Atmosfer kamar ini asing namun tenang, dan sudah lama tidak Sari rasakan. Di rumah, tepatnya di kamarnya yang luas beraroma terapi dan dihiasi kanopi tinggi, Sari berbaring di ranjang. Mewah nan elegan adalah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana kamar Sari. Dia sudah lama meninggalkan sensasi ini sejak menjadi istri Fikri.
"Ah aku harus memasak!" Sari mendadak tersentak dan terbangun. Kebiasaan ia lakukan saat menjadi istri Fikri ternyata masih terpatri. Sari bahkan melempar selimut agar ia bisa segera merangkak keluar dari ranjang. Namun gerakannya terhenti kala melihat jika ia saat ini ada di kamarnya sendiri.
"Ah aku lupa kalau sudah bercerai hehehe..." Kesedihan Sari yang ia tahan sejak Fikri membawa Selvi meledak. Ia menangis sejadi-jadinya. Air matanya keluar deras, yang mana menyiratkan betapa sakit hati Sari.
"Hiks tega kamu Mas. Padahal aku menahan semua penghinaan ibumu demi kamu! Aku bertahan hidup sederhana demi kamu! tapi kamu justru menikah lagi."
"Laki-laki kejam!"
Ingatan itu menimbulkan rasa jijik dan malu. Rasanya sangat tidak tertahankan. Harga dirinya seakan diinjak.
Gadis berusia dua puluh empat tahun itu memukul-mukul bantal sambil meratap. Dia benar-benar menumpahkan apa yang ia tahan hingga menit- menit berlalu. Dan pagi menyongsong bersama sinar matahari yang menembus melalui celah korden kamarnya.
"Nona, sarapan sudah siap. Anda ingin mandi atau sarapan lebih dulu?" tanya Imah. Dia wanita berumur yang mengurusi rumahnya saat Sari menjadi istri Fikri.
Sari mengangkat wajahnya. Rasa sesak dan marah yang ia rasakan sedikit terobati setelah menangis.
"Tidak Bi. Aku hanya ingin tiduran lebih lama," jawab Sari yang suaranya masih serak.
Bi Imah tidak memaksa Sari dan masuk perlahan ke arah ranjang yang kondisinya seperti dianiaya Sari. Wanita itu mengusap sayang rambut Sari, menghantarkan dukungan pada gadis itu. Ia memang yang merawat Sari sejak orang tuanya pindah ke luar negeri. Dan Bi Imah sudah mengenal watak Sari. Ia tahu jika gadis ini sedih, ia pasti tiduran di kamar.
"Nak, Bibi tahu kamu sedih. Tapi kegagalan berumah tangga bukan akhir segalanya. Kamu hanya melewati satu fase dalam hidupmu dan nenek yakin kalau kebahagiaan akan datang kemudian."
Kata-kata yang sederhana. Namun sangat bearti bagi Sari. "Terima kasih Bi."
"Baiklah, Bibi akan keluar dulu biar kamu tenang. Kurasa kita perlu mengundang terapis spa kamu biar kamu rileks."
Sari melirik Bi Imah. Ide darinya terdengar menyenangkan. Ia pun mengangguk. "Bibi memang yang paling mengerti aku."
Bi Imah meninggalkan Sari untuk melanjutkan pekerjaannya.
Keheningan kembali merangkak, menyerang hati Sari yang masih belum sepenuhnya tenang. Suasana kamar yang remang pun mendukung rasa gundah untuk menguasai jiwa gadis itu. Rasa gundah yang lahir dari hinaan mertuanya yang menyakitkan.
Mandul!
"Aku tidak mandul!" geram Sari.
Ia tidak ingin lagi mengingat hinaan dari wanita tua itu. Tapi ucapan mulut pedasnya tidak pernah lepas darinya. Menyulut emosi untuk menguasai perasaannya hingga ia menelpon seseorang yang sudah lama tidak ia hubungi.
"Halo dear?" jawab seseorang yang Sari hubungi. "Sudah lama kamu tidak ikut arisan. Kami kangen tahu..."
"Jesika, aku punya permintaan untukmu. Kuharap kamu mencarikan keinginanku."
"Hei kamu ini. Basa basi dulu lah. Padahal sudah lama nggak hubungi aku."
"Please, ini penting."
"Oh, itu gampang. Ada uang, segalanya akan lancar hohoho..."
"Aku ingin kamu mencarikan laki-laki yang mau mendonorkan benihnya untukku. Ingat, laki-laki itu harus sehat, dan berkualitas, berotak cemerlang. "
" What! Sari, kamu sadar dengan apa uang baru kamu katakan?!"
" Sangat, sangat sadar. Aku hanya butuh benihnya. Setelah itu selesai. Dan dia harus tanda tangan kalau tidak menuntut hak atas anak yang aku kandung."
Jesika tidak menjawab untuk beberapa menit. Sikap diam Jesika membuat Sari berdebar. Hanya gadis itu yang memiliki koneksi luas. Bahkan hal yang sulit sekalipun bisa ia atasi.
" Jes? kamu masih di situ?" tanya Sari yang mulai kesal. "Jangan diemin aku donk."
" Ya? oh maafkan aku. Aku benar-benar terkejut karena kamu meminta hal itu. Jiwaku sampai melalang buana ke galaksi. Hihihi."
Sari menghela nafas pelan.
'Jangan kan kamu, aku juga tidak percaya kalau akan membeli benih laki-laki,' batin Sari.
" Jadi bagaimana?"
"Aku akan menghubungi mu besok. Sebab kriteria laki-laki yang kamu minta agak sulit di dapatkan. Jadi aku harus mencari lebih dulu. "
" Terima kasih Jes."
Sari pun menutup sambungan telepon. Ia sedikit meremas ponselnya. Niatnya untuk tidak menikah lagi benar-benar kuat. Akan tetapi Sari begitu menginginkan anak.
" Aku akan melalukan apapun asal memiliki anak."
Jika ia memiliki anak, Sari yakin tidak akan lagi mengingat sakit hati akibat hinaan Surti. Anak akan menghapus semua trauma yang Surti torehkan atas hinaan nya selama ini.
***
Jika Sari gundah karena keinginannya memiliki anak, maka beda halnya dengan Fikri, Selvi juga Surti. Mereka bertiga cekcok tidak ada habisnya. Surti adalah orang yang paling marah. Dia tidak terima dijadikan pembantu Selvi yang ternyata mengaku- ngaku pemilik Cafe. Apalagi ia kehilangan tambang uang.
"Dasar penipu! ternyata yang miskin itu kamu. Rugi aku kehilangan menantu baik dan CEO gara - gara kamu! "
"Enak saja, aku ngak nipu Mas Fikri kok. Apa pernah aku bilang kalau Cafe itu milikku? Aku emang punya usaha nasi pecel sama kopi. Meski kecil tetep saja itu juga usaha!" Selvi jelas tidak mau kalah.
"Mulai sekarang kamu yang harus mengerjakan pekerjaan rumah. Kalau tidak, aku akan menceraikan mu!" ancam Fikri.
Barulah Selvi memucat. Dia tidak mau diceraikan Fikri. Apa kata orang kampung kalau ia bercerai setelah berkoar kalau punya suami manajer.
"Ya sudah, aku anggap ini tugasku jadi aku akan melakukan pekerjaan rumah," ujar Selvi.
Saat mereka sedang bertengkar, tiba-tiba ruangan menjadi gelap. Ternyata token listrik mati.
"Lho, kok listriknya mati?" ucap Fikri.
Surti pun teringat kalau biasanya Sari akan mengisi token rumah dua kali. "Sepertinya token sudah habis. Rumah ini kan pake AC jadi token cepet habis."
"Sel, beli token sana," perintah Fikri.
" Aku punya uang lima puluh ribu, itu karena kalian menyuruhku pulang cepat."
Fikri menggaruk kepalanya pusing. Padahal baru dua hari dia berpisah dengan Sari, sudah muncul kesulitan ekonomi.
" Ini, beli saja yang seratus ribu. Mulai sekarang jangan menyalakan AC. Kita bukan orang kaya!"
"Apa!? ibu nanti kepanasan donk Fikri. "
"Kalau ibu masih banyak protes nanti aku titipin ke panti jompo! Semua juga gara gara ibu yang kasar sama Sari! andai saja Ibu tidak kasar pasti Sari tidak akan mudah meminta cerai!" bentak Fikri.
Surti kembali terdiam. Selvi juga segera pergi ke toko untuk beli token.
Barulah pertengkaran mereka selesai. Fikri segera pergi ke kantor untuk bekerja. Siapa tahu ia akan bertemu dengan Sari. Dia akan kembali memohon padanya agar bisa rujuk.
Ternyata gosip sudah merebak, Fikri yang pernah menjadi suami Sari jelas dicemburui oleh karyawan laki-laki. Mereka seolah tidak terima dikalahkan Fikri, terutama yang memiliki jabatan. Mereka pun mengungkapkan rasa cemburu dengan berbagai cara.
Byur...
Tiba-tiba Fikri merasakan kepalanya basah. Ternyata ada yang sengaja menyiramnya dengan air comberan.
"Lho, di bawah ada orang ya? Maaf gue nggak liat lo!"
Tak berhenti di situ, lantai yang ia pel, juga diinjak-injak oleh seseorang. Dan orang itu melenggang begitu saja. Semua itu membuat Fikri harus mengelep lantai berkali-kali. Pekerjaan yang seharusnya tidak terlalu berat, menjadi melelahkan karena banyak karyawan yang membuang sampah seenaknya. Dan jika Pak Gunawan melihat sampah berserakan, maka pria itu selalu menegurnya.
'Kenapa ini terjadi padaku?' ratap Fikri. Jelas-jelas mereka sengaja melakukannya tapi tidak ada teguran. Semua orang di gedung ini seolah sepakat membuatnya bekerja sangat keras agar mengundurkan diri dari sini.
Tbc.