CH.55 Sentimentil

1880 Kata
Rasyid dan Edgar saling pandang mendengar ucapan Sinta. Rasyid yang tak tahan dengan apa yang dia dengar langsung bertanya. “Jangan sembarangan bicara, anak siapa yang kamu maksud?” tanya Rasyid pura-pura kesal. “Anakku sama Bosmu lah,” balas Sinta. “Kalian pikir anak lelaki itu anakku sama Dev, naif. Itu anak Andi dan aku, kecelakaan sih sebenarnya, tapi gapapa lah toh pada akhirnya kita punya misi sama,” kata Sinta. “Bravo, kalian memang pasangan luar biasa,” puji Rasyid yang membuat Sinta curiga. “Kalian ini siapa –“ pertanyaan Sinta terpotong karena Rasyid langsung menutup mata Sinta dengan uang. “Dua ratus juta cash jika rahasia itu kalian bawa mati,” kata Rasyid membuat Sinta mengangguk setuju. “Deal,” kata Sinta. “Ambil di pengadilan Dev dan Asmara,” kata Rasyid. Dia dan Edgar pergi dari sana dan meninggalkan Sinta yang kegirangan dapat banyak hadiah. “Apa itu tadi tidak berlebihan Bos, kenapa kita harus mengeluarkan banyak uang untuk orang seperti dia,” Edgar sedikit tak suka. “Kamu menghitung berapa total yang aku keluarkan untuk bisa dapetin Asmara hari ini aja?” tanya Rasyid dengan tatapan mengejek kepada Edgar. Pengawalnya itu menghitung sekilas, “Mungkin 700 atau 800 juta Bos,” kata Edgar. Rasyid tertawa, “Ingat baik-baik, duit itu akan kembali setara atau lebih saat Asmara sudah jadi istriku. Mau taruhan kalo ga percaya?” tantang Rasyid tapi Edgar menggeleng. Rasyid tertawa dan menepuk pundak Edgar santai. “Bahkan 50 persen yang Ar Madin miliki tak akan sebanding jika memang Asmara sama seperti yang kamu katakan. Dia akan lebih banyak menghasilkan uang daripada menghabiskan uang,” kata Rasyid. “Insting pengusaha tak pernah salah,” sombong Rasyid dan Edgar tersenyum paham. *** Gelas wine bergoyang pelan dengan pantulan sinar lampu kota mengenainya. Pria bertubuh kekar dan tampan itu memejamkan matanya dan duduk tenang di kursi tinggi berwarna hitam yang menutupi punggungnya sekaligus menunjukkan seberapa besar kekuasaannya. “Kenapa malam ini terasa sepi?” tanya pria itu membuat asistennya menelan ludah pahit. “Beberapa waktu lalu, anak buah kita melapor jika Andi dan Rasyid sempat bertemu dan mereka terlibat perbincangan serius,” lapor asistennya. “Good, jadi apa yang dia bicarakan?” tanya bosnya yang tak lain Marques. Merdian berdehem sesaat, “Dia mengatakan bagaimana Asmara akan menjadi kelemahan bagi Rasyid dan dia meminta Rasyid untuk menjauhi Asmara,” kata Merdian. Marques membuka matanya dan memutar kursinya, “Jadi apa keputusan Rasyid?” tanya Marques penasaran. Merdian menggeleng, “Belum terlalu  nampak Bos, karena dia tak menunjukkan tanda-tanda pergi dari Indonesia untuk menjauh atau menarik anak buahnya,” kata Merdian. “Kenapa permainannya jadi membosankan begini, apa perlu kita eksekusi sekarang?” tanya Marques tapi bagi Merdian pertanyaan itu seperti ancaman. “Rasyid juga mendatangi wanita bayaran itu dan menawarkan sejumlah uang agar perceraian Asmara terjadi kurang dari enam bulan,” lapor Merdian. Marques berdiri semakin tertarik dengan akhir cerita ini. “Jadi dia sudah tak sabar untuk segera memiliki Asmara,” kekeh Marques. Merdian menatap bosnya tak enak membuat Marques curiga. “Masalahnya dimana?” tanya Marques. “Dia mengaku sebagai orang suruhan Andi dan dia sepertinya akan datang sebagai pahlawan,” kata Merdian cepat. Marques mendadak tak suka mendengarnya, “Pahlawan? Terdengar menarik, simpan semua bukti itu terutama perjanjiannya dengan wanita  itu. Mungkin akan berguna suatu saat nanti,” perintah Marques. Pria itu menyesap wine yang dipegangnya dan memikirkan cara untuk membuat shock therapy kembali untuk Rasyid. “Kirimkan beberapa hadiah kecil untuk Asmara sampai Rasyid kesal,” perintah Marques kepada Merdian dan segera asistennya itu mengerjakannya. Edgar mulai curiga dengan beberapa kurir yang sering mengantar barang ke rumah Asmara. Karena penasaran dia memutuskan menunggu kurir itu  dan meminta barang  yang akan diberikan untuk Asmara. Kurir berkeras tak ingin memberikan barang itu kepada Edgar membuat keduanya bertengkar tapi Edgar berhasil merebutnya. Dia langsung membuka barang itu dan isinya baju wanita, tak ada hal yang mencurigakan, di dalamnya ada kata-kata puitis yang menyebalkan menurut Edgar. Dia membawa barang itu dan melapor kepada Rasyid yang saat ini sedang ada di Surabaya untuk mengurus bisnis dengan Erick. “Ga tahu diri, siapa yang berani ngirim Asmara hadiah, vrengsek, cari mati itu orang. Beresin Andi kalo gitu!” perintah Rasyid dengan kekesalan maksimal. “Saya rasa bukan Andi Bos yang mengirimnya karena transaksi toko menyatakan itu transaksi dari luar negeri dan tidak bisa dilacak,” kata Edgar. Rasyid berpikir siapa yang berani melakukannya, “Tunggu dulu, apa menurutmu itu Marques?” tanya Rasyid dan Edgar langsung kaget. Edgar secepat kilat membongkar paket itu dengan cermat tapi dia tak menemukan hal berbahaya dalam paket itu. “Mungkin saja Bos, tapi tidak ada hal berbahaya yang ditemukan dalam paket ini Bos,” kata Edgar. Tak lama dia mendengar suara berisik dari kamera pengawasnya dan dia melihat banyak teman kantor Asmara yang datang ke rumah. Rasyid yang tak sengaja mendengar suara berisik pun bertanya. “Ada apa Ed?” tanya  Rasyid penasaran. “Entahlah, tapi mendadak rumah Nona Asmara kedatangan banyak tamu di siang hari ini dan dia nampak sakit,” kata Edgar pelan dan melihat layar dengan seksama. “Siapa yang sakit?” tanya Rasyid cemas dan panik. Edgar masih diam mendengarkan pembicaraan tema-temannya membuat Rasyid kesal. “Edgar jawab!” bentak Rasyid kesal membuat fokus Edgar buyar dan sadar jika dia masih on call dengan Rasyid. “Nona Asmara keracunan, tapi belum tahu apa yang menyebabkan dia keracunan,” kata Edgar pelan. “Saya akan periksa keseluruhan Bos, nanti saya akan hubungi lagi,” kata Edgar cepat dan mengakhiri panggilannya. Rasyid hanya bisa menggerutu kesal dan mengumpat mendengar laporan Edgar. “Ada apa?” Dika bertanya karena sedari tadi dia nampak bingung dengan tingkah Rasyid. Pria itu menceritakan apa yang dia tahu dari Edgar. Dika berpikir sejenak, “Apa selama ini Asmara memegang paket yang dikirimkan oleh Marques?” tanya Dika tiba-tiba membuat Rasyid makin kesal. “Kenapa malah nanya itu?” keluh Rasyid. Dika berdecak, “Bisa jadi racun itu didapat dari sentuhannya dengan barang itu, kan katanya intensitasnya sering dan racun itu terkontaminasi dalam makanan,” kata Dika. Deg. Rasyid berniat menghubungi Edgar untuk memberitahukan masalah itu tapi ponselnya lebih dulu berdering dan tak menunjukkan id penelpon. “Aku kira reaksinya itu jangka panjang ternyata cepat juga ya,” ucap seorang pria di sebrang. “Apa maksudmu?” tanya Rasyid kesal. Dika menatap Rasyid membuat pria itu mengganti jadi mode pengeras suara. “Ohh, apakah kamu belum tahu kalo Asmara baru saja dilarikan di rumah sakit karena keracunan makanan. Astaga, kamu memiliki anak buah yang lemah karena lambat melapor,” kekeh pria itu dan kemudian disadari Rasyid. “Kurang ajar kau Marques!” geram Rasyid. “Aku merasa iba dengan Asmara, dia cantik, menarik, dan pintar. Tipe wanita idamanku,” provokasi Marques. Rasyid yang mendengarnya mengepalkan tangan sampai memutih. “Tapi sayangnya tingkat waspadanya rendah, jadi aku senang membuatnya jadi kelinci percobaanku,” kekeh Marques membuat Rasyid berteriak marah. “Apa maumu Vrengsek!” teriak Rasyid. “Ada masanya kamu akan tahu bagaimana berkorban dan di saat itulah aku akan datang untuk mengulitimu hidup-hidup Rasyid Ar Madin,” kekeh Marques menutup panggilannya. Brrraaakkk… Dika menghela napas, dia kira meja Dubai yang rapuh ternyata meja di Indonesia juga rapuh dan kali ini dia melihat kaki meja itu patah. Rasyid menghubungi Edgar dan menceritakan semuanya. Pengawalnya itu paham dan langsung menghubungi temannya untuk mencari penawar dan jenis racun itu. Dia beruntung karena ada satu paket di rumahnya yang bisa diselidiki lebih lanjut. “Perketat penjagaan, minta bantuan sama pengawal safari juga untuk antisipasi dan usahakan dia tidak menerima apapun kecuali dari orang kita sendiri,”  perintah Rasyid dan Edgar mematuhinya. Malam ini Edgar memutuskan untuk berjaga di depan rumah Asmara yang sebelumnya dia serahkan kepada anak buahnya. Dia menyandarkan tubuhnya santai dan enak minum kopi sebagai teman begadangnya. Dari spion dia melihat ada mobil yang berhenti di dekatnya tapi dia hanya mengawasi. Sampai seseorang mengetuk jendelanya membuatnya kaget. Dia seperti familiar tapi kegelapan malam membuat pandangannya tak jelas. Dia sudah memasukkan piistol kecil di pinggang belakang dan membuka kaca jendela itu. “Tuan Muda Reno,” lirih Edgar, pria di hadapannya tak kalah kaget dengan sosok Edgar. Edgar keluar dari mobil dan menunduk hormat kepada Reno. “Apa kabar Tuan Muda Reno? Kenapa Anda bisa ada di sini?” tanya Edgar tak mengerti. Reno berdecak tak kalah kaget, “Jadi orang yang dimaksud Loka ngawasin Asmara itu elu,” kekeh Reno berjalan ke kap mobil dan melirik Edgar untuk duduk di sampingnya. “Aku dengar suaminya selingkuh, beneran?” tanya Reno dan Edgar mengangguk tanpa bantahan. Reno menghela napas dan menyalakan rokok dan menyodorkannya kepada Edgar. “Tapi Nona Asmara memutuskan untuk memaafkan dan keduanya sempat kembali bersama,” kata Edgar membuat Reno bingung. “Sempat kembali bersama maksudnya?” tanya Reno memperjelas. Edgar menjelaskan apa yang sudah Asmara alami, dia tak menutupi kejadian yang menimpanya, karena dia tahu siapa Reno dan jika Reno sudah peduli dia akan mencurahkan semua perhatiannya kepada orang tersebut. Reno memandang Edgar sedikit curiga bukan karena cerita yang diucapkan Edgar tapi cara Edgar bertindak untuk Asmara membuat satu kecurigaan pada dirinya. “Apa dia membuatmu tertarik sampai kamu bersinergi atau tak mau melawan kuasa Bosmu yang mala situ?” Reno memperjelas perkataannya membuat Edgar terbatuk tiba-tiba. Reno berdecak dan makin yakin jika Edgar terkena gelombang cinta sama seperti dirinya. “Lupakan soal Rasyid itu bosmu atau sahabatku. Katakan apa yang sebenarnya kamu rasakan dan seharusnya kita harus gimana ngadepin semua ini,” kata Reno. Edgar menatap Reno lama tapi kemudian menggeleng. “Sebesar apapun yang saya miliki, itu bukan milik saya Tuan Muda, lebih baik seperti ini, sudah cukup. Setidaknya saya tahu orang yang nantinya saya jaga itu memang dicintai oleh Bos,” ucap Edgar sok bijak. Reno menepuk punggung Edgar. “Tapi Bosmu ga menyadari kalo dia mencintai Asmara. Kayanya perlu dikasih shock therapy biar sadar,” kata Reno mengangkat alisnya membuat Edgar curiga. “Maksudnya gimana?” tanya Edgar. “Serahkan padaku, kamu cukup duduk nyantai aja di sini, pastikan wanita yang kamu sayangi itu baik-baik saja,” kata Reno dan keduanya bicara mengenai banyak hal, satu jam kemudian Reno pamit dan meninggalkan Edgar sendiri. Rasyid melihat nama Reno muncul di layar ponselnya. “Ngapain kepo,” balas Rasyid setelah mendengar ucapan Reno. “Reuni? Sejak kapan kamu satu almamater sama dia, ga usah ngarang,” kata Rasyid mendadak kesal. “Kapan?” tanya Rasyid kemudian. “Awas lu macem-macem sok ikutan ngejar Asmara, aku laporin ke Gladis tahu rasa elu,” ancam Rasyid tapi dia malah mendengar tawa Reno dan menutup telponnya. Rasyid menelpon Edgar dan menanyakan perihal data almamater Reno dan Asmara. Edgar minta waktu untuk cek dan nanti akan mengabarinya kembali. Dika yang melihat tingkah Rasyid makin aneh, mendadak kesal. “Makanya kan aku bilang sama kamu, kalo niat kejar napa, jangan sembunyi-sembunyi kaya gini. Nyesek juga kan lu akhirnya Reno ikutan ngambil,” omel Dika. “Tenang, Rasyid. Tenang, tenangkan dirimu,” Rasyid mensugesti dirinya sendiri. “Tapi aku yakin Reno ga bakal kaya gitu, dia ngoomporin doank ini, aseli,” kata Rasyid sok yakin. Dika melirik Rasyid tajam. “Kalo cuma ngomporin kenapa elu jadi terpengaruh, tingkahmu kaya kebakaran cacing dan jenggot kepanasan seperti sekarang Bos Madin,” cela Dika menohok. Rasyid bungkam. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN