BAB 5 – Ini Rahasia

1636 Kata
“Maaf, Kia.” Kalimat singkat itu membuatku kikuk. Padahal aku yang nggak sengaja menyentuh Kak Gian, tapi dia yang minta maaf. Bahkan sentuhan itu nggak intens, hanya jari bertemu jari karena kami mengambil botol saos yang sama. Dia lebih dulu mendarat, baru aku. Lalu semuanya terjadi begitu saja. Tetapi, apa dia benar-benar menjunjung tinggi batasan? Padahal demi apa pun, nggak ada berlebihan di sini. “Mmm ... harusnya aku yang minta maaf, bukan Kak Gian. Soalnya tadi ...” Dia tersenyum tipis, membuatku menelan ludah. Kenapa harus ganteng kayak gini? Jangankan nyerocos panjang lebar, mengeluarkan sepatah atau dua patah kata saja jadinya susah. Aku gugup dan salah tingkah. “Lupain. Intinya, bukan salah Kak Gian.” Dia mengangguk, lalu tersenyum lagi. Selanjutnya Kak Gian mengaduk-aduk bakso yang dia pesan, sembari mempersilakanku fokus pada mie ayam yang mengepulkan banyak asap di depan. Jadi ceritanya sepulang dari kampus tadi dia menjemput seperti biasa, lalu meminta izin mengajakku ke kedai mie ayam dan bakso langganan temannya. Kak Gian sering ke sini, saking seringnya sampai jadi kebiasaan. Dulu dia dan temannya selalu mampir, tapi beberapa bulan belakangan sudah jarang, karena mereka nggak sering ketemu lagi. Sebenarnya aku gatal ingin bertanya kenapa, tapi sungkan karena kami masih punya batasan secara kasat mata. Aku menghormati Kak Gian. Kalau sekarang dia nggak terbuka, mungkin saja nanti. Karena aku percaya, seiring waktu pasti kami akrab. Ada hening yang agak panjang di meja yang kami tempati, karena Kak Gian berkonsentrasi penuh pada baksonya. Kadang aku mengamatinya–semacam mempelajari kebiasaan, supaya lebih mudah beradaptasi–dan dari semua pengamatan itu, aku bisa menyimpulkan Kak Gian tipe yang hanya fokus pada satu hal, nggak mau memecah belah pada hal lain. Seperti sekarang ini, dia nggak akan mengajakku mengobrol karena dia lebih terpaku pada apa yang dia makan. Itu bagus mengingat etika yang selalu eyang agung-agungkan, tapi untukku yang begitu menyukai adanya selingan candaan kecil, ini jelas membosankan. Mendadak aku mencatat di kepala, kalau ada kebiasaan kami yang bertolak belakang. Setelah menikah nanti, hal sekecil ini bisa jadi perdebatan, tapi aku mau kami berdiskusi untuk mencari jalan ke luar. Gimana baiknya saja. Semacam, sesekali dia boleh bicara saat makan, atau aku juga harus berusaha untuk diam. Keringat mengucur di pelipis, karena mie ayam yang panas dan pedas. Aku meraih tisu untuk menyeka, kemudian menjeda dengan menyedot es teh. Rasa manis dan dingin bercampur jadi satu di mulut dan tenggorokan, membuatku memejamkan mata beberapa saat karena begitu segar. Kenapa es teh enak sekali? Aku selalu menyukai minuman ini, di manapun aku makan. Ponsel yang disimpan di tote bag berbunyi, membuatku bergegas mengambil benda tipis itu. Sebelum menyalakan layar, aku sempat melirik Kak Gian–sekadar jaga-jaga, kalau dia risih dengan tindakanku yang memainkan ponsel saat makan. Untungnya dia nggak melirik, jadi aku meneruskan untuk memeriksa pesan yang baru masuk. Dari grup Harun’s Family ternyata. Ngomong-ngomong, grup ini selalu ramai. Seringnya Tante Rima memulai percakapan, atau nggak Mbak Brisia, istri dari anak pertama–Mas Dimas. Mereka itu ibu mertua dan mantu goals. Kompak, sefrekuensi, ramah, bahkan lucu. Aku nggak pernah jadi asing di sana, karena mereka selalu punya cara untuk membuatku nyaman. Pernah Tante Rima membagikan fotoku di grup, orang kedua yang memuji imut adalah Mbak Brisia. Selanjutnya Opa Tara, Mas Dimas, lalu Om Sajad. Kak Gian nggak sering muncul, mungkin faktor dia sibuk dengan tugas karena berusaha mengejar waktu menyelesaikan tesis dalam waktu yang cukup singkat. Sementara Mas Danu jadi pihak penghancur suasana. Dia selalu punya bahan untuk membully-ku. Padahal sudah ditegur Tante Rima maupun Opa Tara, tapi dia nggak pernah mengindahkan. Dia memang si tua yang kekanakan.  Tante Rima: [Dimas dan Brisia pulangnya harus dua minggu sebelum lamaran Gian-Kia. Biar punya banyak waktu ngumpul bareng keluarga. Mama, papa sama opa kangen si kembar. Udah nggak sabar mau gendong. Bosan lihat di video call mulu. Nggak puas. Meskipun resikonya kena encok, karena si kembar sudah pasti berat.] Mbak Brisia: [Tentu, Ma. Aku udah ingatin Dimas tiap hari, biar nanti nggak kelupaan lagi. Duh nggak sabar balik Indo, kangen sama kalian. Si kembar juga merengek pengin ketemu Danu. Katanya Danu udah iming-imingin ngajak main, beliin banyak mainan, berenang bareng, jadi mereka nanyain bulan dan tanggal mulu. Memang om satu ini hobinya bikin orang tua si kembar pusing.] Jadi selain aku yang menyimak, rupanya ada yang lain juga. Buktinya Mas Danu muncul setelah Mbak Brisia membawa-bawa namanya. Seperti biasa, kemunculan Mas Danu selalu diikuti hawa yang nggak nyaman. Aku bahkan berani menebak, setelah ini grup bakal diisi dengan celetukannya yang menyebalkan. Oh iya sekadar informasi, aku menyimpan nomor orang-orang di grup ini–kecuali Mas Danu tentunya. +62822xxxxxxxx: [Makanya si kembar tinggal denganku saja. Kalian bisa lebih bebas di sana, seperti pengantin baru melakukan apa pun dan di manapun. Kalian bahkan bisa membuat sepuluh si kembar lagi, jadi yang ada ini untukku. Lagipula mereka cenderung sayang omnya dibanding papa mereka sendiri.] Lihat, kan? Seperti yang sudah kubilang, Mas Danu itu pembunuh suasana. Aku beneran ingin memukul atau mencubit lengannya, karena apa pun yang dia omongin atau yang dia tuliskan, semua bakal jadi menyebalkan. Aura Mas Danu itu buruk. Memancing emosi orang-orang sepertiku untuk mencibirinya. Mas Dimas: [Makanya punya sendiri, supaya tidak meminta seperti ini.] +62822xxxxxxxx: [Membuatnya mudah, mencari rahim yang tepat itu susah.] Mbak Brisia: [Rahimnya doang? Nikahannya mana, Nu?] Tante Rima: [Mama nggak terima setor cucu di muka! Kalau sampai terjadi, habis kamu dikebiri, Mas. Sudah banyak perempuan ngaku-ngaku hamil, datang ke rumah minta pertanggungjawaban selama ini. Untungnya Mama nggak punya riwayat penyakit jantung, kalau enggak, udah berapa kali dalam setahun Mama masuk rumah sakit? Pasti nggak akan kehitung saking banyaknya.] +62822xxxxxxxx: [Tenang, Ma. Aku selalu main aman. Mereka seperti itu karena mau uang. Lain kali aku yang turun tangan. Mama terlalu memanjakan mereka, tidak pernah melapor padaku lebih awal. Heran saja, anaknya pengacara tapi mau-maunya diperas.] Mbak Brisia: [Parah banget, Mama yang kamu salahin!] Tante Rima: [Tenang, tenang! Mama gunting burungmu supaya nggak bisa terbang sana-sini lagi. Pusing banget. Punya anak tengah kok gini amat. Umur mamanya udah tua, malah dibikin tua lagi sama kelakuannya. Keinginan punya cucu dari Danu kian hari kian terkikis karena kelakuannya yang naudzubillah.] Bayangin betapa beratnya jadi Tante Rima? Aku saja lelah, apalagi beliau. Duh, Mas Danu itu terbuat dari apa, ya? Kenapa dia beda? Seenggaknya kalau nggak bisa jadi Kak Gian atau Mas Dimas, minimal dia punya sedikit hal baik supaya orang-orang lebih respect. Tetapi bukankah Tuhan itu sangat adil? Dia memberikan Mas Danu wajah yang tampan, karir yang bagus, otak yang pintar, namun minus akhlak. “Kia, sudah selesai?” Aku langsung tersadar dari lamunan setelah panggilan ringan dari Kak Gian tertangkap indera pendengaran. Segera aku mendongak, kemudian tersenyum kikuk karena untuk sesaat kehilangan kosa kata untuk menjawab. Nggg ... sudah berapa lama aku kayak gini? Sepertinya ... mie ayamku nggak panas lagi. “Tidak apa, teruskan saja kalau masih mau makan. Aku bayar ke kasir dulu,” pamit Kak Gian penuh perhatian. Membuatku mengangguk cepat, lalu mengiringi pundaknya yang kian menjauhi meja. Tanpa sadar senyumku langsung mengembang lebar, sekali lagi bersyukur untuk sikapnya yang sopan dan pengertian. *** Sabtu siang aku berangkat menuju rumah Haura untuk main dan menghabiskan waktu bersama, tapi sebelum itu aku mampir di salah satu cafe yang terkenal dengan dessert-dessert box yang mereka jual. Sebagai buah tangan, aku ingin membeli rasa kesukaan mamanya Haura, kesukaan Haura, juga adiknya. Pilihanku jatuh pada red velvet, oreo, lotus dan regal cheese. Setelah menyelesaikan transaksi, aku berucap terima kasih pada kasir diselingi senyum tipis. Dia balas tersenyum ramah, membuatku mengangguk sekali setelah itu berbalik pergi. Cafe begitu ramai di siang hari, membuatku tergesa-gesa ke luar karena agak canggung berjalan di tengah-tengah orang banyak. Rasanya aneh, cenderung merasa kalau diri sendiri jadi bahan perhatian. Sayangnya begitu sampai pintu, aku kurang teliti karena menabrak wanita yang baru masuk. Dia jauh lebih tinggi, bahkan puncak kepalaku hanya sebatas bibirnya saja. Sebelum mendongak, aku lebih dulu menatap dadanya, lantas terkejut dalam hati karena sangat besar. Iseng kepalaku berpikir, apa itu asli atau palsu? Lalu menggeleng cepat, merasa geli sekaligus merutuk dalam hati. “Mbak nggak pa-pa?” tanyaku hati-hati, sekaligus melihat ke segala sisi. Syukurnya hanya badan menabrak, nggak diikuti dengan apa yang kubawa. Jadi semua nggak tumpah maupun jatuh. “Maaf tadi saya nggak sengaja, soalnya jalan nunduk. Sekali lagi saya minta maaf.” Aku bahkan membungkuk berkali-kali, berharap dia mengerti dan menerimanya. “Tidak apa. Aku juga tidak sempat menghindar, jadi kamu tidak sepenuhnya salah.” Bibirnya melengkung ke atas, membuatku terdiam beberapa saat karena nggak menyangka mendengar responnya yang ramah. “Mari berdamai. Jangan buat hal kecil jadi besar. Kalau kita bisa mengakhirinya dalam waktu yang singkat, kenapa harus dibuat rumit. Iya, kan?” “Eh, i-iya. Terima kasih banyak, Mbak.” “Sama-sama. Hati-hati di jalan.” “Mbak juga, selamat menikmati waktuny–” “Ada apa, Marie?” Suara bariton tersebut memotong kata-kataku, tapi bukan itu yang jadi masalah utama, melainkan siapa pemiliknya. Di belakang tubuh wanita yang tinggi semampai ini, muncul seseorang yang belakangan menjadi pusat emosiku. Siapa lagi kalau bukan Danuaji Dewangga. Ch! Kenapa dunia sempit sekali? Padahal aku cuma mampir beli dessert. Bukan berbuat dosa. Tapi karmaku berbentuk nyata. “Hanya kecelakaan kecil, Dan. Bukan masalah besar.” “Oh, ya?” Dia melirikku penuh minat, setelah merangkul wanita yang baru tadi kudengar namanya Marie. “Kalau begitu abaikan saja. Kita harus mencari tempat duduk sebelum benar-benar penuh. Aku butuh kopi untuk membahas kasusmu.” “Tentu saja.” Lalu Marie mengangguk sekali padaku, kemudian keduanya berlalu. Tadinya aku juga mau langsung ke luar, tapi entah kenapa tiba-tiba penasaran ingin menoleh ke belakang. Setelah aku melakukannya, aku mendapati Mas Danu dalam posisi serupa. Dia menatap tepat di mataku, lalu telunjuknya tiba-tiba terangkat ke depan bibir. Sepertinya dia memintaku ... merahasiakan ini. Tapi, apa untungnya buatku, coba? ***  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN