Rasyid berkali-kali melihat jam di tangannya dan di dashboard mobilnya. Dia tak melihat tanda kemunculan orang yang dia tunggu.
Tok.. Tok.. Tok..
Rasyid bingung, siapa yang mengetuk kaca mobilnya. Tak ingin dianggap mencurigakan dia membuka kaca jendelanya. Tapi keduanya terkejut satu sama lain.
“Reno,” lirih Rasyid.
“Rasyid,” lirih Reno hampir bersamaan.
“Sedang apa kamu di sini?” tanya Reno penasaran. Tapi belum sempat dijawab oleh Rasyid, ada sebuah mobil yang datang dan Reno melihat dengan jelas siapa yang datang. Dia langsung pergi dari sana.
Rasyid yang bingung dengan kelakuan sahabatnya itu hanya mengikuti arah pandang sahabatnya dan dia lekas turun dari mobil tapi terlambat.
“Eeehh, Pak lepasin kenapa aku diseret begini?” kata seorang wanita yang sedari tadi dia tunggu. “Aku anter kamu pulang dan aku tidak menerima bantahan atau penolakan,” kata Reno yang jelas terdengar di telinga Rasyid.
Pria itu hanya bisa melihat pemandangan itu dengan tatapan marah, kesal, pilu. Reno melirik melalui ekor matanya untuk melihat reaksi Rasyid.
Dan kedua pria wanita itu masuk mobil yang sebenarnya parkir tak jauh dari tempatnya parkir. Rasyid hanya bisa melihat nanar adegan di hadapannya itu.
“Arrgggghh!!” Rasyid mengepalkan tangannya dan memukul mobilnya begitu saja. Dia mendengar bunyi ponselnya berdering dan melihat nama Dika di sana.
“Gue lagi ga mau diganggu,” kata Rasyid cepat dan hendak menutup telponnya tapi Dika langsung menjawab. “Sherly ada di penthouse sekarang, gimana dia bisa tahu tempat tinggal kamu,” kata Dika lirih.
Setengah tak percaya, Rasyid memikirkan apakah dia pernah mengatakan dimana dia tinggal sampai wanita itu tahu tempat tinggalnya.
Tiba-tiba terbersit dalam pikirannya untuk melampiaskan kekesalannya kepada Sherly. “Oke, aku ke sana,” kata Rasyid singkat dan dia melajukan mobilnya ke penthouse miliknya.
“Tau darimana kamu tempat tinggal ini?” tanya Rasyid begitu dia masuk ke dalam penthouse dan melihat wanita itu memakai mantel panjang warna hitam sampai paha.
Sherly berdiri dan hendak mencium pipi Rasyid tapi pria itu mundur membuat Sherly keki. “Cepat katakan apa maumu sebelum aku mengusirmu,” kata Rasyid duduk di sofa sebrangnya.
Sherly duduk di samping Rasyid tanpa malu dan melipat satu kakinya hingga paaha mulusnya terekspos sempurna. Dika yang ada di dekat mereka hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepalanya.
“Apa menurutmu aku bisa menjadi partner pribadi selain jadi partner kerjamu?” ucap Sherly dengan nada menggoda.
Rasyid memicingkan matanya, “The reason is,” balas Rasyid.
“I love you,” jawab Sherly. Rasyid terkekeh sumbang mendengar jawaban wanita itu. “Love my money, not me!” ucap Rasyid berdiri. Sherly mengikuti pergerakan Rasyid.
“Tolonglah, apapun akan aku lakukan bahkan jika kamu masih ingin bermain dengan banyak wanita aku tak masalah,” kata Sherly merengek sambil memegang lengan Rasyid.
“Kenapa aku harus peduli dengan semua itu, urus saja urusanmu sendiri. Dan sekarang keluar dari rumahku!” bentak Rasyid.
Sherly memasang wajah cemberut. “Tunggu saja kamu akan bertekuk lutut di hadapanku,” kata Sherly dan pergi dari sana begitu saja.
Rasyid melihat tingkah Sherly bingung. “Sebenarnya wanita itu kenapa, aku rasa dia juga tidak mabuk karena aku tak mencium bau alkohol dari dirinya,” tanya Rasyid menatap Dika dan asistennya itu hanya mengangkat bahu.
Rasyid mengambil minuman di lemari penyimpanan dan es batu. Dia menuang minumannya dalam gelas berisi es, berharap ingatannya mengenai kejadian beberapa jam lalu bisa dia lupakan. Tak sabar dengan gelasnya dia menegak langsung dari botolnya.
Dika merampas botol itu paksa dan meletakkannya dengan hentakan keras di meja. “Mabuk ga akan bikin masalahmu ilang,” kata Dika.
“Aku tahu, mana Edgar,” tanya Dika. “Ngapain cari Edgar,” kata Dika. “Cari mangsa dan pelampiasan,” kata Rasyid denga napas memburu dia menelpon Edgar.
“Tolong siapkan satu orang yang bisa aku hajar malam ini. Ingat sterilkan dia dulu,” perintah Rasyid menutup telponnya.
Dika menghela napasnya, “Ras, bukan kaya gini caranya,” kata Dika yang mulai aneh dengan tingkah laku Rasyid.
Rasyid terkekeh, “Aku lupa pesan satu lagi buat kamu,” ucapnya santai. Dika langsung mencengkram baju Rasyid di saat yang sama Edgar datang dan berusaha melerai mereka berdua.
“Stop cari pelampiasan ke wanita lain kalo kamu emang ga mau dia jadi milik orang lain. Kejar dia Ras, cari dia, perjuangkan dia, bukan lari macam pengecut kaya gini!” bentak Dika dan mendorong Rasyid yang mulai terhuyung.
Edgar membantu bosnya untuk bangkit. Rasyid masih tertawa mendengar perkataan Dika. Dia bukannya tidak paham atau mendengar apa yang Dika katakan. Tapi dia memang tak tahu bagaimana cara mengontrol semuanya.
Ada sakit dalam dirinya, tapi dia tidak bisa mengobatinya. Ada bahagia tapi dia menangis dalam hati. Dia menangis tapi tak ada air mata yang keluar hanya tawa.
“Bos,” panggil Edgar dan Rasyid berdiri tegak.
“Sejak kapan kamu peduli sama urusan pelampiasan dan masalah pribadiku. Dia hanya mampir sementara tidak mungkin lama,” kata Rasyid berjalan agak sempoyongan keluar pintu.
Edgar mendapinginya karena khawatir dan melirik pandangannya kepada Dika. Asistennya itu hanya menatap sahabat sekaligus bosnya itu pilu.
“Jaga dia, jangan lepas walopun hanya berdua dengan wanitanya,” pesan Dika dan Edgar mengangguk.
Kamar hotel yang sama untuk Rasyid melampiaskan kekesalannya kepada wanita yang sudah disediakan untuknya. Bagi dirinya wanita itu tak lebih dari sekedar hiasan dan tempat pelampiasan.
Dia langsung mendorong wanita itu ke tembok saat dia masuk kamar. Dia mendengar lenguhan dari wanita itu yang membuatnya semakin ingin meluapkan kekesalannya.
Mereka melakukan sedikit pemanasan sampai tiba di ranjang. Dia bisa melihat semua lekuk tubuh wanita di hadapannya yang bagi pria umunya itu adalah kenikmatan dan keindahan. Tapi bagi Rasyid itu tak lebih dari sekedar tempat penampungan baginya.
Dia tak memikirkan apa yang dirasakan oleh wanita itu yang jelas dia harus meluapkan kekesalannya kepada wanita di hadapannya ini. Semakin dia beringas, bayangan senyum dan tatapan Asmara kepadanya makin menjadi membuat kekesalannya makin menjadi.
Wanita itu hanya bisa menjerit pasrah karena keliaran Rasyid. Dia tak tahu apa yang Rasyid rasakan karena pria di hadapannya ini sungguh liar dan tak biasa baginya.
Rasyid sudah memposisikan dirinya dan berniat untuk segera mengakhiri dalam sekali masukan. Tapi kendali pikirannya tak sejalan dengan keinginan itu. Dia susah sekali memposisikan itu dan bayangan Asmara yang ada di hadapannya sedang menangis membuatnya mundur. Pria itu kaget dan menatap wanita itu bingung.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Rasyid pelan dan mengambil selimut yang ada di sana untuk menutup sebagian tubuhnya yang terbuka.
“Tuan, Tuan tadi yang memanggil saya kemari,” ucap wanita itu terbata. Rasyid menghela napas lega sekaligus sedih. Setidaknya wanita itu memang bukan Asmara yang tadi muncul dalam pikirannya. Tapi sedihnya dia tak bisa melakukan lagi hal yang tertunda tadi.
“Pergilah, tugasmu sudah selesai,” kata Rasyid cepat. Meskipun wanita itu bingung tapi dia tak berani bertanya lebih lanjut. Dia mengenakan pakaian baru yang sudah disediakan di sana dan keluar dari kamar.
Edgar yang ada di depan pintu bersama para pengawal Rasyid saling pandang karena yang muncul adalah wanita panggilan bukan Rasyid seperti yang selama ini bosnya lakukan.
Setelah memberikan amplop coklat Edgar langsung masuk kamar dan mengecek kondisi bosnya. Dia mengedarkan ke seluruh ruangan tak menemukan bosnya sampai dia mendengar erangan dari dalam kamar mandi.
Edgar menanti dengan sabar sampai lima belas menit kemudian bosnya keluar dan kaget melihat pengawalnya ada di sana. “Sedang apa kamu di sini?” tanya Rasyid tak suka.
“Memastikan Bos baik-baik saja,” kata Edgar pelan tapi dia bisa merasakan jika bosnya tak mendapatkan apa yang dia inginkan.
“Ayo kita pulang,” ucap Rasyid mengambil baju kaos dan memakainya lalu keluar dari kamar tersebut.
Sepanjang perjalanan dia hanya diam dan memikirkan apa yang terjadi padanya baru saja. ‘Ini pasti gara-gara aku melihat dia dengan Reno jadi pikiranku penuh dengan dirinya,’ batin Rasyid berusaha berpikir logis.
***
Sejak kejadian itu Rasyid mulai fokus dengan setiap laporan mengenai Asmara di mejanya setiap hari. Dan beberapa hari ini dia harus menelan kekecewaan karena Reno dan Asmara sering bersama dengan alasan pekerjaan. Tak tahan dengan situasi ini, Rasyid memutuskan untuk menanyakan kepada Reno perihal hal ini.
Rasyid [Ada waktu ga? Kita perlu ngomong penting.]
Rasyid memutar ponselnya sambil menunggu balasan dari Reno. Sepuluh menit kemudian, sahabatnya ini membalas pesannya.
Reno [Kapan?]
Rasyid [Jam 9 malem tempat biasa.]
Reno [Oke.]
Rasyid meletakkan ponselnya dan menumpukan kepalanya, sekali lagi dia membaca apa yang sudah dilaporkan oleh pengawalnya soal Asmara.
“Menikah dalam hitungan bulan, tapi dia tak bisa selalu bersama dengan calon suaminya. Apa dia masih yakin untuk menjalani semua ini?” tanya Rasyid pada dirinya sendiri.
“Bahkan Reno yang anti merebut tunangan orang lain aja sampai rela antri cuma biar bisa sama dia. Bener-bener deh ga bisa dipercaya,” gumam Rasyid.
Notifikasi email masuk di tablet yang dia baca. Dia melihat email itu dari Edgar, jadi dia yakin pasti laporan soal hasil kerjanya.
“Devio, siapa Devio?” tanya Rasyid bingung, penyakit lupa menghafalkan nama orang muncul. “Astaga, iya baru ingat kalo dia tunangannya Asmara,” kata Rasyid.
Dia membaca laporan yang ditulis Edgar sampai dia berhenti di salah satu nama dan dia melihat foto yang terlampir di sana. “Vrengsek, apa dia ga bisa jadi laki yang gentleman dan bisa menghargai kehadiran wanita yang sudah dia pilih,” geram Rasyid.
Dia mengambil ponselnya dan menelpon Edgar. “Siapa yang kamu tugaskan untuk ngawasi Devio?” tanya Rasyid dengan nada keras.
“Alan Bos, apa ada yang salah?” tanya Edgar khawatir dia melakukan kesalahan.
“Kenapa kamu baru laporan sekarang, bahkan gambar apa ini yang kamu cantumkan di sini menjijikkan!” protes Rasyid dengan nada tinggi.
******