Bab 1

1247 Kata
Dua tahun lalu. Rindu berjalan menyusuri lorong kampus menuju tempat parkir dengan air mata tak henti mengalir. Di seberang panggilan sang paman memberi kabar tentang kecelakaan yang menimpa dan menewaskan kedua orang tuanya beberapa jam lalu saat tengah menempuh perjalanan bisnis ke Bali. “Om tunggu di rumah sakit, Rindu,” ucap Rudi. “Iya, Om aku akan segera ke sana.” Rindu mematikan panggilan kemudian menyimpan ponselnya pada saku celana dan mulai melaju. Padahal sebelum berangkat kuliah gadis itu sempat bercengkrama dengan kedua orang tuanya. Mereka sempat sarapan bersama. Tidak ada yang aneh dengan gelagat keduanya. Tidak ada pesan apapun yang sempat mereka sampaikan membuat Rindu benar-benar syok dengan berita yang baru saja didengarnya. Rindu mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi tidak peduli sumpah serapah dari pengendara lain yang merasa terganggu dengan cara mengemudinya. Dia ingin cepat sampai dan membuktikan bahwa kabar yang diberikan Rudi adalah sebuah kebohongan. Mungkin saja sang paman sedang ingin membuat lelucon atau apapun untuk memberinya kejutan. Sepuluh menit waktu yang dibutuhkan Rindu untuk sampai di rumah sakit. Dia berjalan menuju ruang IGD dengan hati tak menentu. Rindu sangat berharap saat sampai di depan ruangan mereka semua tertawa terpingkal karena berhasil mengerjainya. Namun harapan yang Rindu lambungkan pupus saat dua brankar dengan dua orang bertutup kain putih hingga kepala menyapa indera penglihatannya. “Kemari, Nak,” lambai Rudi melihat sang keponakan membeku tepat di depan pintu. Rindu berjalan mendekat. Ditatapnya nanar dua manusia yang terbujur kaku di atas brankar. Harapan terakhir Rindu adalah mereka akan bangun saat dirinya membuka kain putih penutup itu. Perlahan gadis itu menarik kain yang menutupi wajah salah satu dari keduanya. Pias. Wajah seputih kapas sang mama yang dirinya buka dari brankar pertama membuat tulang belulangnya terasa dicabut. Hampir saja Rindu terjatuh karena tidak sanggup menopang beban tubuhnya yang tiba-tiba terasa sangat berat. Gadis itu menggeleng dengan tangan gemetar. Tidak. Ini pasti mimpi. Rudi meraih tubuh keponakannya yang meluruh. “Sabar ya, Nak,” ucapnya berusaha menguatkan. Tidak Rudi lihat sedikit pun air mata menetes di wajah sang keponakan. Rindu hanya memberikan tatapan kosong seolah jiwa tidak bersatu dengan raganya. “Hehe, ini nggak lucu, Om,” kekeh gadis itu menatap brankar satu lagi yang belum dirinya buka kain penutupnya. Rindu bangkit dan berjalan ke arah brankar itu. Lagi, dengan pelan namun mantap dia buka kain penutupnya. Wajah pucat sang papa menghampiri pandangannya. “Pa, ini sama sekali nggak lucu,” seru gadis itu kemudian beralih menatap tubuh kaku sang mama. “Mama juga mau ikut-ikutan ngerjain aku?” tanyanya seolah sang mama bisa mendengar suaranya. Rindu menggoyang tubuh itu berulang kali lalu kembali pada tubuh sang papa. Ditepuknya pipi putih pias itu. Tetap tidak ada pergerakan dari keduanya. Seolah dikembalikan pada kenyataan, gadis itu menjerit. “ENGGAK!” Rindu meraung pilu. “Enggak mungkin!” Gadis itu berjalan ke arah tempat pamannya berdiri. “Om Lihat? Mereka sangat ahli berakting. Hahaha, siapa yang mengajari mereka, Om?” Rudi menggeleng. “Sabar, Nak. Om tahu ini berat untukmu.”Pria paruh baya itu tak kalah menangis. Dia merengkuh tubuh yang setelahnya bergetar hebat karena tangis itu. Kehilangan orang tua adalah hal paling mengerikan yang bahkan tidak sanggup Rindu bayangkan. Namun kenyataan seolah menamparnya bahwa tanpa dibayangkan segala hal bisa terjadi. Dia sadar kematian adalah hak prerogatif Tuhan hanya saja sebagai anak yang dilahirkan tanpa saudara rasanya tidak adil jika Tuhan mengambil kedua orang tuanya secara bersamaan dan dalam waktu secepat ini. Rindu merasa belum cukup bermanja walau kasih sayang keduanya begitu melimpah. “Tapi kenapa? Kenapa takdir sekejam ini sama aku?” “Tidak ada yang tahu jalan takdir, Nak.” “Enggak, Om. Mereka masih baik-baik aja tadi pagi.” Bahkan wisuda tinggal menunggu hitungan hari dan orang tuanya berjanji akan hadir dalam momen penuh kebahagiaan bagi mahasiswa itu, tapi mereka ingkar janji. “Iya, Om tahu karena Om juga ke rumah saat kamu pergi.” Gadis itu mengurai pelukan dan berjalan kembali pada jasad kedua orang tuanya. Dibelainya wajah kedua jasad itu kemudian mengecupnya satu demi satu. Air mata yang semula tidak jatuh kini mengalir menganak sungai membuat jejak berwarna sawo matang pada wajah berpoles putih itu. Rindu adalah mahasiswa pengenyam pendidikan semester akhir pada suatu universitas Jakarta. Dia tidak terlalu dikenal di kampus, selain karena bukan salah satu mahasiswa berprestasi juga karena wajah yang berwarna gelap membuatnya tidak terlihat mencolok. Rindu bukan gadis cantik sempurna berwajah seputih salju. Dia memiliki warna tubuh seperti kebanyakan gadis Indonesia, sawo matang. Namun postur tubuh yang langsing berisi juga senyum memabukkan yang dirinya miliki mampu membuat beberapa pria melabuhkan hati pada gadis manis itu. Rindu dilahirkan sebagai anak tunggal dari pasangan Dharma Praditya dan Niken Sanjaya, salah satu pasangan pengusaha yang cukup dikenal dalam kancah bisnis tanah air. Meski demikian sibuk, kasih sayang tidak pernah kurang keduanya berikan untuk putri semata wayang mereka. Melihat sang keponakan terus menangis Rudi mendekat. "Sudah, Nak, ikhlaskan mereka pergi.” Rindu menggeleng. Belum bisa gadis itu menerima kenyataan yang menimpanya. Dia berpikir Tuhan kejam karena membuatnya menjadi yatim piatu dalam waktu sekejap. “Tuhan lebih sayang sama mereka.” Rudi kembali buka suara. “Kalau Tuhan sayang sama mereka harusnya Tuhan berikan mereka kesehatan dan kebahagiaan bukan membuat mereka ninggalin aku, Om.” Rindu menaikkan nada bicara setengah berteriak membuat nafasnya tersengal. “Kamu nggak boleh bicara seperti itu. Ingat, Nak, hidup kita milik Allah. Cepat atau lambat kita akan kembali.” Tidak ada yang menyangkal bahwa Tuhanlah pemilik kehidupan hanya saja Rindu belum siap harus kehilangan poros hidupnya secepat ini. “Apa yang sebenarnya terjadi, Om?” “Om nggak bisa bahas ini sekarang. Kita harus segera siapkan pemakaman untuk kedua orang tuamu dulu.” Rindu mengangguk walau dalam hati tidak bisa menerima. Benar yang pamannya katakan. Pemakanan harus disegerakan karena orang mati tidak akan hidup kembali selama apapun dirinya menunggu, sekeras apapun dirinya menolak. *** Rindu duduk di depan kedua pusara penuh bunga. Pemakaman selesai dilakukan setengah jam lalu namun gadis itu belum ingin beranjak. Tidak jauh dari sana Rudi dan istrinya dengan setia menunggu. Warna hitam menutup sebagian cahaya matahari memberi gelap di tempat gadis yang tengah berkabung itu duduk seolah mendukung kesedihan yang tengah gadis itu rasakan. Sepersekian detik berikutnya bulir-bulir air mulai turun dari langit. Rindu mendongak merasakan tetes air hujan menerpa wajah sayunya, menikmati titik demi titik air itu bercampur dengan air yang tak henti keluar dari matanya. “Apa Kau sedang menangis, Tuhan, atau tertawa karena telah mengambil mereka dariku?” Rindu menatap langit yang semakin hitam pekat. “Lihatlah, sekarang aku sendirian,” ucapnya mengusap wajah yang banjir oleh aliran air. Tak terhitung berapa puluh ribu tetes air yang mengenai wajahnya karena hujan semakin deras. “Pa, Ma, tidakkah kalian tahu? Aku baru akan mengenalkan seorang pria pada kalian setelah wisuda. Tapi kenapa kalian tidak sabar?” Rindu ingat kedua orang tuanya akan memberinya ijin serius menjalin hubungan setelah dirinya wisuda. Kalau saja dia tahu tidak akan ada lagi kesempatan untuknya bercerita sudah Rindu kenalkan calon suaminya jauh-jauh hari agar kedua orang tuanya bisa memberi penilaian tentang bagaimana pria yang dicintainya itu. “Papa dan Mama sudah janji bukan untuk datang ke acara kebebasanku beberapa hari lagi? Kenapa kalian ingkar?” Rindu menangis semakin pilu. “Kalian selalu berpesan padaku agar aku tidak menjadi orang yang munafik. Tapi apa yang Papa dan Mama lakukan sekarang?” Rindu mengusap pusara sembari menaburkan bunga terakhir yang tersisa di keranjang. Bunga yang sudah terkulai lemah diterpa air hujan. “Gimana cara ngungkapinnya? Aku kangen Papa sama Mama,” lirihnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN