Diusir Dari Rumah

1572 Kata
Ayana seketika mendorong pintu dengan keras. Dia tidak tahan menyaksikan perbuatan tercela itu. Erangan juga desahan saling bersahutan dari mulut keduanya. Melihat kedatangan Ayana yang tiba-tiba, Daniel dan juga Alma segera menarik diri masing-masing. "Sayang, kau sudah pulang? Ini tidak seperti yang kau lihat," jawab Daniel gelagapan. Segera memakai celana dan bajunya. "Apa yang kalian lakukan?" teriak Ayana dengan marah. Sedangkan Alma segera menutupi tubuh polosnya dengan selimut. Dia tetap meringkuk di ranjang dengan wajah memelas. Pura-pura menangis. "Aku tidak tahu kalian sedang bersenang-senang di belakangku," ucap Ayana dengan sinis. Hatinya serasa ditusuk ribuan jarum. Sakit, tetapi tak berdarah. "Maafkan aku, Kak," sahut Alma dengan suara lirih. "Maaf katamu? Apa kau tidak sadar perbuatanmu ini sangat menjijikkan?" teriak Ayana menunjuk adiknya. "Jangan membentaknya! Bukan salah Alma. Aku yang merayunya terlebih dahulu," bela Daniel terang-terangan. Ayana menggeleng keras. "Kau bahkan lebih membela dia daripada aku istrimu? Sejak kapan kau berhubungan dengan adikku?" "Sejak kau tidak bisa memberiku keturunan," jawab Daniel lantang. "Jadi, itu alasanmu? Perkara keturunan itu kuasa Tuhan. Kalau Tuhan belum juga memberiku anak, lantas aku bisa apa? Kata dokter juga tidak ada masalah kan dengan kandunganku, kenapa kau tidak bisa bersabar lebih lama lagi?" balas Ayana melirihkan suaranya. Lututnya masih gemetar, sulit baginya menerima kenyataan bahwa mereka telah mengkhianatinya. "Halah, kau banyak alasan. Katakan saja kalau memang kau mandul." Ucapan Daniel sukses membuat Ayana semakin naik pitam. "Aku muak denganmu, sekaligus malu pada orang tua dan teman-temanku, kita sudah melakukan berbagai upaya. Mulai minum ramuan herbal, cek up rutin tiap bulan, program hamil. Semuanya sudah kita lakukan, tapi apa hasilnya? Nihil!" ucap Daniel dengan penuh penekanan. "Kau pikir aku tidak menderita? Aku sudah berusaha semampuku. Berkali-kali aku menelan kekecewaan ku sendiri tanpa kau peduli sedikitpun. Sekarang kau justru berselingkuh dengan adikku. Sungguh hina yang kau lakukan!" Ayana mulai meradang. "Jaga mulutmu!" Tangan Daniel terayun ke udara dan hendak memukul Ayana namun ditahan oleh Alma. "Jangan pukul kakakku, ini semua salahku," lirih Alma menunduk. Daniel kembali melembut. "Jangan salahkan dirimu! Aku yang memilihmu untuk melahirkan keturunanku." "Cih, dasar kalian tidak tahu malu," umpat Ayana tidak tahan. "Pergi kau, sebelum kesabaran ku habis," balas Daniel dengan kasar. Ayana melebarkan kedua bola matanya. Tidak percaya dengan apa yang didengarnya. Sang suami mengusirnya? Hanya demi melindungi adik kandungnya? Tamparan keras pun mendarat di pipi Daniel. Ayana ingin sekali mencabik-cabik wajah suaminya yang tidak tahu diri itu. "Oh tidak, Daniel!" pekik Alma segera membantu pria itu menjauh dari kakaknya. "Kau berani sekali menamparku, mau cari gara-gara denganku, hah?" tantang Daniel meradang. "Ya, memangnya kenapa? Aku juga sudah muak melihatmu, di mana urat malumu, sekarang juga pergilah dari rumahku!" balas Ayana emosi. Daniel justru mencemooh dengan senyum mengejek."Rumahmu? Apa kau tidak salah?" "Tentu saja tidak. Rumah ini atas namaku sejak awal, karena aku yang bekerja keras membelinya dengan menyicil, juga menabung dari hasil jerih payahku," jawab Ayana dengan mantap. Selama ini sang suami memang tidak ikut andil dalam deposito rumahnya. Ayana sendirilah yang berusaha melunasi semua pembayaran per-bulan. Daniel masih saja mengulas senyum dan tidak bergeming sedikit pun. Pria itu kemudian mengambil sebuah berkas dalam lemari kamarnya. "Lihatlah! Rumah ini sudah atas namaku. Dan, kau tidak punya hak untuk mengusir kami dari sini," tegas Daniel membuat Ayana menganga. "T-tunggu dulu! Aku tidak ingat kapan pernah membubuhkan tanda tangan di sini," ucap Ayana merasa bingung. Dalam surat itu menjelaskan bahwa dia telah menyetujui kepemilikan rumah atas nama Daniel. Daniel pun tertawa keras. "Ternyata kau tidak hanya mandul, tapi juga bodoh." Ayana mulai mencengkram ujung kemejanya. Suaminya itu sudah keterlaluan. "Kau ingin tahu? Tentu saja Alma yang melakukannya," lanjut Daniel dengan santai. Tatapan Ayana beralih kepada adiknya. "Jadi, kau memalsukan tanda tanganku?" Alma mengangguk dengan berat hati. "Ma-maaf, Kak, tapi aku terpaksa melakukannya." Ayana sudah kehabisan kesabaran. Dia seketika maju mendekati Alma dan menyerangnya. Sedangkan Daniel dengan sigap memisahkan mereka. "Sekarang kau yang angkat kaki dari sini. Jangan pernah menyakiti Alma lagi! Besok aku akan secepatnya mengurus perceraian kita," bentak Daniel. "Apa? Cerai?" Hal yang tidak pernah terpikirkan oleh Ayana selama hidupnya. Rumah tangga yang ia bangun tiga tahun yang lalu harus berakhir karena skandal sang suami dengan adiknya. Air mata Ayana mengalir membasahi pipi. Tidak dapat lagi menahan kepedihannya. Perlahan dia mengambil suitcase miliknya di atas lemari, mengepaki beberapa barang berharga dan pakaian secukupnya. Sebelum pergi, Ayana masih sempat menatap tajam Alma yang ada di samping Daniel. Gadis itu melihatnya dengan pandangan iba. "Jika saja ayah dan ibu masih hidup saat ini, dia pasti kecewa terhadapmu, Al. Mereka pasti akan mati mendadak jika mengetahui apa yang kau lakukan ini. Untung saja sekarang mereka sudah tenang di surga. Nikmatilah kesenanganmu saat ini! Tapi ingat, karma Tuhan itu nyata. Kau akan merasakannya suatu saat nanti," urai Ayana dengan berapi-api. "Pergi dari sini cepat! Pergi!" teriak Daniel memutus ucapan Ayana. Wanita itu pun pergi dengan berlinang air mata. Dia tidak tahu harus ke mana. Tiba-tiba dia teringat Stella – sahabatnya saat duduk di bangku kuliah yang tinggal di dekat kantornya. Dia bisa menghemat ongkos. Taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan kontrakan milik Stella. Ayana segera menekan bel beberapa kali sampai temannya itu keluar dan terkejut mendapati Ayana membawa suitcase sembari menangis. "Ayana? Ada apa malam-malam begini? Apa yang terjadi padamu?" Wanita itu langsung menghambur kepelukan Stella tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Hanya Isak tangisnya yang terdengar semakin keras. Setelah beberapa menit hanya mendengar Ayana menangis, akhirnya Stella pun mampu membuat sahabatnya itu lebih tenang hingga bisa menceritakan apa yang terjadi. "Apa? Suamimu selingkuh? Dengan Alma?" Stella terkejut bukan main. "Ya, begitulah," jawab Ayana pasrah. "Mereka itu benar-benar keterlaluan. Beraninya bermain api di belakangmu." Stella ikut meradang. "Bukan hanya itu, aku juga diusir dari rumahku sendiri," sambung Ayana melanjutkan ceritanya. "Hah? Dasar mereka itu ya. Minta disiram pakai air boncabe level 15 kayaknya biar kapok!" gerutu Stella ikut kesal. "Lalu, apa kau sudah punya tempat tinggal?" Ayana pun menggeleng lemah. "Karena itu aku ingin menginap selama beberapa hari di sini." "Ya, kau tinggal di sini saja bersamaku, lagi pula juga aku tinggal sendiri. Tapi ya begitu, kontrakan ku sempit, tidak seluas rumahmu," jawab Stella. "Tidak masalah. Aku sangat berterima kasih atas bantuanmu." "Baiklah, sekarang lebih baik kamu istirahat. Kau bebas melakukan apa saja disini!" timpal Stella menambahkan. *** Selang beberapa hari, surat cerai telah sampai di tangan Ayana. Daniel ternyata serius dengan perkataannya. Dia sangat sedih mengingat perjalanan cintanya bersama Daniel. "Ada apa denganmu?" tanya Stella penasaran. "Daniel … ternyata dia benar-benar ingin berpisah dariku," jawab Ayana. "Cerai saja dengannya. Lagi pula untuk apa mempertahankan pria yang tidak bisa menghargaimu. Pria b******k macam Daniel tidak pantas bersanding denganmu," ujar Stella memperjelas. Ayana seketika terdiam tak menanggapi. Dia hanya memutar-mutar botol obat berisi banyak kapsul hendak meminumnya satu butir. Gara-gara dirinya tak kunjung hamil, Daniel sampai menceraikannya. "Tunggu!" seru Stella menghentikan tangan Ayana. "Obat apa yang kau minum itu?" lanjutnya bertanya. "Oh, ini obat untuk penyubur kandungan. Sudah lama aku mengkonsumsinya, tapi tetap saja tidak ada hasilnya," kata Ayana. "Hah? Masak? Sini lihat!" Stella mengambil botol obat yang ada di tangan Ayana. Setelah mengingat-ingat, dia pernah melihat kapsul macam itu. "Ini kayak …." Stella tampak berpikir sejenak. Kemudian melepas label yang melekat. "Nah kan aku benar. Ini bukan obat penyubur kandungan!" "Apa maksudmu? Itu resep dari dokter," sanggah Ayana dengan terkejut. Ternyata ada merek lain yang menutupi merk asli dari obat itu. "Lihatlah, Ayana. Obat ini telah ditempel label lain di luarnya. Ini label yang asli." Tunjuk Stella meyakinkan. "Ya mungkin memang resep dokter, tapi apa kau yakin seorang dokter akan menyarankan obat penunda kehamilan? Pasti dibeli di apotik atau tempat lain." "Apa katamu tadi? Obat penunda kehamilan? Tidak mungkin!" seru Ayana. "Siapa yang memberikanmu kapsul ini?" tanya Stella. "Alma, katanya aku bisa cepat hamil jika mengkonsumsi rutin obat ini," jawab Ayana. "Adikmu sungguh keterlaluan. Ini adalah Levonorgestrel, pil darurat untuk menunda kehamilan jika kalian melakukan hubungan tanpa pengaman," jelas Stella setengah berteriak. Ayana menyadari perkataan Stella memang benar. Dia adalah seorang perawat di salah satu rumah sakit swasta. Tentu saja dia paham banyak tentang obat-obatan. "Itu tidak mungkin, kan? karena Alma tidak akan tega melakukan itu pada …." Ayana terdiam. Sadar jika Alma begitu jahat padanya. "Sejak kapan dia memberimu obat ini?" tanya Stella lagi. "Dua setengah tahun belakangan ini," jawab Ayana datar. "Pantas saja kau belum bisa hamil sampai sekarang." Stella menggeleng pelan. "Terimakasih telah memberitahuku. Kalau tidak, mungkin aku akan terus meminum obat ini seumur hidupku." "Aku mengamatimu karena hafal sekali bagaimana bentuk pil itu. Jadi, kau harus menghentikan konsumsi obat itu mulai sekarang!" seru Stella khawatir. "Lalu apa aku masih bisa hamil? Apa tidak ada efek samping berkepanjangan untuk tubuhku, Stella?" tanya Ayana cemas. "Sebaiknya kita ke dokter saja untuk lebih jelasnya, ayo aku antar!" ajak Stella berbaik hati. *** Setelah menemui dokter, Ayana merasa sedikit lega karena tidak ada efek untuk jangka panjangnya. Dia hanya perlu berhenti mengkonsumsi obat itu. "Apa kau baik-baik saja?" tanya Stella. "Ya, aku baik-baik saja." "Jangan khawatir, kau pasti bisa hamil setelah ini." "Tapi percuma saja … sekarang Daniel telah benar-benar menceraikanku," balas Ayana tampak kecewa. Dia merutuki dirinya sendiri yang dengan mudah dibohongi oleh adiknya. "Hei, laki-laki itu bukan hanya Daniel saja. Untuk apa kau meratapi laki-laki b******n macam dia. Masih banyak laki-laki lain yang mengantri untuk menjadi suamimu, kau cantik dan menarik, kau juga mandiri dan mapan. Ayolah, kau harus bersemangat!" Ayana masih terdiam. Coba meyakinkan dirinya bahwa apa yang dikatakan Stella ada benarnya. "Apa aku bisa hidup tanpa Daniel dan Alma? Dua orang yang selama ini sangat berarti bagiku."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN