Setelah mata kuliah governansi digital berakhir, aku dan Haura pergi ke kantin untuk mengisi perut. Kami kompak memesan gado-gado, untuk minumnya sendiri Haura memilih jus jeruk, sementara aku es teh. Sambil menunggu, kami mengisi waktu dengan mengobrol. Haura masih iseng menanyai hubunganku dengan Kak Gian, yang jelas kujawab seadanya tanpa terkesan antusias apalagi berbau pamer.
Intensitas berkirim pesan kami nggak lancar. Maksudnya, Kak Gian tipe orang yang nggak selalu memegang ponsel. Dia lebih sering memberitahu apa saja kegiatannya hari ini, lalu aku tertarik memberi respon yang cenderung menyemangatinya. Setelah dia berucap terima kasih, maka obrolan berakhir. Aku jadi bingung sendiri. Ingin balas memberitahu apa saja yang kulakukan malah nggak enak, karena dia nggak bertanya balik.
Tapi lebih dari semua itu, aku senang Kak Gian perhatian. Dalam satu minggu ini, kalimat yang sering kudapati adalah “kalau butuh sesuatu, jangan sungkan ya, Kia”. Dia apa adanya. Nggak tergesa-gesa, justru cenderung mengikuti arus. Meski aku nggak bisa membaca perasaan Kak Gian seperti apa, tapi aku berharap dia sama menginginkan pernikahan sepertiku.
“Selamat menikmati!” Seruan dari Kak Rani membuyarkan lamunan, membuatku mendongak kemudian tersenyum. Dia anak dari ibu kantin. Kuliah di sini juga, sedang menyusun skripsi. Kalau nggak ada kesibukan, dia sering membantu ibunya. Kepribadian Kak Rani menyenangkan. Kami yang notabenenya nggak dekat, mudah saja beradaptasi karena dia yang ramah.
“Terima kasih, Kak!” sahutku dan Haura bersamaan. Seperginya Kak Rani, aku dan Haura kompak mengambil sendok dan garpu. Mengelapnya lebih dulu dengan tisu, setelah itu mencampurkan bumbu kacang dengan kecap yang baru dituangkan. Nggak tertinggal satu sendok sambal, karena makanan tanpa unsur pedas itu rasanya seperti ada yang kurang.
Mataku sempat memejam setelah menyuap satu sendok gado-gado. Jangan ditanya gimana rasanya, karena saking pas dan enaknya di lidah. Makanan di kantin ini nggak pernah gagal memancing selera, itu sebabnya selalu ramai dibanding kantin-kantin yang lain. Kampus kami punya empat kantin, dan milik ibunya Kak Rani ini yang paling diminati.
“Mami nyariin lo, Sha. Katanya udah lama nggak ke rumah,” ujar Haura di sela mengunyah gado-gadonya. Kalau eyang tahu kami makan sambil ngomong, beliau pasti geleng-gelengkan kepala sembari menegur. Nggak tertinggal membahas etika, yang mana sering membuatku menghela napas malas saat mendengarnya. “Sabtu main, yuk? Nonton bareng deh di rumah gue. Drama Hometown Cha-cha-cha udah tamat. Kita marathon itu aja.”
“Mau banget! Tapi aku izin ke bunda sama eyang dulu, ya? Kalau dibolehin, nanti aku chat kamu di WA. Biasanya bunda langsung acc, tapi eyang tuh yang agak susah. Apalagi sekarang aku disuruh belajar ini dan itu. Kecuali yang berhubungan dengan Kak Gian dan keluarganya, baru eyang iyain tanpa pikir panjang.”
“Ngebet banget kayaknya eyang mau besanan. Mendadak gue jadi kasihan sama lo, Ki, karena urusan gini aja mesti keluarga yang atur. Kayak yang ... lo nggak punya kesempatan buat milih sendiri. Gue akuin Kak Gian emang top, tapi kalau hati lo nggak mau ya tetap aja jatuhnya nyiksa.”
Haura nggak tahu saja gimana senangnya aku pas tahu dijodohkan dengan Kak Gian. Semalaman hampir nggak bisa tidur. Kalau tidurpun pasti sambil senyum, saking merasa kayak ... hal yang diidam-idamkan diwujudkan jadi nyata. Aku sangat mensyukuri ini. Setiap selesai shalat, mataku sampai berkaca-kaca saking terharu sekaligus bahagianya. Mengucap hamdalah sambil berpikir rencana Allah itu indah banget. Sesuatu yang disukai tapi nggak dikejar, rupanya punya jalan sendiri untuk didekatkan.
“Jangan tatap aku kayak gitu. Serius, aku nikmatin ini semua, Ra. Lagipula nggak ada cowok yang dekat sama aku sekarang, jadi nggak ada salahnya mencoba dengan Kak Gian. Kalau kami beneran jodoh, pasti nggak akan sia-sia apa yang dua keluarga rencanain. Memang semua ini terjadi atas kemauan eyang, tapi lebih dari itu aku nggak keberatan sama sekali. Itu sebabnya aku nggak pernah nolak.”
“Anak baiiiik.” Haura mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala, membuatku mendengkus sambil memutar bola mata. Tapi di detik selanjutnya aku tertawa, merasa geli karena dia berbinar menatapku. “Lo selalu punya alasan untuk nurutin kemauan eyang. Gue kagum, Ki. Walaupun kalau gue di posisi yang sama, gue bakal setuju juga karena cowoknya Kak Gian. Most wanted kampus kita.”
“Ih, tadi sok-sokan bilang kasihan,” ejekku dengan lidah memelet, membuat Haura ngakak kemudian meminum jusnya. Kami sangat menikmati waktu belasan menit ini, karena diselingi candaan maupun keseriusan. Haura itu sudah kuanggap kayak saudara, karena kami akrab dari semester pertama.
Di satu suapan terakhir ponselku bergetar. Setelah meneguk es teh banyak-banyak, aku langsung mengaktifkan layar untuk melihat nama si pengirim. Senyumku otomatis mengembang, karena Tante Rima mengirim sebuah gambar. Lekas aku mengetuk sekali untuk masuk ke ruang obrolan, lalu mengunduh untuk melihat.
Di caption berbunyi; Mama mertua lagi ke salon. Selanjutnya nanti ditemani Kia ya, Sayang? Tadi dianter sama Gian. Tapi dia tidak bisa menunggu, katanya ada kesibukan. Kia udah berkirim pesan sama Gian belum?
Tante Rima berpose cantik dengan rambut diwarnai. Di usia yang lebih beberapa tahun dari bunda, beliau masih keren dan sangat mengikuti perkembangan zaman. Jadi nggak mengherankan kalau beliau masih sangat cantik di usia yang nggak muda lagi. Bunda bahkan kalah kencang kulit, mengingat lebih sering Tante Rima perawatan dibanding bunda yang mengandalkan serangkaian skincare dari suatu merk ternama.
Azkia: [Tadi setelah antar kuliah, Tante. Kak Gian semangatin Kia buat presentasi hari ini. Katanya nanti chat atau telpon saja misal mau pulang. Dia jemput kayak biasa di depan. Ngomong-ngomong, rambutnya cantik. Cocok banget sama Tante. Kayak seumuran Kia. Kalau kita jalan, orang-orang pasti ngira kita kakak-adik.]
Tante Rima: [Kamu bisa aja. Tante jadi malu, nih. Oh iya soal anak Tante, mohon dimaklumi kalau terlalu kaku. Dia emang gitu, nggak banyak tingkah kayak abangnya. Mas Danu itu jangan ditanya. Lebih cerewet kalau sudah cerewet. Kelakuannya bikin pusing. Kadang Tante mikir, jangan-jangan yang abang itu Gian, bukan Mas Danu.]
Aku tertawa pelan, membuat Haura melongok penasaran. Saat kuberitahu kalau aku bertukar pesan dengan mamanya Kak Gian, Haura sontak mengedipkan mata untuk menggoda. Dia bahkan membisikkan kata “pepet-pepet”, membuatku bersemu sembari tersenyum malu. Keberuntungan lain yang kudapat adalah, satu frekuensi dengan Tante Rima.
Azkia: [Nggak apa, Tante. Kak Gian baik sama Kia. Jadi nggak ada yang salah, nggak perlu juga pemakluman. Mungkin sifatnya nurun Opa Tara, atau Om Sajad yang lebih kalem. Sementara Mas Danu lebih ke Tante, mudah akrab sama orang baru. Pandai membangun suasana supaya nggak canggung.]
Setelah menekan tombol kirim, aku menghela napas pelan karena kalimat terakhir adalah pembohongan. Maksudnya di bagian Mas Danu, karena dia sama sekali nggak mirip sama Tante Rima. Dia sukanya nyari gara-gara, ringan mulut mengejek, padahal kami baru sekali mengenal. Aku juga nggak punya masalah sama dia, tapi dia saja kelewat nggak ada kerjaan menggangguku.
Tante Rima: [Bagus sekali penilaiannya, tapi Mas Danu big no! Sifatnya emang sama kayak Tante, tapi dia jauh lebih tengil dan menyebalkan. Meskipun begitu, ada sisi yang bikin kamu kagum sama dia. Pokoknya nanti kalau udah kenal jauh, dijamin bakal suka. Dia itu om favorit para keponakan.]
Tante Rima: [Kia masih lama pulangnya? Ini Tante dapat pesan dari Mas Danu, katanya baru selesai ketemu klien di daerah salon langganan Tante. Dia mau jemput sekalian ngajakin jalan. Kalau kamu udah mau pulang, ikut Tante sama Mas Danu aja. Nanti nunggu di depan kampus. Soal Gian biar Tante yang telepon, supaya dia nggak perlu jemput kamu nanti.]
Benakku langsung bilang enggak, pasalnya ini sama Mas Danu, bukan aku dan Tante Rima saja. Tapi mengirim penolakan sekarang rasanya nggak tepat juga, karena nggak enak sama beliau. Mendadak aku jadi serba salah, menimbang-nimbang gimana tepatnya untuk urusan pulang. Di jam kedua nggak ada kelas lagi, karena ketua kelas hanya menyampaikan tugas. Dosen berhalangan hadir hari ini.
“Ki, udahan?”
“Eh, sebentar ya, Ra. Aku bales pesan dulu, setelah ini baru kita ke kasir.”
Haura mengangguk, membuatku lekas menunduk. Ya sudah, karena nggak punya pilihan terpaksa aku mengiyakan. Lagipula nggak ada salahnya mengakrabkan diri, toh Mas Danu itu akan jadi kakak iparku nanti. Kalau Tante Rima berpendapat dia punya sisi baik, aku nggak boleh meragukan karena beliau mama dari Mas Danu sendiri.
Azkia: [Lima belas menit lagi pulang, Tante. Iya, Kia mau ikut jalan-jalan.]
Tante Rima: [Good, Honey. Sampai ketemu lima belas menit lagi.]
***
Di sinilah aku sekarang. Duduk di samping Tante Rima, sementara Mas Danu di depan menyetir. Rencananya Tante Rima mengajakku melihat-lihat ke butik milik teman arisan beliau. Kalau ada yang nyantol buat kebaya, nanti sekaligus ambil foto buat didiskusiin sama eyang dan bunda. Katanya tiga bulan itu nggak akan berasa, jadi nggak ada salahnya mulai fitting dari sekarang, meskipun nggak ada Kak Gian.
Selama perjalanan, Tante Rima mengajakku mengobrol banyak hal. Mulai dari beliau yang ingin mengadopsi kucing minggu depan, juga curhat kalau ada wanita nyasar yang mengaku-ngaku jadi kekasihnya Mas Danu. Katanya lagi hamil, minta pertanggungjawaban. Tapi karena bukan satu atau dua kali saja hal ini terjadi, Tante Rima nggak pernah pusing lagi. Beliau hanya mengeluarkan sejumlah uang, lalu perempuan itu hilang ditelan alam.
Sedangkan orang yang kami bicarakan hanya terkekeh-kekeh nggak berdosa. Berkali-kali aku mendapati dia menatapku lewat spion, berujung dengan memberinya tatapan galak namun nggak mempan. Mas Danu itu manusia paling bebal yang pernah kukenal. Itu sebabnya aku nggak suka. Kepribadiannya nggak cocok denganku.
Beberapa menit kemudian kami sudah tiba di butik yang dimaksud. Teman Tante Rima langsung mengeluarkan lima motif kebaya terbaru, lalu memintaku untuk mencoba salah satunya. Setelah melewati beberapa bujukan, akhirnya aku mau. Dibantu dua orang pegawai di ruang ganti, aku cukup kesusahan mengenakan kebaya yang terlalu ngepas badan. Ini ukuran paling kecil, cocok untuk orang yang bertubuh mungil.
Setelah terpasang sempurna, aku berjalan pelan untuk ke luar. Yang mengherankan adalah, aku nggak mendapati Tante Rima maupun temannya. Hanya ada Mas Danu, yang kini meletakkan majalah ke atas meja karena dia fokus menatapku.
Tatapan Mas Danu memindai dari atas ke bawah, kemudian berhenti di area dadaa, membuatku menelan ludah kemudian menyilangkan tangan nggak nyaman. Bukan bermaksud negatif, tapi dia itu mencurigakan.
“Kenapa?” tanyaku galak, saat dia menunjuk-nunjuk malas.
“Dada.”
“Kenapa?!” ulangku lebih galak.
“Tepos.”
Gigiku sontak gemelatuk. “Dasar si tua mesuum!”
***