Bayangkan, dimana seorang pemuda anak dari pebisnis sukses yang kaya raya, memiliki semua fasilitas mewah, hidup sangat berkecukupan.
Setiap hari hanya ber foyah-foyah menghabiskan uang tanpa tau siang dan malam. Akan tetapi semua itu lenyap dalam sesaat, lenyap dalam waktu hanya semalam. Itulah yang terjadi pada Kelvin saat ini.
Kelvin telah kehilangan segalanya, tak hanya uang dan fasilitas, dia juga kehilangan tempat tinggalnya.
Rasa resah gelisah terus menghantui. Kelvin yang hanya memiliki sedikit uang itu, harus berpikir keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, terlebih lagi kebutuhan akan obat-obatan.
Dia harus melakukan sesuatu agar bisa mendapatkan uang, untuk memenuhi keinginan mengkonsumsi obat-obatan itu lagi.
Berhari-hari Kelvin tak juga menemui titik terang tentang apa yang harus dilakukan.
Berhari-hari dia hanya bermalas-malasan sambil termenung menatap keluar jendela. Hingga saat ini dia hanya bertahan dengan uang terakhir yang diberikan oleh pak Karto sesaat sebelum dia meninggalkan rumah.
Siang itu Kelvin memandang langit malam yang menurunkan rintik-rintik hujan. Kilasan wajah orang yang melahirkan nya melintas begitu saja tanpa dia inginkan.
Kilasan bahagia terpancar dari wajahnya kala memejamkan mata, adegan demi adegan berputar seperti kaset kusut yang selalu menghantui setiap harinya. Sakit di dadanya tidak dapat dideskripsikan dengan kata-kata.
Kelvin pernah mencoba untuk ingin mengakhiri hidupnya yang gila ini tetapi ada sedikit bagian dirinya yang menolak untuk melakukan itu.
Dia selalu berpikiran bahwa ibunya pasti memikirkan nya saat ini tetapi semakin lama dia berpikir seperti itu maka semakin sakit hatinya kian bertambah.
“Kenapa lo?” tanya Yuda yang baru datang ke kos Feri.
Kelvin hanya diam tidak memperdulikan apa yang ditanyakan oleh temannya itu. Dia terlalu lelah untuk berinteraksi dengan orang lain. Yuda sangat dekat dengan Feri, sehingga ia juga dekat dengan Kelvin. Yuda tidak kuliah, dia hanya ingin bebas melakukan apapun yang ia inginkan.
“Jangan diganggu, Kelvin punya masalah!”
Feri yang merupakan saksi hidup seorang Kelvin menceritakan permasalahan yang dihadapi oleh temannya itu. Yuda hanya tersenyum masam mendengarkan cerita hidup seorang Kelvin. Sebagian temannya sangat menyayangi Kelvin seperti saudaranya sendiri karena kebaikan yang telah temannya lakukan.
“Semalam dia ngulah,” ujar Feri.
Feri rasanya ingin membuang kilasan ingatan tadi malam yang sangat menyakitkan.
“Trus gimana lo hadapi?” tanya Yuda khawatir. Yuda bukannya tidak tahu siapa-siapa saja temannya yang memakai obat-obatan haram itu.
Dia tahu, bahkan dia paham betul apabila orang yang sudah ketergantungan terhadap obat itu.
Orang yang sudah memakai obat haram itu akan mengalami 2 hal apabila tidak dapat mengkonsumsinya lagi yaitu gila atau mati.
Tetapi namanya seorang manusia yang banyak beban pikiran, tidak ada pemikiran kedepannya yang ada di kepala. Yang ada dipikiran mereka hanya bagaimana cara menemukan kebahagian yang selama ini mereka cari. Kebahagian itu hanya angan –angan kosong yang menyakitkan untuk kedepannya.
“Sumpah gila tu Rafael, gue minta obatnya dia nolak karena gue nggak ada duit,”
Ingatkan Feri untuk menendang Rafael yang gila duit itu.
“Lo tau dia gimana Fer, dia selama ini baik sama Kelvin hanya karena uang. Mungkin dia nggak akan mau berteman sama Kelvin lagi.”
Yuda sudah tahu bagaimana watak Rafael itu. Tetapi sampai saat ini Rafael masih mempunyai teman banyak dan kaya efek muka dua yang mampu meluluhkan hati siapa saja.
“Iya gue tahu, Cuma gue bilang untuk dibayar besok karena semalam memang gue kehabisan uang buat bayar kuliah.”
Senakal-nakalnya Feri dia masih mengerjakan shalat 5 waktu dan serius dalam menjalankan proses perkuliahan.
“Terus gimana si curut bisa baik sekarang?”
Tanya Yuda penasaran.
“Semalam gue telpon Angga untuk minta sedikit obatnya dan ternyata dia mau ngasih,” jelas Feri.
“Secara cuma-cuma Angga kasih? Nggak mungkin menurut gue. Gue paham betul Angga itu kayak apa Fer.”
Yuda memandang Feri dengan tatapan penuh curiga.
“Oke oke lo benar Yud, Gue harus menang balapan besok malam lawan geng Loyas,” jawab Feri mengaku.
Geng Loyas adalah geng yang sangat hebat dalam hal balapan, tidak pernah sekalipun mereka kalah dalam pertandingan. Feri yang memang baru menekuni dunia balap tidak tahu menahu bagaimana kehebatan geng Loyas.
“Gila lo ya, Geng Loyas rajanya balap liar. Lo nggak akan bisa menang. Kalau lo nggak menang si Angga minta apa sebagai gantinya?”
Feri termenung sebentar dengan nasib naas nya.
“Motor gue jaminannya,” ucap Feri lirih.
“Huft gue bisa bantu apa sekarang Fer, gue tau itu motor kesayangan lo.”
Yuda menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Semalam gue kalut, yaudah gue minta doa dari lo supaya menang.”
Feri memberikan keyakinan kepada temannya agar tidak perlu mengkhawatirkannya.
Seketika Kelvin masuk setelah batin nya sedikit membaik. Luka lebam itu masih ada bahkan lebih parah dari pada luka saat keluar dari rumah mantan ayahnya itu.
“Sekarang Lo gimana Vin?” Tanya Yuda to the point.
“Gue nggak pernah mikirin ada di posisi ini, gue rasa pak tua itu bukan manusia. Binatang aja nggak akan nyakitin anak nya sendiri sedangkan dia memperlakukan gue lebih buruk dari binatang.”
Kelvin memang tidak menangis, tetapi kilauan matanya tersirat kesedihan yang amat mendalam.
“Lo jangan mikirin pak tua itu, sekarang gimana caranya lo bisa hidup. Lo masih belum bisa berhenti memakai obat itu dan lo harus ingat duit untuk mendapatkan obat itu berapa banyak,” jelas Yuda.
“Gue juga nggak mau hidup gini Yud, Gue juga nggak mau ketergantungan seperti ini. Awalnya gue nyoba- nyoba, ternyata obat itu bisa memberikan gue kebahagian.”
Kelvin mulai merasakan penyesalan karena mengkonsumsi obat-obat haram itu.
"Bahagia sejenak kan?" ujar Feri miris.
Kelvin terdiam, apa yang dikatakan Feri tidak salah.
“Udah basi nyesal-nyesal gitu. Sekarang hanya dua cara, lo berhenti dengan terapi tapi biayanya cukup banyak dan jangan lupakan kesakitan yang lo rasakan atau lo tetap konsumsi dengan ikut ikut gue cari uang.” Yuda memberikan sedikit pilihan dan pencerahan.
“Gila lo nyuruh Kelvin gitu, gue nggak setuju. Lo curi sama begal orang buat ngasih makan anak jalanan kan bukan buat diri lo sendiri.” Feri protes dengan penuturan Yuda.
“Gue setuju sama usulan lo, gue ikut. Gue nggak mau nyusahin lo lagi Fer.” Kelvin menentukan pilihan untuk mengikuti jejak Yuda agar tidak menyusahkan Feri.
“Lo jangan gila Vin, gue akan ngumpulin duit buat terapi lo,” ucap Feri yakin.
“Lo nggak mikir ya Fer, kerjaan kita semuanya berbahaya dan nggak ada yang baik. Inilah hidup bro, untuk bertahan lo harus jadi jahat.” Yuda menepuk pundak Feri. Perlu diingatkan bahwa pekerjaan balap liar Feri harus mempertaruhkan nyawa yang sudah di ujung jurang.
Feri terdiam.
“Asal lo ingat Fer, kami ngambil duit orang nggak sampai membunuh palingan cuma lecet sedikit. Dan apa salahnya ngambil duit orang kaya yang pelit.” Yuda tertawa mengingat aksinya itu.
Jelas saja salah, setidaknya Feri mencari uang tidak menyakiti bahkan merugikan orang lain.
Dulu memang Yuda tidak ada niatan untuk melakukan tindakan itu, tetapi melihat banyak anak jalanan yang tidak mendapat makan berhari-hari membuatnya untuk melakukan aksi itu. Mereka hanya memikirkan tentang hari ini, tetapi tidak memikirkan tentang kedepannya.