CH.10 Keep on This Eyes

1918 Kata
Kedua lelaki tampan itu memutuskan untuk meninggalkan area CFD tanpa membeli apapun. Bukan karena mereka sok bersih atau tidak mau makan pinggir jalan, tapi banyak pasang wanita yang membuat mereka jadi jengah sendiri. “Ed, aku tunggu di tikungan parkiran mobil, yang ada posnya,” kata Dika saat mereka memutuskan untuk mencari tempat yang enak menunggu Edgar. Tak sampai lima menit Edgar sudah datang dan keduanya masuk mobil. “Kalo gini aja cepet, giliran kemarin perlu lama banget,” Rasyid masih mengeluh soal lambatnya Edgar yang datang ke lobby sampai dia kehilangan Asmara. Edgar hanya diam tak bereaksi, karena menurutnya membantah pun percuma akan menambah kekesalan bosnya yang tidak bisa ditebak moodnya itu. “Siapa anak buah yang kamu utus untuk mengawasi Asmara?” tanya Rasyid. Edgar melirik melalui spion, dia sedikit khawatir jika kali ini ada salah lagi. “Ruslan Bos, apa ada masalah?” tanya Edgar cepat. Rasyid berpikir sejenak. “Dia sudah kerja sama kita berapa lama?” tanya Rasyid penuh selidik. Edgar berpikir sejenak, “Cukup lama sekitar dua tahun atau tiga tahun mungkin Bos,” jawab Edgar. Rasyid langsung berdecak membuat Dika menoleh heran. “Cari orang yang sudah lama kerja sama kita, kaya kamu, kalo perlu kemampuannya sama kaya kamu, jangan sembarangan, ini tugas penting,” omel Rasyid. Meskipun Edgar merasa aneh dengan ini tapi dia mengiyakan saja. Dika hanya menatap tak mengerti apa yang merasuki pikiran sahabatnya ini hingga dia tak bisa menahan lagi untuk bertanya. “Sebenarnya tugas apa yang mau kamu kasih?” tanya Dika penasaran. “Aku mau orang itu memiliki kemampuan setara sama kamu, kalo lebih dari kamu ga mungkin ada, kan semua orang hasil didikan kamu. Dan dia tidak boleh mengerjakan apapun selain mengamati kegiatan Asmara dua puluh empat jam, ingat dua puluh empat jam,” kata Rasyid. Dika langsung melotot dan menganga mendengar apa yang ditugaskan oleh Rasyid. “Cuma gitu doank kudu sepinter Edgar, maruk lu,” protes Dika. Ucapan itu sontak mendapat pelototan dari Rasyid. “Diem lu, Bosnya ini gue,” balasnya. “Tau aku, elu Bosnya,” balas Dika. “Tapi gini ya Bos, ngawasin Asmara itu kan pekerjaan yang tak membutuhkan skill tinggi yang penting dia jujur,” urai Dika. Rasyid diam sejenak, dia berpikir bagaimana cara menjelaskan tugas yang dia inginkan. “Bukan cuma ngawasin kaya yang kamu bilang, tapi dia harus bisa membaca situasi, kapan Asmara perlu bantuan, dalam bahaya, bahagia, baik-baik saja, sedih, terluka, dan semacam itulah,” jelas Rasyid. “Nikahin aja Bos, repot amat pake diawasi segala,” komentar Dika pada akhirnya. Edgar ikut mengangguk setuju. Tangan cekatan Rasyid langsung mendarat di kepala Dika. “Sejak kapan aku nikahin cewek sembrangan,” geram Rasyid. Dika menggosok kepalanya yang terasa panas kena pukulan Rasyid. “La terus ngapa elu peduli sama kehidupannya kalo elu ga nikahin dia, Bosque,” pekik Dika. Hening. Pria itu mempertanyakan hal yang sama dalam dirinya, kenapa dia harus tahu semuanya jika dia tidak menikahi Asmara. Ada apa dengannya? “Aku kira kamu mengejarnya sejauh ini agar bisa mendapatkan dia dan menjadikannya milikmu. Kalo bukan untuk itu kenapa kamu melakukan semua itu?” cecar Dika. Rasyid masih bungkam. “Sebelum kamu melangkah terlalu jauh dan melibatkannya dalam hidupmu, tanyakan dulu di sini,” tunjuk Dika di dadda bidang Rasyid. “Apa yang dia lakukan sampai kamu harus berbuat sejauh ini? Sebanyak apa yang akan kamu dapatkan jika melakukan apa yang kamu inginkan,” jelas Dika. Rasyid menyandarkan kepalanya di sandaran jok mobil. “Tatapannya merendahkanku, Dik. Dan hanya dia yang menatapku seperti itu,” kata Rasyid pelan. Dika berdecak mendengar ucapan Rasyid, “Gengsimu doank? Nunjukin powermu sebagai lelaki yang digilai wanita tapi ada satu wanita yang ga memandangmu sama sekali, gitu?” komentar Dika. Rasyid tak menjawab hanya menghembuskan napas. “Jika tak ingin memilikinya, biarkan dia bebas Ras. Asmara itu punya hati dan punya keinginan dia ga bisa kamu kekang seperti keinginanmu,” kata Dika pelan. Rasyid menjambak rambutnya, dia tak tahu kenapa dia berbuat sampai sejauh ini. Tapi dia memang penasaran dengan seorang Asmara. “Oke, aku cuma mau lihat dia doank, ga bakal ngapa-ngapain, gimana?” usul Rasyid. Dika menggelengkan kepalanya, “Dasar keras kepala.” “Elu trial dulu Ed, biar hati si Bos ini bahagia, ga usah berlebihan,” pinta Dika dan Edgar mengangguk paham. “Dan laporannya sebelum makan siang setiap hari,” kata Rasyid kembali Edgar mengangguk. Senyum Rasyid tercetak dan hal itu disadari Dika. Asisten Rasyid yakin jika ini bukan hanya soal gengsi, tapi ada gejolak dalam diri Rasyid yang tidak pria itu sadari. “Ga takut jadi bucin lu gegara jadi stalkernya Asmara,” pancing Dika. Rasyid mendengkus, “Mana ada, bener kata kamu gengsi doank, dia biasa aja ga ada istimewanya,” kata Rasyid cepat. Dika hanya mengangkat bahunya. Rasyid memalingkan wajahnya keluar jendela, tapi di dalam hatinya ada debaran yang entah kapan itu muncul. Benarkah jika dia bisa mencintai Asmara hanya karena dia mengamatinya dua puluh empat jam, rasanya tidak mungkin karena tindakannya ini tidak melibatkan perasaan. Sesampainya mereka di penthouse, Rasyid masuk kamar dan memutuskan untuk membersihkan diri. Dia termasuk tipe yang jarang melakukan ritual mandi yang lama. Tapi kali ini dia tergoda untuk berendam dalam bathup. Kran air di bathup sudah dia nyalakan, sambil menunggu air mandi, dia mengambil remote dan menekan satu musik yang menurutnya sesuai dengan moodnya kali ini. Dan mengambil satu remote lagi untuk membuka tirai jendela di kamar mandinya. Terik mentari siang masuk dengan leluasa menembus kaca jendela besar di sana. Desain kamar mandi ini hanya ada dua di apartemen ini, satu yang Rasyid tempati dan satu lagi ada di samping milik Rasyid. Bathup yang terletak di sebelah jendela besar membuat sensasi berendam yang berbeda karena kita bisa melihat hamparan langit dari lantai 19 penthouse ini. Tubuh atletisnya sudah terendam sempurna dalam busa sabun aroma musk. Tatapannya memandang keluar jendela, bagi orang awam akan terlihat panas dan terik tapi kenyataannya kaca yang digunakan merupakan kaca khusus untuk meredam panas matahari. Selama apapun Rasyid berendam di sana, tidak ada rasa panas yang terpancar dari jendela besar itu. Alunan musik ‘Two of Us – Louis Tomlinson’ mengalun merdu di kamar mandinya. So I will keep you, day and night .. Here until the day I die .. I'll be living one life for the two of us .. I will be the best of me .. Always keep you next to me .. I'll be living one life for the two of us .. Even when I'm on my own .. I know I won't be alone .. Tattooed on my heart are the words of your favourite song .. I know you'll be looking down .. Swear I'm gonna make you proud .. I'll be living one life for the two of us .. “One life for the two of us,” gumam Rasyid setelah dia mendengar lagu itu. “Apa kali ini kehidupanku akan bergantung kepadamu atau sebaliknya Asmara,” lirih Rasyid dan dia mengatur posisi untuk meletakkan kepala dan memejamkan matanya. *** Tiga hari setelah kejadian dramatis Rasyid mengenai pertemuannya dengan Asmara. Dia sedikit melupakan apa yang ingin dia ketahui oleh pria itu, karena ada sedikit urusan pekerjaan yang harus dia selesaikan. Tok.. tok.. tok.. “Masuk,” ucap Rasyid dan muncul Edgar dari balik pintu itu. Rasyid yang melihat pengawalnya datang menghentikan kegiatannya. “Ada apa?” tanya Rasyid. Edgar menaikkan alisnya, tapi tak berani berkomentar. “Menyerahkan laporan Bos,” kata Edgar. Rasyid menaikkan alisnya, “Laporan apa?” tanya Rasyid. ‘Fix, Bosku mengalami gangguan ingatan,’ batin Edgar. “Bukankah Bos minta saya untuk melapor setiap hari sebelum makan siang mengenai kegiatan Nona Asmara,” Edgar mengatakan perlahan karena tak ingin mood bosnya berubah signifikan. Rasyid langsung ingat dengan perintah yang dia berikan kepada pengawalnya. Dia berdehem untuk mengabaikan sifat lupa yang mendadak muncul dalam dirinya. “Jadi hasilnya?” tanya Rasyid. Edgar bingung mendadak, jika bosnya bertanya itu artinya laporan kemarin belum dia sentuh. Tapi dia berpikiran positif pasti bosnya sibuk, jadi dia memutuskan untuk membacakan apa yang dia ketahui. “Aktivitas rutin layaknya karyawan biasa, teman dekat Ratna dan Astri. Teman pria tidak ada, tunangannya Devio. Pergi dan pulang kerja lebih sering dijemput Devio jika pria itu tidak sedang keluar kota,” kata Edgar yang mendapat respon dari Rasyid. “Kalo keluar kota?” tanya Rasyid penasaran. “Nona Asmara pergi ke kantor naik motor dari kontrakannya yang berjarak sekitar 5 km dari kantor. Dan kalo lembur bisa sampai jam 11 malam. Tapi –“ ucapan Edgar langsung terpotong dengan seruan Rasyid. “Tunggu dulu! Maksudmu dia mengendarai motornya sendiri sejauh 5 km dan terkadang pulang malam?” tanya Rasyid lebih tepatnya memastikan dan Edgar mengangguk. “Apa dia itu wonder woman, atau cat woman, kenapa dia tak takut berkendara sendiri sejauh itu dan malam-malam,” omel Rasyid mendadak posesif. Edgar tak berkomentar karena dia tak tahu apa yang harus dia katakan, baginya ini hal sepele. Rasyid berdiri dan menghampiri Edgar. “Jadi berapa orang yang kamu tugaskan untuk menjaganya?” tanya Rasyid tak suka. “Sa-satu,” jawab Edgar terbata. Rasyid menggeram, “Tambah dua orang lagi, eh sebentar, tiga orang yang harus jagain dia, kalo perlu lima orang,” seru Rasyid. Edgar tak bisa apa-apa selain mengangguk. “Jangan! Jangan! Menurutmu berapa yang ideal?” tanya Rasyid balik. Edgar menatap bosnya itu dan menjawab, “Jika kondisi normal seperti ini satu saja cukup Bos,” jawab Edgar tapi dia malah mendapat hadiah pelototan dari Rasyid. “Kurang!” seru Rasyid. Hening. “Oke dua saja cukup,” ucap Rasyid tangannya membentuk tanda V dengan tangannya dan kembali pengawalnya itu mengangguk. “Good. Ada yang lain?” tanya Rasyid. Edgar mengingat apa yang sudah dia baca mengenai laporan itu. “Acara lamaran mereka akan dilaksanakan dua minggu lagi di kediaman Nona Asmara yang ada di Surabaya,” kata Edgar. Rasyid menatap Edgar, “Mereka belum resmi bertunangan?” tanya Rasyid dan Edgar mengangguk, “Saya belum mendapatkan informasi jelas, tapi kedatangan Devio beberapa waktu lalu ke Surabaya hanya untuk meminta ijin kepada orang tua Nona Asmara untuk memberikan restu mengenai hubungan mereka,” kata Edgar. Pengusaha muda itu memijat keningnya, jadi selama ini dia dibohongi oleh Asmara karena mereka sebenarnya belum bertunangan. “Astaga perempuan itu,” geram Rasyid. “Apa lagi yang aku lewatkan?” tanya Rasyid. “Saya tak yakin ini penting atau tidak,” jeda Edgar dan Rasyid nampak tertarik. “Menurut sumber terdekat dari Nona Asmara, selama ini hubungan mereka tidak terlalu istimewa, tidak ada perayaan, makan malam romantis atau melakukan banyak hal berdua dan hubungan ini baru berjalan satu tahun,” jelas Edgar. Rasyid membayangkan bagaimana hambarnya hubungan itu. Dia teringat ucapan Asmara beberapa hari lalu. Apa karena itu dia merasa tak mencintai Devio. Jika memang seperti itu kenapa mereka memutuskan menikah. Masih larut dalam pikiran penuh tanya Dika masuk ke ruangan Rasyid. “Ras, ada apa kamu merubah jadwalmu dua hari ke depan?” tanya Dika membuat Rasyid menoleh dan melupakan pertanyaan yang berkecamuk dalam pikirannya. “Oh itu, aku mau ke Semarang habis itu langsung balik ke Dubai buat meeting sama investor minggu depan,” kata Rasyid. “Ada apa ke Semarang?” tanya Dika tak paham, bagian ini dia tak tahu sama sekali urusan Rasyid. “Ketemu Aldo, ada yang mau aku tanyain,” jawab Rasyid santai dan berjalan ke meja kerjanya. “Soal?” selidik Dika. Rasyid duduk di kursinya dan menatap Dika. “Devio, yang ternyata belum tunangan sama Asmara.” *****
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN