Pertama Bertemu

1042 Kata
Alisya duduk di hadapan seluruh keluarga Erlangga yang terdiri dari tujuh anggota. Sepasang suami istri, dan lima anak mereka. Anak pertama dan kedua adalah kembar non-identik bernama Rama dan Radit. Sedangkan sisanya, kembar tiga. Dua laki-laki, dan satu perempuan. Alvian, Alvino, dan Alvina. Tangan Alisya terlipat di bawah d**a. Sebelah kakinya bertumpu pada kaki yang lain. Matanya menatap tajam dan dingin pada orang-orang di depannya. Di samping sofa tempat duduknya, ada Reza yang menemani. "Jadi, bagaimana? Aku hanya minta 40 miliar saja. Kenapa kalian keberatan? Atau mungkin kalian memang tak mampu memberikannya?" Alisya tersenyum miring menatap keluarga Erlangga yang terlihat geram. Beda dengan sang kepala keluarga, yang pasrah atas segala cercaan Alisya. "Kau memang berniat memeras harta kami!" Sarah, yang berperan sebagai seorang ibu dalam keluarga Erlangga berteriak marah. Alisya tertawa sumbang mendengarnya. "Memeras? Aku hanya menghitung dua miliar untuk satu tahun. Usiaku sekarang 19 tahun, itu berarti aku harus mendapatkan 38 miliar. Sisanya, adalah modal dan kerja keras ibuku." Alisya menjabarkan perhitungannya. Sarah terlihat semakin geram mendengar itu. "Ayolah. Bukannya Erlangga itu terkenal kaya raya? Aku yakin bahkan kalian mengeluarkan lebih dari dua miliar untuk satu anak kalian dalam setahun. Jadi, harusnya ini tak jadi masalah," lanjut Alisya. Dia masih tenang, dengan sorot mata dingin. Tak ada gugup dan takut, walau dia seorang diri melawan satu keluarga. "Kau pikir aku akan memberikannya? Tidak! Kau tak pantas mendapatkan uang sepeser pun dari harta keluarga ini!" bentak Sarah. Alisya menyeringai tipis mendengar itu. "Baiklah. Kalian memang tak bisa diajak berdamai secara kekeluargaan. Jadi, kita akan bertemu di pengadilan." Setelah mengatakan itu, Alisya berdiri dan berjalan keluar dari rumah tersebut. Meninggalkan kemarahan dan rasa cemas dalam keluarga Erlangga. Hendra Erlangga, sebagai kepala keluarga merasa pusing sendiri. Dia tertekan dari berbagai arah. Dan kini, dia tahu kehidupan makmurnya akan segera hancur lebur. Karena dia melihat, tekad kuat dalam diri Alisya yang ingin menghancurkan dia beserta anak istrinya. Hendra tak bisa menyalahkan Alisya sepenuhnya. Semua kekacauan ini terjadi akibat ulahnya yang serakah dan tak bisa bersyukur dulu. Hingga akhirnya menumbuhkan rantai kebencian dan dendam dalam diri Alisya. Alisya, sebenarnya adalah anak kandungnya. Yang sah secara agama maupun hukum. Namun kebodohannya, membuatnya tak mengetahui kelahiran Alisya, dan juga tak tahu bagaimana kehidupannya selama ini. Hingga saat bertemu, Alisya langsung menuntut haknya sebagai anak yang tak pernah diberi nafkah. Dan tuntutan dari Alisya susah untuk Hendra kabulkan karena tekanan dari anak istrinya yang melarang. Hendra akui dia pria yang lemah. Dia seorang pengecut. Dia seorang pecundang. Persis seperti apa yang selalu Alisya katakan. Maka pantas, jika Alisya enggan mengakuinya. Dia datang hanya untuk menuntut haknya. *** Malam hari, Alisya pergi ke sebuah kelab malam. Dia memaksa Reza untuk pergi meninggalkannya sendirian. Akhirnya, mau tak mau Reza pergi. Dengan catatan, dia meminta bartender untuk memastikan Alisya baik-baik saja. Alkohol, sebenarnya bukan teman baik Alisya. Pusing dan mual selama dua hari akan terus Alisya dapatkan jika dia mengkonsumsi alkohol. Namun, rasa melayang yang dihasilkan membuat Alisya selalu ingin meminumnya saat kepalanya sangat pusing. Menyerang keluarga Erlangga, butuh banyak pengorbanan dan kekuatan. Terutama perasaan dan hati. Banyak luka yang Alisya dapatkan dari keluarga Erlangga. Yang akhirnya membuat Alisya bertekad kuat menghancurkan keluarga tersebut. Namun, tekadnya tersebut tak bisa dilakukan secara cepat. Apalagi, sekarang Alisya belum mendapatkan banyak bukti untuk menuntut dan menjatuhkan mereka semua. Dia butuh waktu. Alisya meneguk minumannya. Baru setengah gelas, dan Alisya masih bisa mempertahankan kesadaran. Menatap meja bar dengan tatapan kosong. Pertanyaan-pertanyaan dari bartender tidak Alisya jawab. Dia sibuk dengan pikirannya sendiri. "Alisya, jangan terlalu banyak minum. Kamu bisa sakit berhari-hari jika terlalu banyak minum alkohol," tegur sang bartender. Namun Alisya tak menggubrisnya. Tiba-tiba seorang pria duduk di samping Alisya. Bartender tadi langsung menjauhi Alisya dan melayani pria itu. Alisya menengok sesaat, dan tatapan matanya bertemu dengan pria itu. Kemudian Alisya kembali fokus pada minumannya. Menit demi menit terlewat, Alisya sudah menghabiskan tiga gelas alkohol. Bartender menolak memberinya lagi, namun Alisya malah mengumpat padanya. Akhirnya, mau tak mau bartender tersebut memberikan satu gelas lagi untuk Alisya. Seperti perkiraan, kepala Alisya langsung terjatuh di atas meja bar setelah meneguk gelas keempat. Dia hampir kehilangan kesadaran dengan bibir meracau pelan. "Nah kan. Dasar keras kepala," gerutu bartender tersebut. Dia pun merogoh saku celana, mencari ponselnya untuk menghubungi Reza. Namun, ponselnya tak ada. Dia mencari-cari disekitar rak, dan tak menemukannya. "Sial. Dimana ponselku?" Andra, pria yang duduk di samping Alisya memperhatikan bartender tersebut. Kemudian dia melirik Alisya, yang sudah tak sadarkan diri. Berani sekali seorang perempuan datang ke kelab malam sendirian hingga tak sadarkan diri seperti itu. "Joni, kau mengenal perempuan ini?" Andra bertanya pada bartender bernama Joni tersebut. "Iya. Dia adalah majikan temanku." Joni menjawab. Dia terus berusaha mencari ponselnya, namun tidak ditemukan. Sepertinya ketinggalan, atau dia memang lupa menaruhnya di mana. "Mencari apa?" Andra bertanya pada Joni yang terlihat pusing. "Ponselku. Aku harus menghubungi Reza agar dia datang ke sini menjemput dia," jawab Joni seraya menunjuk Alisya yang sudah tak sadar. "Pakai saja ponselku kalau begitu." Andra mengeluarkan ponselnya. Namun, Joni malah berkacak pinggang. "Aku tak bisa menghafal setiap nomor yang ada di ponselku," balas Joni. Andra tertawa pelan mendengar itu. Benar juga. "Kalau begitu, kau bisa memakai ponsel miliknya." Andra berkata seraya menatap Alisya. Joni seperti diberi ide. Dia pun meraih tas Alisya, dan berusaha mencari ponsel milik Alisya. Sayang ponsel Alisya ternyata mati kehabisan baterai. "Gak guna," gerutu Joni dan kembali merapikan tas Alisya. Tiba-tiba, tubuh Alisya bergerak pelan dan hampir terjatuh ke samping. Andra yang duduk di sampingnya spontan menangkap tubuh Alisya, menahan perempuan tersebut agar tak terjatuh ke lantai. Kini, tubuh Alisya bersandar pada d**a Andra. Hingga Andra bisa memperhatikan wajah cantiknya. Tiba-tiba sebuah ide terlintas di benak Andra. Dia pun menatap Joni, mengutarakan idenya. "Jon, biar aku yang membawa perempuan ini pulang. Kamu bisa beritahu asistennya dimana tempat tinggalku. Biar perempuan ini di jemput saja ke apartemenku," ucap Andra. Mata Joni memicing tajam mendengar itu. "Kau yakin?" "Tentu. Aku janji tak akan macam-macam. Aku hanya akan membawanya pulang saja," jawab Andra. Joni diam sesaat dan berpikir. Selama ini dia mengenal Andra sebagai pria yang baik pada wanita. Jadi, tak salah mungkin untuk percaya. "Baiklah. Kau bawa saja dia pulang. Biar nanti aku yang memberi tahu Reza," balas Joni. Andra mengangguk dan langsung menggendong Alisya. Membawanya pergi dari sana. Tak lupa, dengan tasnya juga.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN