“You love her my Brother,” ucap Aldo pelan tapi mengejutkan.
Rasyid langsung tersedak hebat dengan ucapan Aldo itu.
Dika menepuk punggung Rasyid yang sebenarnya tak terlalu berpengaruh. Aldo menyodorkan tisu yang ada di dekatnya.
Dika menatap Rasyid heran, “Langka ini sih, baru kali ini ngomongin cewek bisa keseleg,” goda Dika dengan ekspresi puas banget.
Tanpa banyak kata Rasyid melempar asisten reseknya dengan gumpalan tisu, “Sialan kamu,” kata Rasyid. Pria itu ganti menatap sepupunya, “Ngomongnya yang bener dunk, masa lagi minum ngomongnya ngaco,” dumel Rasyid mengobati keterkejutannya. Tapi omelan itu malah mendapat tawa dari Dika dan Aldo.
“Yang ada tuh kenapa kamu tersedak, biasa minum wine aja ga pake keseleg kalo ngomong cewek, ngapa keseleg,” ledek Aldo santai.
“Lagi elu, ngapa pake gaya banget ngomong soal cinta sama aku, ga bakal mempan lah,” sahut Rasyid. Aldo memicingkan matanya, “Okay kalo ga mempan tapi kenapa harus jadi stalker semacam kamu tak ingin dia dimiliki oleh orang lain,” kata Aldo.
Bungkam.
Dika terkekeh mendengar hal itu, “Hanya ingin melihatnya tapi kalo dia mau jadi milikku ya itu sih bonus,” timpal Dika. Aldo hanya menggelengkan kepala mendengar ledekan Dika. Rasyid menjepit leher Dika hingga dia mengaduh.
Rasyid melepaskan jepitannya dan menatap kedua sahabatnya ini. “I’m not love her, sama sekali tidak mencintainya,” kata Rasyid.
Keduanya mengangguk tapi anggukan itu tak meyakinkan untuk percaya dengan apa yang dikatakan Rasyid. Pria itu berdecak melihat kedua orang terdekatnya seakan tak percaya kepadanya.
“Aku hanya ingin tahu gimana kekuatan dia menahan pesonaku,” kekeh Rasyid dengan penuh percaya diri.
“Penasaran jadi cinta juga bisa sih,” masih saja Aldo meyakini jika itu bukan soal rasa penasaran semata.
“Ambisi jadi cinta juga bisa,” tambah Dika dan keduanya melakukan high five.
“Absolutely no and big No,” ucap Rasyid yakin sambil meneguk air mineral lebih banyak. Dika menyunggingkan senyumnya yang tak bisa diartikan biasa.
“Oke, let’s see,” jawab keduanya kompak.
Ketiga pria itu membubarkan diri, Rasyid yang merebahkan tubuhnya di ranjang dan menatap langit-langit kamar yang masih dijaga model tradisional jawa membuat pikirannya melayang pada peristiwa baru-baru ini.
Tapi akhirnya Rasyid memutuskan untuk menghubungi seseorang yang dia tahu bisa membantunya, “Ada apa?” sahut Oman cepat. Rasyid terkekeh, “Selow Bro, mau minta tolong,” kata Rasyid. Oman hanya menjawab dengan deheman.
“Tolong cek apa kaitannya Asmara, Devio, Priandita Sanjaya dan Sinta. Nama lengkapnya aku akan kirim email dan fotonya juga,” pinta Rasyid.
“Oke, tapi ga bisa buru-buru ya,” kata Oman cepat. Rasyid menghela napas, “Mau cari bukti Bro, kenapa mereka berempat bisa terlibat dalam situasi yang membingungkan dan penuh drama macam sinetron,” keluh Rasyid.
Oman teringat jika diantara empat nama itu ada satu nama yang pernah dia dengar. “Ini namanya agak familiar, kaya pernah dengar gitu,” komentar Oman.
“Dia cewek yang kita lihat di pesta Mr. Johnson,” kata Rasyid cepat. Oman langsung kaget, “Masih lanjut kirain udah kelar karena Edgar udah kasih info,” kata Oman tapi tak lama dia terkekeh.
“Ga usah ikutan ngeledek kaya yang lain, tinggal cari aja kan ga susah,” kata Rasyid cepat. Oman malah terbahak, “Baiklah, tapi kalo jadi cinta urus sendiri, aku ogah bantuin,” kata Oman langsung menutup telponnya karena tahu Rasyid bisa menyumpahinya panjang lebar jika tidak ditutup.
“Sialan, kenapa sih pada bilang kalo aku itu cinta sama Asmara, ini itu cuma rasa penasaran, mana ada cinta segala,” omel Rasyid dan meletakkan ponselnya di meja nakas samping tempat tidurnya.
Dia memejamkan matanya dan senyuman Asmara kembali muncul membuatnya membuka mata.
“Maybe I am not love you but I am sure if you are my destiny,” Rasyid terkekeh sambil memeluk guling dan kembali memejamkan mata.
***
Sekitar tujuh belas jam Rasyid berada dalam pesawat yang membawanya ke Italia. Supir yang melayani Rasyid sudah tiba di terminal kedatangan tepat saat ketiga pria itu keluar dari pintu kedatangan.
Edgar yang duduk di depan meminta supir untuk langsung pergi ke Bassil. Rasyid memeriksa semua data terkait penggelapan dana yang dimaksud oleh Edgar.
Dua jam berkendara Rasyid tiba di Bassil dengan hamparan perkebunan anggur yang luas. Di ujung perkebunan ada satu tempat pengolahan sekaligus kantor dari Bassil.
Bisnis ini memang terlihat sepele tapi dari bisnis inilah World Biz bermula, karena itu Rasyid begitu peduli dengan Bassil. Ketiganya masuk ke dalam kantor Bassil dan semua orang hormat dengan kedatangan Rasyid.
Dika membuka pintu ruangan Adrian yang ada di lantai 5. Suara ribut itu membuat Adrian mendongak dan dia melihat sosok yang dia kenal baik.
“Akhirnya kamu datang juga, sorry Bro, aku harus melibatkanmu dalam hal ini,” ucap Adrian sambil merangkul Rasyid tanda sapaan mereka.
Ruangan yang didominasi warna coklat bernuansa Eropa ini memiliki furniture yang cukup elegan dan sudah jelas pemilik ruangan ini adalah orang yang berkuasa di perusahaan ini. Meja kerja ukuran besar warna coklat muda, kursi kerja setinggi leher berwarna coklat tua.
“Apa semua tersangka itu masih ada urusan dengan kantor ini?” tanya Rasyid dan Adrian langsung mengangguk, “Ada pertemuan dengan managemen nanti sore jam 4 dan informasinya itu adalah meeting terakhir karena mereka memutuskan untuk resign dari perusahaan ini.”
Rasyid mencerna ucapan Adrian, “Dan kau mengijinkan mereka keluar dari sini hidup-hidup?” Adrian menggeleng, “Tentu saja tidak, bukankah aku bersikap tak tahu apapun akan membuka banyak jalan dibanding dengan memaksa mereka untuk terbuka dengan kita.”
Rasyid menarik sudut bibirnya, “So interesting.”
Sofa empuk berbentuk persegi panjang berwarna coklat muda dengan salur putih, meja kecil hitam, sofa single warna coklat muda berjumlah dua buah mengelilingi meja itu. Di sekeliling ruangan ada rak buku industrialis berwarna hitam dengan jajaran buku mengenai manajemen, bisnis, perkebunan dan banyak lagi.
Sejajar dengan meja kerja ada satu pintu kecil yang berisi kamar istirahat dengan lemari kecil untuk menyimpan baju, kasur single berwarna abu gelap, kamar mandi sederhana berwarna broken white dengan ornament batu berwarna abu-abu.
Adrian memberikan satu map file kepada Rasyid yang sudah duduk manis di sofa, sedangkan Edgar sigap dengan membuatkan empat cangkir kopi yang ada di salah satu pojok ruangan ini.
“Thanks Ed,” ucap Rasyid dan ketiganya mengangkat gelasnya hormat tanda terima kasih. “Jadi apa yang menarik di sini?” tanya Rasyid sambil membuka perlahan file itu sedangkan yang lain masih sibuk menyeruput kopi mereka.
Rasyid berhenti pada salah satu coretan merah yang ada di file tersebut. Dan dia membaca dengan detil berkas itu. Pandangannya langsung mengarah pada Adrian. “Mereka hanya menerima sepuluh persen dari total uang yang sudah dikorupsi?” Rasyid menyuarakan kesimpulannya dan Adrian mengangguk.
“Hama yang sungguh bodoh,” komentar Dika dan Adrian mengangguk dengan senyum mengejek.
“Aku rasa ada unsur kesengajaan dari semua peristiwa ini dan aku yakin kau lebih pintar dariku untuk mengungkap semua ini,” seru Adrian dengan senyum evil.
Rasyid langsung menyerahkan kertas itu pada Edgar dan segera pengawal pribadi itu mempelajari semuanya dan paham apa yang harus dia lakukan.
Dia mengambil laptop yang sudah sedari tadi dia bawa, duduk di salah satu pojok ruangan yang memang ada meja kecil disana dengan sebuah kursi.
“Sampai dimana semua penyelidikanmu ini?” tanya Rasyid dan Edgar menghela napas lelah, “Mereka menutup semua akses yang bisa aku ketahui dan itu sangat menyebalkan.”
“Sepertinya dia musuhmu yang sangat pintar dan licik setara denganmu Ras, kita tak tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya karena semua ini terjadi begitu cepat. Dan kau tahu hal yang paling menyebalkan adalah bursa saham sudah memasukkan Bassil dalam perusahaan pailit dan itu menyebabkan semua investor meminta ganti rugi atas hal ini,” jelas Adrian dengan wajah cemas.
Rasyid terbelak mendengar apa yang dikatakan Adrian, wajahnya sungguh tak bersahabat, “Kenapa kau baru mengatakan sekarang padaku, heeh!” teriak Rasyid membuat Adrian memejamkan mata sesaat.
“Tenang dulu Bbro, pasti Adrian melakukan ini bukan tanpa alasan,” lerai Dika karena melihat wajah Rasyid yang siap menelan orang hidup-hidup. Rasyid meredakan emosinya, bagaimanapun juga dia memang tak boleh emosi dengan Adrian karena selama ini dia yang membantu urusannya di Italia.
“Aku berencana mengatakan padamu saat kamu tiba di sini, karena aku harus terlihat panik bukan dengan rencana hama itu. Dan itu membuatku berhasil mengelabui mereka,” ucap Adrian tanpa dosa.
“Hasilnya adalah?” tanya Rasyid tak sabar. “Tiga puluh persen dana korupsi itu masuk ke rekening Sekretariat bursa saham untuk menempatkan Bassil dalam posisi pailit, dengan begitu semua investor akan mundur dan kita terancam membayar ganti rugi atas semua ini,” lanjut Adrian.
“Tapi aku berhasil meyakinkan Smith bersaudara, Azalea dan Safora untuk tetap ada di pihak kita dengan perjanjian kita tak membuat mereka merugi. Jadi usaha kita hanya menjaga agar Bassil tetap on track dengan penjualannya untuk mendapatkan biaya menutup kerugian yang ditimbulkan oleh hama itu,” solusi Adrian.
Rasyid paham apa yang dikatakan oleh Adrian, “Good job, kita akan handle semua itu mulai sekarang dan sekarang saatnya memberikan pertunjukan fantastis pada hama itu bukan.”
Adrian dan Dika mengangguk mantap, belum sempat Rasyid bertanya, Edgar sudah muncul dengan wajah tak sedap dipandang. “Ada apa Ed?” tanya Dika yang menyadari ekspresi Edgar.
“Mereka tak memberikan kita akses apa-apa Bos, saya sudah menghubungi The Shadow untuk masalah ini dan mereka minta waktu sampai dua jam karena mereka harus membuka jalur dulu untuk memeriksa semuanya,” lapor Edgar
Rasyid berpikir dengan penjelasan Edgar, “Siapa sebenarnya orang ini, kenapa dia sampai bisa menutup akses yang kita gunakan. Aku rasa mereka bukan orang sembarangan.”
Edgar berdehem membuat semua menaruh perhatian padanya, “Saya rasa Anda memang harus bergabung dengan The Shadow, karena musuh yang kita hadapi ini mengenali apa yang kita miliki selama ini Bos,” usul Edgar.
Hening.
“Kenapa harus berurusan dengan news letter dan klan mafia?” tanya Adrian membuat Rasyid menoleh, “Kamu tahu soal mereka?” selidik Rasyid. Refleks Adrian mengangguk. “Tentu saja, di Italia ini tak ada yang tak kenal Dark Eye, semua tahu reputasinya, tapi jangan coba cari gara-gara dengan mereka kalau masih sayang dengan hidupmu,” jelas Adrian.
Rasyid terkekeh mendengar apa yang dikatakan Adrian, jika selama ini dia mengenal The Shadow karena kemampuannya untuk mencari segala informasi sampai diuluki news letter. Tapi setelah dia tahu jika Oman pemimpin dari The Shadow membuatnya ragu apa yang bisa dilakukan oleh The Shadow.
“Jadi maksudmu Dark Eye itu pemimpin The Shadow?” tanya Rasyid dan Adrian mengangguk. Dika ikut menggeleng tak percaya jika pamor Oman sebesar itu.
Adrian mulai curiga dengan ekspresi Rasyid yang nampak biasa saja. “Kamu kenal sama Dark Eye atau kamu pernah ketemu sama dia?” cecar Adrian.
“Awalnya aku sama naifnya seperti dirimu, tapi setelah aku tahu siapa itu Dark Eye, aku jadi ragu dia bisa bekerja atau tidak,” kekeh Rasyid.
Di sela perbincangan itu, ponsel Edgar berbunyi dan dia melihat nama Oman di sana. Edgar langsung mengubah ponselnya jadi mode pengeras suara.
“Ed, kalian ga akan bisa beresin ini sendiri,” kata Oman, Edgar melirik Rasyid dan pria itu mengangguk.
“Kenapa Bang?” tanya Edgar.
“Pelakunya Marques Alexander.”
******