-9-

4764 Kata
15. Amanda mulai turun ke bawah ketika para singa itu kembali ke tempat semula. Dia merasa agak tenang. Para singa yang tadi sempat menyerangnya secara mendadak membuatnya panik. Dia berlarian hingga napasnya tersengal-sengal. “Kenapa tidak kamu kerjai lagi dia?” Agatha menanyaiku yang sebenarnya juga mengandung tuntutan. “Tidak. Jangan terlalu keseringan. Ayah akan mengetahui gelagat kita nanti.” Aku meletakkan telunjukku ke bibir. Agatha mengangguk. Matanya kembali menyimak apa yang ada di hutan. Amanda berjalan dengan lagak yang sombong. Para singa itu belum bergerak sama sekali. Tangan Agatha mulai meremas celananya sendiri karena kesal melihat semua ini. Ungkapan kekesalan melalui apa pun tidak akan mampu mengubah keadaan. Ujian yang dilalui Amanda akan tetap dimudahkan oleh Ayah. “Apa karena dimarahi istrinya?” Agatha nyelutuk sembarangan. “Aku tidak tahu kalau soal itu, yang jelas ini akan menjadi ujian termudah untuk Amanda menurut perkiraanku.” Aku sempat merasakan geli ketika Agatha bertanya seperti itu. Rasanya aku ingin tertawa tetapi aku menahannya. Jika Ayah tidak ingin menguji anak kandungnya sendiri, biar aku saja yang mengujinya lagi. Ketika Amanda sudah sangat dekat dengan jarak para singa itu, aku mengendalikan para singa itu lagi agar mau mengejar Amanda. Amanda gelagapan karena para singa itu tidak memberinya kesempatan untuk lari. Biasanya para singa itu mengendap-endap terlebih dulu. Tetapi kali ini aku akan membuatnya tampak beda. “Para singa itu berlari tanpa mengendap-endap dahulu. Padahal biasanya ... ini aneh.” Agatha meletakkan telunjuknya di dagu ketika memikirkan keanehan dari para singa itu. Aku tidak menggubrisnya dan pura-pura tidak tahu dengan apa yang terjadi pada Amanda di hutan itu. Tanganku yang ada di saku celana, bergerak-gerak untuk mengendalikan para singa itu. Keadaan membuat Amanda semakin panik. Amanda amblas ke tanah. Kekuatan andalannya ketika tidak ada kesempatan untuk terbang ke atas. Aku menggenggam tanganku karena salah satu singa tadi tidak berhasil meraih tubuhnya. “Kenapa dia senang amblas ke dalam tanah ya? Apa ada yang menarik?’ Agatha membuatku tertawa kecil. “Mungkin dia keburu mati jadinya suka amblas ke bumi.” Aku cekikikan. Aku mencoba memanjangkan kuku-kuku singa itu agar bisa meraih Amanda yang ada di dalam tanah. Sampai detik ini Ayah tidak berbuat apa-apa. Dia hanya diam saja, tidak bahagia dan tidak bersedih. Kuku itu berhasil melukai wajah Amanda. Amanda keluar dan berteriak-teriak ketika wajahnya tampak terukir bekas sayatan kuku. “Mampus!” Agatha mengepalkan tangan karena saking bahagianya. Aku menghentikan semuanya. Kali ini biar naluriyah saja. Aku tidak ingin mengerjainya lagi. Amanda meringis kesakitan ketika berlari menghindari para singa itu. Namun ternyata, di depannya, para harimau juga sudah menghadangnya. “Situasi ini bukankah sama dengan situasimu tadi?” Aku bertanya pada Agatha. Amanda memejamkan mata. Dia berusaha mengeluarkan kekuatannya untuk membunuh para singa itu. Lima belas singa seketika mati. Kini hewan-hewan buas itu berkurang. Boleh juga kekuatannya, aku membatin sembari tersenyum melihat dia berhasil membunuh lima belas singa itu. “Aku akan membunuh mereka lagi satu per satu.” Amanda mengepalkan tangan. Matanya memerah nyala. Wajahnya terlihat menakutkan. “Apa dia akan marah dan bisa membunuh para singa itu, Aleksia?” Agatha tampak keheranan karena tidak pernah melihat Amanda semarah ini sampai matanya memerah semua. Aku menggeleng. Aku tidak tertarik mengobrol dengan Agatha saat ini. Mataku memilih fokus melihat apa yang akan Amanda lakukan saat ini ketika sedang marah. Amanda berlari menghampiri para harimau. Dia pukulkan tangannya ke semua harimau itu, lima belas ekor harimau sudah mati. Dia tinggal membunuh tiga puluh hewan buas lagi. “Kenapa para harimau itu seperti tidak menyerang Amanda? Kenapa hanya diam saja?” Agatha menggigit bibirnya karena gemas dengan ujian yang Amanda lalui ini. “Aku rasa, Ayah akan membuat Amanda berhasil. Kita tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Sudah sangat jelas ujian ini dibuat-buat olehnya.” Aku menjelaskan pada Agatha sembari berbisik. Keterlaluan, hanya itu yang bisa Agatha ucapkan usai mendengar penjelasanku. Sebenarnya bisa aku membunuh Amanda dengan hewan-hewan buas itu, tetapi aku tidak mau. Untuk kecurangan kali ini aku ingin membiarkannya. Meskipun hatiku digumpali oleh amarah. Tidak bergeraknya para hewan buas membuat anak-anak lain saling bertukar pandangan karena bertanya-tanya ada apa dengan hewan-hewan itu. “Kalian lihat. Kali ini aku akan berhasil melewati ujian ini.” Lima ekor singa dan harimau yang tersisa berhasil dia bunuh. “Boleh kah aku memintamu, Aleksia? Aku ingin dia merasakan bagaimana gigitan para hewan buas itu. Lihatlah dia terlalu sombong kalau berhasil mengalahkan semuanya. Aku rela dia berhasil tetapi setelah merasakan apa yang aku rasakan, Aleksia. Tolong!” Agatha memelaskan wajahnya. Aku mengangguk. Mungkin hal ini juga bisa membuatnya mengurangi kesombongannya. Kembali aku gerakkan tanganku untuk mengendalikan para Cheetah itu. Amanda terkejut. Tetapi dia sok berani sehingga malah dia yang menghampiri Cheetah itu. Tangan Ayah sempat bergerak. Sepertinya dia hendak melarang Amanda karena bukan dia yang mengendalikan Cheetah itu. “Kemarilah hewan buas bodoh.” Amanda meminta Cheetah itu maju. Tanpa ampun aku langsung membuat dua puluh ekor Cheetah berlari mengejarnya. Dia terkejut karena Cheetah itu menyerangnya. Aku yakin dia berani menantang para Cheetah itu karena mengira Cheetah itu tidak akan menyerang. Para Cheetah itu membuatnya terjatuh. Kakinya menjadi bulan-bulanan para Cheetah. Usai melukai kakinya aku membuat para Cheetah kembali. “Sudah. Sesuai permintaanmu.” Agatha memelukku setelah aku mengatakan hal itu. Amanda meringis kesakitan sembari memegangi kakinya. Dengan kekuatan yang masih tersisa, dia berhasil membunuh dua puluh Cheetah itu sekaligus. Kali ini dia tidak sesombong tadi karena kakinya memang benar-benar teluka. Teman Amanda maju dan membantu Amanda berjalan hingga kembali di sini. Ayah mengumumkan kalau ujian yang Amanda lalui berhasil meskipun dengan luka di kakinya. “Sialan. Kenapa para hewan buas itu menyerangku. Padahal aku sudah meminta Ayah untuk membuat para hewan buas itu diam dan tidak menyerangku.” Amanda mengumpat. Sedikit-sedikit dia juga merintih. Secara mengejutkan, Ayah memberi waktu jeda untuk ujian ini. Semua boleh pergi kecuali aku. Begitulah perintahnya. Semua saling memandang dan terheran-heran. Sedangkan aku bersikap biasa saja. Satu per satu mereka meninggalkan kami. Ayah tidak menatapku dengan tatapan amarah. Ada sedikit kebanggaan di sana. “Kenapa kamu melakukan semua itu?” Ayah mencoba menyelidikiku. “Seharusnya aku yang bertanya padamu Ayah. Kenapa Ayah membiarkan para singa itu diam dan tidak menyerang Amanda. Padahal jelas sekali waktu Agatha ujian, para hewan buas itu sangat agresif. Tetapi kenapa waktu Amanda, para hewan buas itu pasif?” aku bertanya dengan nada kesal. Ayah tersenyum. Tangannya memegang pundakku. Dia mengatakan kalau aku sudah menguasai kekuatan yang aku miliki dengan sempurna. Aku bisa membaca keadaan, aku bisa mengendalikan dari jarak jauh dan aku bisa membaca pikiran orang. “Kamu dibekali kekuatan yang lengkap dan jujur kekuatanmu itu berhasil mengalahkan kekuatanku sendiri bahkan. Sebenarnya ujian ini bukan lagi untukmu. Kamu sudah harus bertarung dan bergabung dengan VENOM, Aleksia.” Ayah tersenyum. Aku menggeleng. Aku belum siap secara batin. Usiaku masih seusia anak-anak yang ingin bermain dengan teman-temannya. Bukan memasuki dunia bertarung seperti itu. *** Kami melanjutkan perjalanan menunju kantor desa. Tedjo yang aku mintai petunjuk kebingungan. Kantor desanya tidak ada. “Bagaimana bisa kamu yakin kalau persawahan itu adalah kantor kepala desanya?” Aku keheranan. “Aku yakin, Komandan. Kantornya ada di situ.” Tedjo kembali membela pendapatnya tentang letak kantor desa itu. Dia terus-menerus menunjuk persawahan itu. Keganjilan kembali terjadi. Jangan-jangan semua desa ini sudah terpengaruh oleh muslihat paranormal itu. Sehingga kantor desa yang Tedjo yakini ada di samping kami ini menjadi persawahan. “Mungkin desa ini sudah terkontaminasi dengan kegiatan paranormal. Sehingga semuanya menjadi ganjil dan aneh.” Willy menggelengkan kepala. “Coba kita tanya orang-orang tadi. Bawa satu ke dalam mobil ini.” Aku meminta Tedjo turun dari mobil untuk membawa salah satu dari mereka untuk masuk ke mobil ini. Mereka yang terkena borgol mantra tidak dapat lari. Sempat waktu kami tangkap, mereka berlagak sombong. Tetapi ketika borgol itu melekat di tangannya, mereka kesulitan melepasnya. Jimat dari kepala desa itu memang manjur. Tedjo menuntun salah satu dari mereka dari mobil tanan menuju mobil ini. Aku sudah tidak sabar mengungkap keganjilan ini. “Ayo masuk.” Tedjo mendorong tubuh orang itu hingga masuk ke mobil. “Namamu siapa?” Aku seketika menanyakan namanya. “Argo.” Dia menjawab sekadarnya. Aku tidak memarahi Argo karena menjawab dengan nada ketus dan singkat. Mungkin di hatinya masih tersimpan rasa kesal karena berhasil kami tangkap. Rambutnya agak panjang. Sehingga lambang L yang katanya ada di bawah telinga belum bisa kami lihat. Rambutnya yang sebahu menghalangiku untuk bisa melihatnya. Dengan sedikit aku paksa, rambut itu tersibak. Dan benar, di bawah telinganya ada lambang L. “Lihat, ada lambang L di bawah telinga ini.” Aku menyentuh Willy, Tedjo, dan sang sopir untuk melihat lambang itu. “Eh iya. Ada lambangnya, Komandan.” Tedjo menaikkan bahu tidak menyangka jika ada lambang L di bawah telinganya. Dengan begitu, sudah jelas. Desa ini menjadi markas LIGHTBORN. Kami harus lebih berhati-hati lagi. Tedjo mencoba menginstrogasi Argo. “Apa benar kalian anggota LIGHTBORN?” Aku bertanya lagi ketika pertanyaan Tedjo sama sekali tidak mendapatkan jawaban darinya. “Kami bukan anggota itu. Kami ya kami. Bukan anggota dari itu.” Mendengar jawabannya aku bisa menebak kalau dia berbohong karena ingin menutup-nutupi keanggotaannya. Aku katakan pada Tedjo kalau sebenarnya desa ini sudah terkontaminasi oleh paranormal itu. Mungkin nyaris sebagian warga desa berhasil dia pengaruhi hingga mereka menjadi desa ini sebagai markas. Kebetulan sekali, kami tidak perlu mencari-cari lagi di mana LIGHTBORN berada. “Kamu yakin tidak mau memberitahu kami?” Sekali lagi aku bertanya mencoba menggoyahkan pendiriannya. “Kami bukan anggota siapa-siapa.” Argo masih bersikeras tidak mau menunjukkan identitas dirinya. Aku diam usai memberikan pertanyaan itu. Tidak mungkin aku terus memaksanya, aku khawatir dia sedang menghubungi siapa pun untuk membantunya menyerang kami. “Kalau kantor desa ini tidak ada. Kamu masih hafal dengan rumah paranormal itu?” aku mencoba cara lain. Mungkin pusat dari semua ini adalah rumah dari paranormal itu. “Tentu aku masih hafal sedikit, Komandan. Aku sudah lama tidak datang ke desa ini.” Tedjo mengangguk ragu. Aku meminta Tedjo menjadi penunjuk arah. Sesekali aku mengawasi Argo. Mulai dari mulutnya hingga seluruh tubuhnya. Siapa tahu kami lengah dan mereka sudah menyiapkan massa untuk menyerang kami. “Sembari aku memberi petunjuk. Aku akan menghubungi kepala desaku lagi, Komandan.” Aku mengangguk mengizinkan Tedjo. Tedjo mencoba menelepon kepala desanya itu. Aku terus mengamati sekitar. Ada satu orang yang aku lupakan, Jason. Tubuhku keluar dari jendela dan melihat di atas mobil. Jason masih tertidur pulas di atas mobil meskipun terik begitu terasa menyengat. “Kepala desaku tidak berani menjawab. Teleponnya hanya berdering saja, Komandan.” Dugaanku sudah tidak salah lagi. Pasti mereka yang kami tangkap ini bertugas menangkap kami setelah kami memberitahukan padanya kalau kami akan mendatangi desanya. “Kita tidak perlu menggubris kepala desa itu. Yang terpenting kita harus fokus dengan rumah paranormal itu.” Aku memberi instruksi. Argo sejak tadi menggelengkan kepala. Mungkin dia sedang mencerna apa yang terjadi padanya saat ini. Baru pertama kali borgol yang melilit tangannya tidak bisa dia lepaskan. Aku tersenyum melihat tangannya bergerak-gerak mencoba melepaskan borgol itu. “Sebanyak apa pun usahamu. Borgol itu tidak akan lepas. Tenanglah kalau kamu bersahabat denganku, aku juga lebih bersahabat.” Aku tersenyum mencoba menggoyahkan pendiriannya. “Aku tidak sudi.” Dia masih ketus. Aku tertawa kecil dan tidak lagi menggubrisnya. Di tengah perjalanan kami dicegat oleh puluhan orang lagi. Aku tidak mau Argo memberitahu teman-temannya tentang kekuatan kami yang sebenarnya. Maka untuk itu, aku melakban mulutnya dengan lakban hitam yang sudah diberi mantra. Dia menggelinjang mencoba melepaskan lakban dan borgolnya. Aku meminta Tedjo menunggunya di dalam mobil, sedangkan aku yang lain turun mendatangi mereka. “Ada apa? Kenapa mobilnya berhenti?” Jason menongolkan kepalanya dan bertanya padaku. “Lihat itu, ada yang mencegat kita.” Aku menunjuk puluhan orang yang sedang menghadang kami. Jason mendengus kesal. Dia langsung melompat dan duduk di tepi sungai sambil memandangi persawahan. Aku mendatangi mereka dengan senjata yang masih ada di dalam saku. Mereka semua tampak keheranan karena manusia sepertiku bisa menangkap para penjaga desa ini. “Kami tahu, para penjaga desa kami kalian tangkap. Memangnya ada keperluan apa kalian datang kemari?” salah satu dari mereka maju dan menjadi juru bicara. “Sebenarnya kami hanya ingin berurusan dengan satu orang saja. Tidak lebih.” Aku tersenyum ketika menjawab pertanyaan mereka dengan nada ramah. “Kami semua adalah keluarga. Berurusan dengan satu orang sama saja berurusan dengan satu desa.” Juru bicara kubu lawan berdalil. Aku melirik Tedjo, apa benar yang menjadi juru bicara ini adalah paranormal itu. Tedjo mengangguk membenarkan dugaanku. Ternyata ini paranormal itu. “Apa kalian LIGHTBORN itu?” Aku tersenyum. “Memangnya kenapa kamu tanya-tanya seperti itu? Apa pentingnya buat kamu?” Paranormal itu seperti sedang mengalihkan perhatianku. Aku tahu dia belum berani mengatakan sesuatu tentang organisasinya itu. Aku jelaskan saja kalau aku ingin tahu tentang organisasi itu. Kalau benar katakan benar, kalau tidak, tinggal menjawab tidak. Tidak perlu berbelit-belit seperti itu. “Kamu tidak perlu tahu tentang organisasi itu. Hal itu sama sekali tidak penting buat kamu dan anggotamu itu.” Dia bersikap lebih keras dari sebelumnya. Aku mulai mengerti, kalau dia tidak bisa diajak bersahabat lagi. “Memangnya kenapa aku tidak boleh tahu soal organisasi itu?” Aku membalik pertanyaan ini untuk mereka. Mereka tidak menjawab dan malah menyerang kami dengan cara menghilang dan lari cepat. Jason yang sejak tadi duduk di tepi sungai mulai membantu kami. Kekuatan ini hanya bisa diimbangi dengan kekuatan Jason. “Siapa anak ini? Kenapa dia memiliki kekuatan yang sama dengan kekuatan yang kami miliki?” paranormal itu terkejut ketika Jason berhasil mengejar mereka padahal mereka sudah menggunakan kekuatan menghilang andalan mereka. “Kami tidak tahu, Bos. Anak ini sangat lincah. Sepertinya dia sudah terlatih.” Anak buah paranormal itu terdengar panik. Tak berselang lama, aku mendengar suara pukulan dan tendangan dari dalam kilatan-kilatan itu. Aku menggelengkan kepala. Beberapa anak buah dari paranormal itu terpelanting. Mereka terguling-guling ke tanah. Aku terkejut dengan kekuatan Jason. Dia bisa melawan sepuluh orang itu. “Jason ternyata mempunyai kekuatan di atas rata-rata, Komandan.” Willy menggelengkan kepala.   16. Ayah menawariku untuk bergabung dengan VENOM saat ini serta membebaskanku dari semua ujian ini. Tetapi aku menolaknya. Selain usiaku masih kecil, aku juga tidak tega meninggalkan Agatha sendirian. “Kalau kamu tidak mau, tidak apa-apa. Karena kamu sudah berhasil menguasai semua kekuatanmu sendiri, kamu aku biarkan melakukan sesuatu. Kamu berhak mendapat kebebasan itu.” Ucapan Ayah barusan membuatku tidak percaya. “Apa aku juga boleh keluar dari sekolah ini dan berjalan-jalan melihat dunia luar, Ayah?” eskpresiku seperti anak kecil yang meminta permen pada Ayahnya. Ayah mengangguk. Aku senang sekali mendengar itu. Saking senangnya, tanpa aku sadari aku memeluk Ayah. Ayah tertawa sendiri melihat ini. Dari balik dinding, aku dapat melihat Amanda menguping sejak tadi. Tetapi Ayah memberinya dinding ghaib lagi sehingga dia tidak bisa mendengar apa yang kami bicarakan. “Kalau begitu kita lanjutkan ujian ini. Untuk mengurangi kecurigaan kamu juga harus tetap mengikuti ujian ini dan satu tamparan untuk meyakinkan yang lain kalau kamu sedang aku hukum.” Ayah menamparku dan aku hanya mengangguk tidak membalasnya. “Baik, Ayah. Aku akan kembali ke ruangan terlebih dulu agar mereka tidak curiga.” Aku berbalik badan dan berjalan kembali ke ruangan. Ketika aku berpaprasan dengan Amanda, dia tampak terkejut sekaligus senang karena di wajahku ada bekas luka tamparan. Karena merasa dapat hiburan, dia memanggil semua anak berkumpul untuk melihatku. “Ini akibat berani membantah perintah Ayah. Makanya jadi anak jangan sok-sokan pakai protes segala. Memangnya kalau sudah lulus di ujian pertama, kamu bisa bertindak seenaknya begitua?” Amanda tertawa sambil bertepuk tangan. Semua anak yang berkumpul saling berbisik. Ketika aku melihat Agatha, wajah Agatha tampak murung dan merasa bersalah. Dia membatin semua yang terjadi padaku ini karena kesalahannya. “Agatha kemarilah. Ini teman yang selalu kamu banggakan? Lihat dia kena hukuman karena gayanya yang sok itu.” Amanda mencoba menarik tangan Agatha. Tetapi Agatha menolaknya. “Jaga mulutmu. Aku yakin dia tidak mungkin membangkang seperti dirimu yang suka protes dan dibela oleh ayah kandungmu.” Aku terperangah ketika Agatha mengatakan hal itu. Mendengar ejekkan dari Agatha, amarah Amanda memuncak. Mereka sempat terlibat adu mulut sebelum adu kekuatan. Mereka saling serang dengan kekuatan masing-masing. Aku hanya bisa menyaksikkan pertarungan ini. Sebenarnya aku ingin membantu Agatha karena memang sejak tadi Amanda menghinaku habis-habisan. Tetapi karena aku yakin Agatha bisa melaluinya, aku memilih untuk diam. “Dasar perempuan tidak tahu malu.” Agatha menjambak rambut Amanda dengan beberapa tangan ghaibnya. “Memangnya aku bisa kamu kalahkan dengan kekuatan bonekamu itu ha.” Amanda menghilang dan rambut itu terlepas sendiri dari gegnggaman Agatha. Agatha mengumpat. Dia mencari di mana Amanda berada dengan cara menajamkan telinganya. Ketajaman pendengaran Agatha meningkat. Dia bisa mengetahui keberadaan Amanda dari suara langkah kakinya. “Kamu pasti ada di belakangku.” Agatha langsung menghadiahi Amanda bogem mentah saat Amanda hendak meraih kepala Agatha. “Aduh.” Agatha terpental dan tubuhnya kembali tampak. Meskipun kepalanya pusing seperti diserang seribu palu, dia tetap berdiri melawan Agatha. Amanda mencoba melempar pisau ghaib ke perut Agatha. “Beraninya menikung dari belakang.” Agatha melompat, menghindari pisau yang terbang deras ke arahnya. Agatha membalasnya. Dia menarik kaki Amanda hingga terjungkal. Kepala Amanda terbentur lantai. Dia meringis kesakitan. “Sudah jangan bertarung lagi. Kalian mengganggu fokus kami nanti.” Chelsea yang merasa terganggu maju ke depan dan melerai mereka. “Kamu itu jangan sok-sokan melerai.” Amanda menyerang Chelsea. Chelsea yang tanggap langsung menangkis serangan itu. Kini malah giliran mereka yang bertarung satu dengan yang lainnya. Namun melihat dari gerakkan Chelsea, Chelsea berada di atas awan ketika melawan Amanda. Kekuatannya jauh lebih baik ketimbang kekuatan Amanda. “Apa Ayah menghukummu gara-gara aku?” Agatha bertanya panik. “Tidak tenanglah. Nanti akan aku ceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Kita urus saja kelakuan Amanda saat ini.” Aku menunjuk Amanda yang masih mencoba menyerang Chelsea. Padahal Chelsea sudah tidak sudi meladeninya. Chelsea berjalan kembali ke kerumunan, tetapi Amanda terus menghalangi jalannya. Karena amarah Chelsea memuncak, tanpa ampun lagi, dia menghabisi Amanda. Seluruh wajah Amanda bonyok karena terkena pukulan dari Chelsea. Dia kira Chelsea tidak memiliki kekuatan apa? “Tadi aku sudah bilang kalau jangan main-main denganku. Aku tidak suka ada yang pamer kekuatan di sini.” Chelsea marah-marah sendiri. Tetapi ketika dia menatapku, dia menunduk. Kami semua bubar meninggalkan Amanda yang masih terlentang dengan wajah yang tidak berbentuk lagi. Dia belum kapok dan masih berambisi membalaskan dendamnya pada Chelsea. “Mentang-mentang bisa mengalahkanku saat ini, dia merasa paling jagoan apa ha? Kalau saat ini emang aku akui kalau aku kalah karena kurang siap. Lain kali awas.” Dia berteriak-teriak sendiri mengancam Chelsea. Agatha dan aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkah lakunya yang seperti itu. Tanpa banyak obrolan yang lain, aku ceritakan semua tentang kebebasanku karena berhasil menguasai seluruh kekuatanku. “Wah hebat sekali. Itu satu kebanggaan. Kamu bisa jalan-jalan tanpa perlu ujian lagi.’ Mata Agatha berbinar-binar. “Tidak bisa. Katanya untuk menutupi kecurigaan, Ayah memintaku untuk mengikuti semua ujian ini. Hanya saja kapan pun aku keluar dari sekolah ini, aku diperbolehkan.” Agatha bertepuk tangan dan mengacungkan dua jempol untukku. *** “Siapa kamu? Dari mana kamu bisa mendapatkan kekuatan seperti itu?” Paranormal itu terjebak dalam duel melawan Jason. “Apa pentingnya pertanyaanmu itu buat aku?” Jason berkacak pinggang karena terlalu santai berhadapan dengan paranormal itu. Paranormal itu menggeleng dan dia kembali berduel melawan Jason. Jason yang sudah dilatih oleh kepala desa memang lihai dalam berduel. Latihannya membunuh Hiu di dasar laut membuatnya bertarung dengan santai. “Aku bosan kalau hanya segini saja kekuatanmu.” Jason menguap usai menjatuhkan paranormal itu ke tanah. “Sialan!” Paranormal itu berdiri dan berlari mendekati Jason. Belum sampai di depannya, paranormal itu sudah terjatuh lagi. Aku menelan ludah ketika melihat kekuatan Jason yang tiada tandingannya itu. Jason memintaku untuk memborgol anak buahnya. “Borgol saja, Om. Mereka sudah bukan tandinganku lagi.” Jason menguap. Dia duduk di atas monyong mobil. Aku segera meminta anak buahku untuk memborgol mereka. Mereka kewalahan berdiri dan melawan. Hingga tangan mereka ke borgol, mereka juga tidak sanggup melepaskan diri. Namun ketika kami hendak menangkap paranormal itu, seketika langit menjadi gelap. Awan-awan hitam bergumpal di atas kami. Jason bertepuk tangan. “Kenapa baru ngeluarin kekuatan yang bagus ini sekarang. Kan aku bosannya sejak tadi. Kalau begini makin seru nih.” Jason turun dan kembali mendekati paranormal itu. “Jangan meremehkan kekuatan ini anak kecil, ini bukan kekuatan sembarangan yang bisa kamu remehkan seperti itu.” Paranormal itu memejamkan mata. Tangannya dia angkat ke atas. Petir menyambar-nyambar seketika. Suara gemuruh petir dan gelegarnya membuat kami ketakutan. Aku meminta semua untuk masuk ke mobil. “Kalian masuk saja, tenang saja urusan ini biar aku yang menyelesaikannya.” Jason berjingkrak-jingkrak senang. “Hati-hati Jason.” Aku mengingatkan sebelum masuk ke mobil. Jason mengacungkan jempol dan berfokus untuk menghadapinya. Paranormal itu mengambil petir dan memegangnya seperti dia memegang tongkat biasa. Melihat itu mataku terpana. Keren sekali ini. Baru kali ini aku melihat petir dapat dipegang dengan semudah itu. “Memangnya aku suka kamu aja bermain-main terus seperti itu ha? Ini rasain petir dariku.” Paranormal itu melempar pertir ke tubuh Jason kecil. “Awas Jason.” Aku berteriak meminta Jason untuk menghindar. Tetapi seketika tubuh Jason bercahaya sangat terang hingga kami terpaksa menutup mata. Cahaya itu sangat terang sekali. Ketika cahaya itu redup, tubuh Jason masih tetap utuh. Paranormal itu terperangah tidak percaya. Bagaimana bisa petir sehebat itu dapat dia tangkis hanya dengan menggunakan cahaya super. “Itu hanya terasa menggelitik di tubuhku. Adakah yang lain?” Jason tertawa kecil dan kembali menantang paranormal itu. “Sialan. Memangnya kamu siapa sih?” paranormal itu mulai kebingungan. Tangannya kini mengeluarkan bola-bola api. Jason semakin kegirangan layaknya anak kecil yang kegirangan karena mendapatkan mainan baru.  “Wah kalau ini kesukaanku. Aku suka bermain bola api.” Jason bersiap menangkap. Paranormal itu melempar bola-bola itu ke arah Jason. Jason menangkapnya dan mengumpulkan bola-bola api itu di tangah kirinya. “Sialan. Berani-beraninya merendahkan aku.” Paranormal itu membuat bola api yang lebih besar lagi. Jason terkagum-kagum melihat bola api yang sangat besar itu. Dia letakkan kumpulan bola api itu di sampingnya dan tangannya kembali bersiap memeluk bola api yang besar itu. “Lempar, Om. Lempar saja bola itu biar aku peluk.” Jason malah meminta paranormal itu agar melempar bola api yang dia buat. Dengan menggelengkan kepala karena heran atas permitaan Jason, dia akhirnya melempar bola api yang besar sekali. Bola itu Jason peluk dengan santai. Bahkan dia memejamkan mata dan menempelkan pipinya ke bola itu. Ini sudah di luar nalar. Aku tidak berkomentar apa-apa lagi. “Terima kasih, Om. Sudah ngasih bola ini. Bola ini untukku ya. Om tak kasih yang baru.” Jason meletakkan bola api yang masih menyala-nyala di samping kanannya. Kini tangannya mengambil bola-bola api kecil yang dia kumpulkan tadi. Dengan lincahnya, dia menjadikan bola-bola api itu menjadi satu dan lebih besar dari sebelumnya. “Mau kamu apakan bola api itu?” Paranormal itu kepanikan ketika melihat Jason mengumpulkan bola api itu menjadi satu. Bola api itu kian besar dan kian membesar. Paranormal itu bersiap berlari ketika Jason melemparkan ke arahnya. “Itu bola untuk menukar bola api yang Om, berikan. Makasih ya.” Tanpa dosa, Jason mengambil bola itu dan bermain-main sendiri. Paranormal itu tidak bisa menghindari bola api itu lagi. Tubuhnya hangus seketika saat bola itu melindasnya. Dan sawah-sawah itu memberikan bekas dari larinya bola api itu. Langit seketika menjadi cerah kembali. Aku dan yang lain keluar menghampiri paranormal yang tubuhnya sudah hangus terpanggang. “Tangkap saja aku. Aku tidak mau bertemu dengan anak sialan itu lagi.” Paranormal itu menyerahkan diri. Dia lentangkan kedua tangannya ke depan. Aku memborgolnya dan membawanya ke tepi sungai. Sebelum masuk ke dalam mobil, aku ingin membersihkan tubuhnya terlebih dulu agar tidak hangus seperti itu. “Mungkin kalau kamu adalah manusia biasa. Kamu sudah mati sejak api itu melindas tubuhmu. Lihat tubuhmu saja masih terasa panas.” Aku terkejut saat hendak memegang tubuhnya bagian d**a karena masih terasa panas.   17. Ayah mengumumkan kalau ujian dihentikan sampai besok. Aku senang sekali mendengar berita itu. Aku meminta izin pada Agatha untuk keluar dari sekolah ini. Keadaan sekolah yang begini-begini saja membuatku bosan. Aku ingin jalan-jalan sebentar. “Hati-hati di jalan, Aleksia. Belikan aku sesuatu kalau kamu pulang nanti. Aku akan menukarnya.” Agatha mengacungkan dua jarinya. Aku mengangguk. Malam ini jalanan depan sekolah sangat lengang. Tidak ada motor yang lewat. Aku tidak tahu mau ke mana, yang jelas aku rindu hidup normal seperti manusia biasa. Minimal seperti dulu lagi. Aku melewati jalanan kampung yang dipenuhi rumah-rumah sederhana. Melihat bangunan itu, aku menjadi teringat rumahku dulu. “Cepat. Cepat. Nanti keburu ada yang lewat.” Ketika aku sampai di tengah jalan, aku mendengar ada suara berisik. Aku menggunakan kekuatan ghaibku untuk melihat siapa yang malam-malam begini berbisik-bisik mencurigakan. “Bagaimana motornya? Sudah bisa kamu ambil belum?” Ada dua laki-laki memakai baju hitam dan memakai topeng. “Motornya sudah bisa. Kalian tunggu saja di depan gang. Nanti ada yang ketahuan, kita bisa babak-belur.” Aku yakin mereka adalah maling. Aku merasa kesal dengan para maling itu. Kenapa mereka memilih mencuri di rumah-rumah sederhana ketimbang mencuri di rumah-rumah orang kaya. Aku tidak bisa membiarkan pemilik rumah ini kehilangan motor berharganya. Mungkin motor itu dia beli dengan bersusah payah menabung atau kredit. “Siapa yang melempar batu itu?” Pencuri itu kepanikan ketika aku dengan sengaja melemparinya batu tepat di kepala. “Aku Partini. Pemilik rumah ini jaman dulu.” Aku mencoba menirukan suara orang dewasa dan mendengarkan suara ini pada pencuri itu. Pencuri itu panik. Motornya tidak bisa dia nyalakan. Aku semakin senang mengerjainya. Kain putih yang tergeletak di sampingku, aku letakkan di stang motor. “Setan. Tolong ada setan.” Pencuri itu lari terbirit-b***t ketika melihat kain putih ada di stang motornya. Dia lari ke arah teman-temannya yang dia minta untuk menunggunya di depan gang. Aku mengejarnya. Belum puas mengerjainya, aku mencekal kakinya hingga terjatuh. “Setan.” Dia merangkak dan melupakan rasa sakitnya. Kembali dia berlari sekencang mungkin untuk sampai di depan gang. Karena saking takutnya, dia menabrak kedua temannya. Mereka terjatuh bersama-sama. Aku terpingkal-pingkal melihat kejadian ini. “Kenapa kamu lari-lari?” Temannya memukul kepalanya karena berlari tanpa melihat-lihat depannya. “Ada... ada ... setan.” Dia berkata terbata-bata dan seluruh tubuhnya menggigil. “Mana mungkin ada setan di sini?” Teman-temannya tidak percaya dengan apa yang dia katakan barusan. Dia meminta teman-temannya mengecek. Teman-temannya pun mengecek. Mereka tidak percaya karena dia sering berhalusinasi soal hantu. Mereka berjalan seperti jagoan kembali masuk gang. “Mau ke mana, Om?” Akhirnya aku menampakkan diri. Dia terperanjat dan berlari. “Setan ... setan ...” Mereka berlari terbirit-b***t menghampiri dia lagi. Dia menyumpahi teman-temannya karena tidak percaya dengan apa yang dia katakan barusan. Napas mereka tersengal-sengal. “Benar katamu. Setannya anak kecil kan?” Temannya bertanya. “Ha? Anak kecil? Setannya ibu-ibu namanya Partini.” Dia menggelengkan kepala. Seketika mereka menyimpulkan kalau ada dua hantu di gang itu. Mereka hendak lari tetapi aku mencegatnya. “Anak itu lagi. Tolong ... tolong ... ada setan.” Mereka memutar balik dan berlari meninggalkan motornya. Rasanya ini lebih seru ketimbang ujian-ujian di sekolah. Aku terus mengejar mereka sampai aku merasa puas baru aku akan mencari mainan lain lagi. “Ampuni kami. Tolong jangan ikutin kami. Kami tidak punya permen, Dek. Adek sama yang lain aja ya.” Mereka menceracau tidak jelas ketika berlari. “Aku maunya sama Om. Om ganteng dan gagah-gagah.” Aku tertawa cengigisan. Mereka semakin cepat larinya. Sampai di persimpangan jalan mereka tersandung dan terjatuh. Mereka menangis dan terus menerus meminta ampun. Aku membuka topeng mereka. “Tenang Om. Aku bukan hantu. Aku hanya anak kecil biasa.” Aku nyengir. Mereka yang sejak tadi memejamkan mata langsung membuka dan terkejut. Mereka mengamati kakiku. Kakiku masih menapak jalan. “Benar Bos dia bukan hantu.” Dia yang tadi mau mengambil motor meyakinkan kedua temannya kalau aku bukan hantu. “Kalau kamu bukan hantu, kenapa kamu mengejar-ejar kami seperti tadi?” mereka berdiri dan bertanya padaku dengan tatapan galak. Aku jelaskan sebenarnya aku ingin melaporkan mereka ke polisi. Seketika mereka tertawa ketika mendengar kata-kataku itu. “Anak kecil kamu pulang saja ya, Om-om ini tidak ada waktu main polisi-polisian dengan kamu.” Wah ternyata ketika mengetahui aku anak kecil beneran dia malah menyepelekkanku. “Aku bukan anak kecil biasa, Om. Mau mencobanya?” Aku berkuda-kuda dan hendak bertaruk dengan mereka. Mereka malah menertawaiku seperti itu. Aku merasa kesal. Dengan kekuatanku, aku mengeraskan kakiku sekeras besi palu. Ketika kakinya aku tendang, dia langsung menjerit kesakitan. Kakinya patah. “Bos, tolong bos. Kakiku patah karena ditendang anak ini.” Dia meminta tolong pada teman-temannya. “Kamu itu kalau bercanda jangan berlebihan.” Mereka yang belum melihat dengan jelas kaki anak buahnya itu masih menganggap semua ini bercandaan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN