Rasyid menyandarkan kepalanya di bathup sambil memejamkan mata sesaat. Busa sabun yang semula penuh menutup tubuhnya perlahan memudar dan mulai menampakkan otot-otot yang ada di bagian depan tubuhnya.
“Pikirkan satu hal yang bisa membuat Asmara bergantung kepadamu Ras, ayolah gunakan otakmu,” kata Rasyid pelan sambil merasakan aroma musk yang menguar dari bath up itu.
Memori di kepalanya berputar-putar bak kaset film seakan dia menggali lebih banyak hal untuk dia lakukan. Tapi kemudian dia mengubah posisinya dan duduk tegak.
“Aku memberikannya pengacara dan itu akan membuatnya dekat juga denganku,” kekeh Rasyid penuh keyakinan. Dia keluar dari bathup dan segera menghubungi pengacara keluarganya untuk mencari rekomendasi.
Jonan yang dihubungi oleh salah satu pewaris Bos Besarnya tak mungkin tak mengangkatnya dan menjawab semua pertanyaan yang ditanyakan kepada Rasyid. Di saat yang sama Jonan sedang ada diskusi dengan Alfin, ayah Rasyid dan tentu saja perbincangan Jonan mencari tanda tanya untuk Alfin. Sayangnya, Rasyid tak paham kondisi ini.
“Apa itu Rasyid?” tanya Alfin dan Jonan mengangguk. “Apa dia sekarang menjadi orang yang terlalu ikut campur urusan orang lain sampai mencari pengacara untuk kasus perceraian segala,” ucap Alfin membuat Jonan kaget. Pengacara itu tak menyangka jika bos besarnya tahu apa perbincangan mereka berdua.
Alfin berdecak melihat reaksi Jonan, “Kamu tak usah kaget gitu, kamu pikir aku tak tahu apa yang dilakukan anak pembangkang itu, masih untung aku membiarkan semuanya karena aku tahu dia jauh lebih sukses daripada yang aku lakukan di usianya,” ucap Alfin.
Jonan diam. Lebih tepatnya memilih diam karena dia sendiri tak tahu masalah ini secara detail.
Alfin melirik Lukman dan asistennya itu segera mendekat. “Apa tidak ada tanda-tanda mereka akan berpisah?” tanya Alfin dengan nada tak suka. Lukman berdehem, “Tuan Muda semakin gencar membantu Nona itu untuk lepas dari suaminya yang sekarang dan sepertinya Tuan Muda merencanakan sesuatu untuk bisa dekat dengan Nona itu,” ucap Lukman.
Alfin menatap Jonan, “Berikan apa yang dia mau, kita lihat sampai sejauh mana dia akan bertahan dengan wanita itu,” kata Alfin dan dia meninggalkan pengacaranya itu begitu saja.
***
Pria dengan pakaian golf lengkap masih memandang lurus ke depan seakan dia sedang memperkirakan sejauh apa bolanya akan melambung jika dia memukulnya saat ini. Tapi lama caddie dan asistennya menunggu di sana bola itu tak kunjung dia pukul.
“Apa stik golf itu perlu diganti Bos,” tanya asistennya dan pria itu menoleh tak suka tapi tak lama dia melempar stik itu begitu saja jika saja asistennya itu tidak sigap mungkin dia akan terkena lemparan stik itu.
“Mana mobil, aku rasa jalan-jalan lebih baik daripada bermain sendirian di sini,” ucap pria itu dan berlalu dari sana. Asistennya tak bisa membantah hanya mengikutinya dan menelpon supir untuk segera menyiapkan mobil.
Pria itu masuk mobil setelah asistennya membukakan pintu. Dia duduk santai dan melepas sarung golf begitu saja. Dia minum air mineral yang sudah tersedia di sana dan menghabiskan setengah botol dalam sekali teguk.
“Apa Asmara belum kembali dari kampung halamannya?” tanya pria itu dan asistennya menggeleng. “Haah, aku baru tahu di sini jadi sepi karena dia tak ada, padahal banyak orang berkeliaran di sini,” keluhnya absurd.
“Jika Bos ingin melihat Nona Asmara, saya bisa menyambungkannya dengan orang suruhan kita yang mengawasi dia di sana,” kata asistennya itu tapi pria itu hanya berdecak.
Hening.
“Mana infonya, katanya disambungkan,” ucapnya setelah berapa lama dia menunggu. Otomatis asistennya itu sedikit kelabakan dan menghubungi seseorang yang sudah dia tugaskan dan memberikan tablet kepada bosnya.
Pandangan mata itu asyik melihat seorang wanita dan anak kecil yang sedang bermain di sana. Tanpa dia sadari dia mengembangkan senyumnya dan ikut merasakan kebahagiaan itu.
“Urusan perceraiannya bagaimana?” tanya pria itu.
Asistennya menatap bosnya bingung membuat bosnya mulai kesal. “Merdian, aku bertanya kepadamu bukan sama patung,” keluhnya dan asistennnya itu langsung menjawab cepat, jika semua hal sudah diatur oleh Rasyid sehingga dia menemukan bukti dengan mudah.
“Jadi benar jika Rasyid yang melakukannya?” gumamnya. Ada sedikit rasa tak suka mendengarnya rasanya dia ingin kembali membuat gebrakan kepada saingannya itu. Tapi dia berpikir apa yang harus dia lakukan kali ini.
“Apa ini tidak berlebihan Bos, maaf maksud saya Anda seorang Marques Alexander yang disegani di kalangan dunia hitam, tapi kenapa Bos harus mengurus hal kecil ini. Apa kita tidak menonton dan menunggu saat yang tepat seperti yang Bos rencanakan,” usul asistennya Merdian.
Marques berpikir sejenak dan mengangguk paham. “Kamu benar, kita biarkan saja mereka menikmati kebahagiaan mereka, jika sudah tiba waktunya aku yang akan menghabisinya sendiri,” kekeh Marques.
Marques menghentikan tawanya.
“Kita ketemu Asmara sebelum balik ke Jepang besok, jadi siapkan semuanya,” perintah Marques membuat Merdian bingung.
“Jadi kita akan menemui Nona Asmara di kampung halamannya?” tanya Merdian mendadak bego. Marques diam tak menjawab hanya memberikan tatapan membunuh untuk asistennya itu.
“Baik Bos,” sahutnya sambil menelan ludah.
Setelah Merdian menggali banyak informasi, akhirnya mereka tiba di Surabaya dan bersiap untuk bertemu Asmara. Merdian menyampaikan jika Asmara sudah kembali dari penyelidikan tapi dia masih menghabiskan waktu di rumah orang tuanya.
“Benar-benar tak bisa dipercaya, dia hanya dari keluarga biasa saja, tapi bisa memiliki banyak hal luar biasa. Salut,” gumam Marques yang masih didengar Merdian.
Dia melihat Asmara keluar bersama anaknya dan menaiki mobil mereka. Marques memberi kode untuk mengikuti kemana mereka pergi.
Ketika dia mulai melihat situasi yang sedikit kondusif, Marques memutuskan turun dan ingin menghampiri Asmara tapi langkahnya terhenti karena dia melihat sosok yang dia kenali.
Marques hanya bisa menghela napas karena pertemuannya tertunda, tapi dia melihat meja dekat mereka duduk ada yang kosong jadi dia dan Merdian duduk di sana sambil mengawasi tindakan Andi.
Marques hanya berdecih mendengar semua gombalan receh yang Andi keluarkan. ‘Pantas saja dia tak berhasil mendekati Asmara, jurus ala ABG dipakai, mana mempan,’ batin Marques kesal.
Marques yang berdiri hendak mengganggu keduanya, harus mengunci pandangannya pada seseorang yang ingin dia hancurkan. Merdian melihat tatapan amarah bosnya membuatnya mengikuti arah pandang itu dan sadar siapa yang dilihat bosnya kali ini.
Rasyid yang melihat dengan jelas Andi mencekal tangan Asmara merasa kesal dan menahan diri karena masih ada Asmara terlebih lagi dia membawa anaknya di sana. Rasyid yang masih berdiri di dekat pintu restoran itu hanya bisa memandang Asmara lekat melalui kacamata hitamnya.
“Maaf Pak,” ucap Asmara pelan karena tak sengaja menyenggol bahu Rasyid. Lebih tepatnya Rasyid yang memang sengaja sedikit menghalangi jalan Asmara agar dia melihatnya tapi sayangnya wanita itu tak menyadari siapa yang dia tabrak.
Dia hanya bisa menatap pilu kepergian Asmara tanpa menyadari kehadirannya membuat denyut nyeri di dadanya. Edgar menepuk pundak Rasyid dan mengarahkan pandangaan kepada seseorang yang menyadari kehadirannya.
“Kenapa kamu masih ada di dekat Asmara, apa kamu kira apa yang aku katakan itu hanya bohong atau tipuan belaka?” ketus Andi saat melihat Rasyid ada di sana.
Keduanya tak menyadari ada sepasang mata lain yang melihat bahagia pertengkaran itu. “Apa mereka sedang memperebutkan orang yang sama Mer?” tanya Marques tapi nadanya sedikit meledek.
“Saya rasa begitu Bos,” kata Merdian santai melihat dua lelaki itu sedikit adu urat.
“Apa kamu sudah mengatakan kepada bosmu si Marques sialan kalo aku ga bakalan mundur hanya karena dia mengancam kehidupan Asmara,” Rasyid mengingatkan ucapannya kala itu kepada Andi.
Marques yang medenngar namanya disebut merasa tertarik dan sedikit mendekat untuk mendengar lebih jauh apa yang mereka bicarakan.
“Tanpa aku mengatakan kepadanya jika kamu terus melakukan hal ini, dia akan tahu dengan sendirinya, jangan karena dia diam seperti sekarang dia menyerah atau mundur, tapi kamu harus lebih waspada karena dia bisa merencanakan apapun yang mengancam kehidupan Asmara,” kata Andi.
“Masalahnya dimana kalo aku mengancam kehidupan Asmara,” ucap Marques yang membuat fokus mereka beralih ke samping.
Andi yang melihat sosok di sampingnya langsung diam tak berani berkomentar lagi. Sedangkan Rasyid memicingkan matanya curiga sampai Edgar membisikkan kalimat jika dia adalah Marques membuatnya kaget tapi tak lama dia tersenyum puas.
“Akhirnya aku bisa melihat wajah lucknut mu itu,” kekeh Rasyid tak gentar.
Marques menatapnya sengit seakan siap menguliti Rasyid saat itu juga. “Apa selama ini kita belum pernah bertemu Tuan Ar Madin, atau Rasyid Ar Madin lelaki tak tahu diri dan tak tahu malu,” balasnya tak kalah sengit.
“Ada urusan apa kau ada di sini?” tanya Rasyid tak suka.
“Tentu saja aku ingin bertemu dengan Asmara, tapi sayangnya aku terlambat malah melihat kalian berdua berkelahi seperti pengecut,” sindir Marques melirik Andi dan pria itu hanya bisa tertunduk.
Rasyid mengepalkan tangannya tak suka. “Siapa yang kau bilang pengecut, Vangke. Anak buahmu ini yang ga beres, ga bisa menyampaikan pesan dengan benar,” umpat Rasyid kesal.
“Ahh ya, kau benar, aku kira dia anak buahku yang setia padaku, tapi ternyata dia bisa jadi orang egois setelah bertemu Asmara,” kata Marques menggantung.
Marques menghela napas, “Itu sebabnya aku ingin menghancurkan Asmara secara perlahan untuk melihat siapa yang akan menolongnya,” kekehnya membuat dua pria itu menatap nyalang kepadanya.
“Oooww, kalian ini kenapa menatapku seperti itu, aku jadi takut,” ucap Marques dengan drama yang tak penting. Dia menormalkan ekspresinya dan melangkah lebih dekat di hadapan keduanya.
“Apa kau ingin memukulku?” desis Marques di hadapan Andi tapi pria itu hanya diam.
“Apa kamu juga ingin membunuhku se-ka-rang?” desisnya setelah menggeser tubuhnya condong kepada Rasyid. Rasyid menatap tajam seakan jawabannya adalah iya.
Marques memundurkan tubuhnya dan tertawa mengejek. “Kenapa sekarang kalian diam seperti patung. Lakukan apa yang kalian ingin lakukan kepadaku. Ayo,” tantang Marques kepada keduanya yang masih diam tapi Marques tahu ada amarah di sana.
“Bukankah bagus jika aku mati sekarang maka tidak ada yang mengganggu Asmara kalian lagi,” hasut Marques. Rasyid terpengaruh dengan hal itu dan dia melangkahkan kakinya tapi Edgar dan Andi menghalanginya. Pria itu meronta karena dia sudah tersulut emosi.
"Lepas, lepaskan aku. Aku akan menghabisinya sekarang juga," ucap Rasyid penuh emosi. Andi menahan pria itu dari depan sedangkan Edgar memegang lengannya agar tidak lepas kendali. "Ini yang dia mau," seru Andi tapi Rasyid tak peduli dan mendorong Andi.
Marques tertawa melihat emosi Rasyid dan menatap pria itu dengan tatapan puas. “Kalo aku mati sekarang, aku juga akan membawa Asmara mati bersamaku.”
*******