Bab 2

1086 Kata
Masih dua tahun lalu. Rindu belum juga mau keluar kamar walau sudah beberapa kali pintunya diketuk. Paman dan bibinya sudah lelah memanggilnya agar keluar untuk makan tapi Rindu bergeming. Kepergian orang tua memberi dampak yang sangat menekan mentalnya. Apalagi setelah mengetahui bahwa kepergian mereka adalah hasil perbuatan keji seseorang. Pintu kamar kembali diketuk namun Rindu hanya melirik kemudian kembali menutup tubuhnya dengan selimut. Ingin rasanya dia meneriaki orang yang terus-terusan membuat kebisingan itu. Sudah Rindu katakan sebelumnya, dia tidak ingin makan tapi kenapa orang-orang di luar begitu bebal. Bahasa apa yang harus dirinya gunakan agar mereka mengerti? Gadis itu beranjak karena ketukan itu semakin membuat kepalanya pusing. Kasar, dibukanya pintu. “Apa lagi ss ...?“ Rindu urung mengeluarkan tanduk begitu mendapati orang yang mengetuk pintu kamar. “Morgan,” serunya menubruk pria muda di hadapan. Rindu menangis sejadinya menumpahkan kesedihan yang terpaksa dia tahan karena tidak tahu pada siapa harus dirinya luapkan. Morgan, kekasih Rindu mengusap lembut surai kecoklatan gadis dalam pelukannya. “Nggak pa pa nangis yang kenceng biar lega. Tapi kalau udah puas, kamu harus semangat lagi. Hidup nggak akan berhenti dengan kepergian orang yang kita cintai.” Pria itu berucap panjang membuat Rindu mengangguk namun terus menumpahkan tangis pilu. Morgan baru sempat datang hari ini karena banyak urusan yang harus dirinya selesaikan. Bahkan di saat pemakaman orang tua Rindu, pria itu tidak hadir untuk sekadar memberikan penghormatan terakhir. “Udah puas?” tanya Morgan begitu tangis Rindu mulai berhenti. Hampir setengah jam bukan waktu singkat untuk menyangga tubuh Rindu yang padat berisi dalam pelukan. Gadis itu mengangguk. “Ya udah kita makan dulu. Om dan tante udah nunggu di bawah.” Rindu menurut kemudian menyeret langkah mengikuti sang kekasih yang berjalan lebih dulu sambil menggandeng tangannya seperti seorang ibu yang menggandeng anaknya saat sang anak tidak ingin berjalan. Rudi dan Laura, sang istri sudah menunggu di meja makan. Mereka tersenyum melihat keponakannya menurut membuntuti Morgan. Akhirnya keluar juga. “Makan dulu, Rindu,” ucap Laura sambil menyerahkan piring berisi nasi. Gadis itu mengangguk kemudian meraih piringnya untuk diisi lauk. Perutnya memang terasa lapar karena dua hari ini dia lebih banyak minum dan tidak ada makanan yang masuk perutnya. “Jam satu siang ini pak Willy rencana mau datang. Kamu sudah siap ketemu?” Rudi bertanya. Willy adalah pengacara pribadi yang dipercaya Dharma dan Niken untuk mengurus segala sesuatu tentang hak waris. Seperti sudah mendapat firasat ayah Rindu juga menulis surat wasiat yang dititipkan pada pengacaranya itu. “Rindu belum pingin ketemu siapa-siapa, Om.” Bahkan baru dua hari orang tuanya meninggal tapi sang paman sudah membahas tentang pemindahan kekayaan. Dia tahu perusahaan harus segera mendapat pemimpin agar tidak kehilangan arah. Namun rasanya masih terlalu dini untuk membahas hal itu saat tanah makam kedua orang tuanya bahkan belum kering. “Tapi perusahaan harus tetep jalan, Rindu,” sanggah Morgan. Dia adalah salah satu karyawan yang menduduki posisi manager di perusahaan ayah Rindu. Tentu dia tahu bagaimana kondisi perusahaan. Tidak mungkin perusahaan dibiarkan begitu saja dengan keadaan tak berpemimpin dalam waktu cukup lama. “Aku nggak tahu-menahu masalah perusahaan. Masalah itu biar dihandle sama Om Rudi aja.” Gadis itu memaksa tersenyum. Tentu saja Rindu akan belajar setelah ini agar dirinya juga bisa memantau jalannya perusahaan yang dengan gigih ayahnya besarkan. “Kalian nggak perlu khawatir masalah perusahaan karena Om sudah mengutus pak Rendra untuk memimpin sementara. Kita fokus dulu pada acara tahlilan di rumah ini.” Rudi menanggapi sambil mengulurkan air putih ke arah Rindu. Gadis itu sempat tersedak dan Rudi pikir Rindu tidak terlalu nyaman dengan pembahasan ini. “Nanti Om akan hubungi pak Willy untuk cancel pertemuan kita hari ini. Kita akan bahas kalau kamu sudah siap,” ucapnya mengundang anggukan sang keponakan. Dalam hal ini Rudi terlihat lebih bijak tentu saja karena dia adalah salah satu pria berpengaruh dalam perusahaan keluarga mereka. Rudi Praditya adalah adik kandung Dharma Praditya, ayah Rindu. Ayah mereka, Liam Praditya mewariskan dua buah perusahaan kecil pada mereka berdua. Keduanya sama-sama pekerja keras hingga perusahaan mereka berkembang pesat menjadi perusahaan besar yang cukup diperhitungkan dalam dunia bisnis tanah air. Morgan mengangguk mengerti namun sepertinya kurang setuju dengan pengambil alihan pemimpin tanpa meeting itu. Bagaimana pun perusahaan memiliki investor dan mereka berhak tahu. “Apa para investor menyetujui pengambil alihan kepemimpinan itu, Pak Rudi?” “Saya belum mengadakan meeting tapi rasanya mereka cukup bisa menerima karena kondisi darurat seperti ini. Setelah urusan di sini selesai kita akan adakan meeting untuk rencana lebih lanjut.” Penjelasan Rudi masuk akal dan bisa diterima logika pria muda itu. “Kamu nggak boleh berlarut dalam kesedihan, Rindu.” Rudi ingin keponakannya itu bangkit dan kembali bersemangat. Dia ingin mengajak Rindu untuk berlatih beberapa teknik bela diri untuk berjaga-jaga karena bukan tidak mungkin gadis itu menjadi korban berikutnya. Dia ingin mendidik sang keponakan menjadi wanita kuat yang tidak mudah tumbang. Dapat Rudi lihat kilat penuh dendam pada Netra sang keponakan saat mengetahui orang tuanya meninggal dengan cara tidak wajar. Sabotase. Satu kata yang membuat hati Rindu berapi-api. Demi apapun gadis itu bertekad untuk membalas perlakuan kejam saingan bisnis keluarganya. Hal itulah yang lantas membuat Rudi berpikir untuk menjadikan Rindu singa betina yang tak terkalahkan. “Jadi ... siapa pelakunya, Om?” tanya Rindu dengan netra berkilat penuh kemarahan. Dia tahu kemana arah pembicaraan sang paman. Tentu saja Rindu akan meninggalkan kesedihannya setelah ini. Seperti yang Rudi katakan sebelumnya, dia harus menjadi wanita kuat agar bisa membalas dendam kematian orang tuanya. “Kita bicarakan ini lain kali saja. Om tidak ingin membebanimu dengan hal yang membuatmu tidak bisa menahan emosi.” “Benar kata ommu, Nak,” sela Laura. Wanita yang belum memiliki putra di tahun ke dua puluh tiga pernikahannya itu tidak ingin sang keponakan yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri menjadi korban rasa dendam. “Nggak, Tante, aku harus tahu siapa pembunuh mama dan papa.” “Dendam bisa membunuhmu, Nak.” Rindu menggeleng. “Perasaan bersalah akan lebih membunuhku kalau aku nggak bisa membalas kelakuan keji mereka,” ucapnya menggebu. Bahkan Morgan bergidik membayangkan gadisnya seakan berubah menjadi iblis betina yang mengerikan. Kalau sudah seperti ini Rudi tidak bisa lagi mengelak. Dia merogoh dompetnya kemudian menyerahkan sebuah cincin bertuliskan inisial LA. “Cincin ini Om temukan di dalam bagasi mobil papamu,” ucapnya. “LA?” Rindu menerima cincin pemberian Rudi dan memutar-mutarnya mengamati tulisan yang tertera pada lingkaran berlapis emas putih itu. “Om sudah pastikan cincin itu adalah milik seseorang yang sebelumnya Om curigai. Dia adalah saingan bisnis keluargamu.” “Siapa?” tanya Rindu tidak sabar.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN