CH.29 Strange Feeling

1325 Kata
Diskusi di Jerman yang menguras emosi menurut Rasyid, membuatnya jadi lebih waspada. Dia meminta bantuan Edgar untuk menganalisa semua data yang sudah Oman kumpulkan dan hampir setiap hari ketiganya diskusi masalah itu. “Bro, udah baca email dari Wakabayashi belom?” kata Dika membuat Rasyid mengangguk. “Kita temui aja dulu, jangan mutusin apapun. Itu orang lumayan licik, jadi kita mesti waspada juga,” ujar Rasyid. “Okay paham, ikut schedule yang sudah aku susun ya,” kata Dika dan Rasyid mengangguk tanpa bantahan. Edgar masuk ke ruangannya, Edgar menyodorkan satu usb kepada Rasyid membuat pria itu bingung. “Apa ini?” tanya Rasyid tak mengerti. “Ini kiriman dari Bang Oman Bos, dia bilang suruh kasih ke Bos pas paketnya sampai, kirimnya juga aneh pake kurir,” kata Edgar. Rasyid mengambilnya dan menyambungkan ke laptop yang ada di hadapannya. Dia melihat banyak file tapi ada satu file tertulis urgent dengan tanda seru banyak. Rasyid membukanya dan dia melihat ada tiga dokumen di sana. Dia membuka dokumen paling atas dan membaca isi dalam file itu, dia menemukan keterkaitan semua masalah ini, Marques, dirinya dan keluarga keduanya. “Ini salah Kakek tapi kenapa kita yang kena imbasnya gini,” kesal Rasyid membuat kedua orang kepercayaannya itu mendekat dan melihat apa yang membuat Rasyid kesal. “Soal apa?” tanya Dika membuat Rasyid melirikkan matanya untuk membaca semua itu. Dika sampai melotot dan menatap Edgar dan Rasyid bergantian. “Asli ini?” tanya Dika bego. “Menurut L,” timpal Rasyid. Penasaran dengan isi file kedua dia membukanya dan isinya hampir sama tapi kali ini urusan ayah Rasyid dengan ayah Marques. Rasyid menggelengkan kepalanya. “Pas bagian ini aku bersyukur ga sama kaya mereka berdua, mereka sendiri yang menggali lubang petaka. Untung aku masih bisa usaha sendiri sama World Biz, bener-bener kebangetan sih mereka,” gerutu Rasyid. Dika cuma manggut-manggut dan menggelengkan kepala, “Ga nyangka sekelas keluargamu yang terlihat terhormat dan bermartabat malah jadi kaya gini dan jeleknya banyak lagi yang melindungi mereka,” komentar Dika. Rasyid menghela napas dan memutuskan untuk tidak melihat file ketiga yang sebenarnya ada kaitannya dengan dirinya tapi sayangnya dia mengabaikan hal itu dan memilih menutup laptop dan memberikan usb itu kepada Edgar. “Mulai sekarang kita hanya perlu fokus sama World Biz, percuma kita belain Ar Madin kalo ternyata perusahaan itu adalah biang dari segala keruwetan ini,” kata Rasyid. Kedua orang kepercayaan Rasyid hanya mengangguk paham dan memang memilih untuk tidak ikut campur urusan dengan Ar Madin setelah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dika kembali mengambil laptopnya dan berniat untuk keluar dari ruangan Rasyid tapi Edgar masih diam di sana membuat Rasyid hafal jika ada yang ingin dia sampaikan. “Apalagi?” celetuk Rasyid tapi matanya sudah beralih ke tablet miliknya. Edgar berdehem dan menelan ludahnya sebentar. “Nona Asmara dirawat di rumah sakit, siang tadi waktu Indonesia,” ucap Edgar pelan. Rasyid menghentikan kegiatannya ganti melihat Edgar. Dika melirik kedua pria di dekatnya dia khawatir terjadi hal-hal di luar akal terutama sama Rasyid. Rasyid menarik napas, menghembuskannya. “Sakit apa?” tanya Rasyid masih santai. Edgar menatap Rasyid, pengawalnya itu mengira tuannya akan marah karena tak langsung memberitahunya. “Diagnosa dokter asam lambung tapi penyebabnya karena stress,” jawab Edgar yang memang sudah menyuruh orang untuk mempertanyakan hal itu. Rasyid mengerutkan dahinya, “Stress apa maksudmu?” tanya Rasyid tak mengerti. Edgar menggelengkan kepalanya tak mengerti. “Kronologinya bagaimana?” tanya Rasyid. “Nona Asmara pingsan di kantor dan dia dibawa ke rumah sakit, menurut informasi dari teman kantornya Nona Asmara memang banyak bekerja sedikit istirahat, susah makan dan sering pulang malam,” jawab Edgar tegas. “Calon suaminya ngapain?” tanya Rasyid menusuk tajam. “Ada di Jakarta juga tapi sibuk bekerja dan keduanya jarang bertemu. Dia juga tidak tahu jika Nona Asmara di rumah sakit sedangkan dia bersama dengan –“ Brraaakkk… Terdengar suara kayu yang patah, Dika dan Edgar kaget dan meneliti apa yang terjadi. Dika menggelengkan kepalanya sedangkan Edgar menelan ludahnya pahit. “Kalian beli dimana meja ini? Baru aku tending sedikit saja sudah patah begini,” komentar Rasyid tak masuk akal. Keduanya saling pandang karena kaki meja itu patah satu dan laptop yang ada di meja itu jatuh ke lantai tapi tak sampai hancur. Rasyid berdiri merapikan bajunya, “Siapkan penerbangan ke Indonesia, sepertinya aku memang harus turun tangan sendiri,” ucap Rasyid. Dika langsung melotot mendengar ucapan Rasyid. “Eh, bentar, kapan mau berangkat jadwalmu udah full minggu ini, jangan cari gara-gara,” kata Dika. Rasyid berdecak, “Kan aku yang pergi, kamu kan bisa tinggal di sini ngurus semuanya, gitu aja pake diajarin segala kaya baru pertama kali,” kata Rasyid santai sedangkan Dika melongo mendengarnya. Rasyid menatap Edgar, “Tiga jam lagi kita berangkat, biar besok pagi sampai sana,” perintah Rasyid dan dia keluar dari ruangannya. “Walopun mereka ga berjodoh, gimana caranya kamu bikin mereka berjodoh, kalo enggak tambah sinting itu Bosmu,” kesal Dika dan keluar dari ruangan itu. Edgar hanya menghela napas dan segera menyiapkan apa yang bosnya inginkan. *** Rasyid tiba dini hari di Indonesia, dia hanya berdua dengan Edgar. Rasyid memiliki pesawat pribadi tapi dia memilih naik pesawat komersil karena tak ingin dilacak oleh kedua orang tuanya terutama ayahnya. “Kita langsung ke apartemen Bos,” ucap Edgar tapi Rasyid menggeleng. “Kita ke rumah sakit tempat Asmara dirawat,” kata Rasyid pelan sambil menyandarkan kepalanya di jok mobil. Edgar melihat jam dan Rasyid paham apa yang ada di pikiran pengawalnya. “Meskipun bukan jam besuk, tapi bukan berarti rumah sakit itu tutup dan ga boleh dikunjungi kan?” timpal Rasyid membuat Edgar berdehem tanda dia paham. Pria itu menyebutkan nama rumah sakit tempat Asmara dirawat kepada sopir mereka. Rasyid ada di depan kamar inap Asmara, dia hanya diam di sana. Setelah Edgar sukses memberikan tip kepada suster dan merayu mereka agar memberikan bosnya ijin untuk masuk ke kamar Asmara. Edgar yang melihat dari kejauhan bosnya yang masih berdiri di depan pintu tak kunjung masuk membuatnya penasaran dan menghampirinya. “Bos, ada masalah?” tanya Edgar dan Rasyid menggeleng, “Aku hanya merasa aneh saja dengan diriku,” kata Rasyid pelan. Edgar memperhatikan sekilas seluruh tubuh bosnya tapi baginya semua nampak baik-baik saja. “Aku takut melihatnya terbaring di sana,” lirih Rasyid dengan suara tercekat. Edgar bingung bagaimana harus berkomentar, baginya ini memang hal yang aneh dan baru pertama kali dia alami. Bukan karena menjenguk orang di rumah sakit, tapi ini soal sifat Bosnya yang amat sangat tidak biasa. Jangankan untuk menjenguk orang sakit, datang ke rumah sakit saja Rasyid berpikir seribu kali lipat. “Silahkan masuk, Bos,” ucap Edgar membukakan pintu kamar inap itu lebar-lebar. Rasyid berjalan perlahan agar tak menimbulkan suara. Di dalam kamar itu ada dua bed dan satu bed dekat pintu kosong tidak ada pasien, jadi Rasyid yakin jika Asmara ada di bed yang satu lagi di dekat jendela. Rasyid menyibak tirai yang menutupi ranjang dan melihat Asmara tidur dengan memeluk bantal. Pria itu mendekat dan dia dengan jelas melihat bagaimana wajah Asmara dari dekat tanpa make up apapun. Dibandingkan dengan banyak wanita yang dia temui sebelum ini, Asmara memiliki kecantikan yang standar tidak ada hal istimewa. Postur tubuhnya pun biasa, tak seperti model yang yang memiliki tubuh sempurna. Tapi entah apa yang membuat Rasyid merasa tertarik untuk semakin mendekatinya seakan dia tertarik oleh magnet. Beberapa detik dia hanya diam di sana tak melakukan apapun. Rasyid berniat pergi dari sana, tapi ketika berbalik, dia mendengar isakan pelan. Rasyid menatap Asmara dan isakan itu berasal dari suara Asmara sedangkan wanita itu masih menutup matanya. Rasyid membelai rambut Asmara pelan untuk meredakan isakannya itu. “Tidurlah dengan nyenyak itu hanya mimpi,” bisik Rasyid pelan. Seakan Asmara mendengarnya, isakan itu perlahan menghilang. Rasyid semakin mendekatkan wajahnya dan menatap Asmara lekat. Bulir air mata itu masih mengalir, Rasyid menghapusnya perlahan dan dia berbisik lembut. “Aku akan selalu menjagamu dalam kondisi apapun, kuatkan dirimu dan hadapi semuanya. My Rara.” ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN