyid yang siap untuk mengusirnya lagi harus tertahan karena Asmara keluar dari sana.
“Ehh, maaf Pak, tadi saya pinjem dulu ruangannya, cuma numpang istirahat aja. Silahkan Pak kalo mau dipake,” ucap Asmara sambil tersenyum dan berlalu dari sana. Dia tak melihat kehadiran Rasyid yang ada di sana sedari tadi menunggunya.
Petugas itu yang masih bingung hanya bisa mengangguk tak mengerti dengan apa yang terjadi di hadapannya. Rasyid yang sempat bengong karena Asmara tak melihatnya ikutan pergi mengejar wanita itu.
Dia melihat Asmara keluar mal dan dia sudah meminta petugas untuk mengambil mobilnya. Dia kembali mengikuti Asmara dan memastikan dia sampai di rumah dengan selamat.
“Apa dia memang seperti itu, ga perhatian sama yang lain, apa memang ga mau ngeliat aku,” gumam Rasyid menumpukan kepalanya di stir mobilnya.
“Gimana caranya aku bisa deket sama dia, sedangkan dia aja udah membentengi dirinya kaya gitu, masa iya negur tiba-tiba kaya anak iseng gitu, aduh ga banget kayanya,” gumam Rasyid bimbang.
Setelah bergelut dengan banyaknya pikiran dia memutuskan untuk bicara dengan Asmara. Rasyid turun dari mobil dan mengetuk pintu rumah Asmara berkali-kali tapi tak dibuka.
“Astaga kemana lagi dia kok ga da sahutan,” kata Rasyid. Pria itu menghampiri kaca jendela dekat pintu utama, dia mendengar suara musik yang keras dari dalam. Dia mengetuk kaca jendela dengan keras tapi Rasyid menghentikan kegiatannya dan mengintip sedikit.
Samar dia melihat siluet wanita yang duduk menopang kepalanya sedang menangis pilu di samping tempat tidur. Rasyid menghela napas dan menjauh dari rumah itu.
Sebelum masuk mobilnya dia mengedarkan pandangan dan melihat salah satu mobil milik anak buahnya. Rasyid mengetuk kaca jendelanya membuat dua orang yang ada di dalam kaget.
“Awasi dia terus, pastikan kondisinya baik-baik saja. Jangan sampai terluka atau kalian yang aku bikin celaka. Paham!”
*****