Rintik hujan tak henti-hentinya mengguyur ibu kota. Langit Jakarta sedang tidak bersahabat. Seorang wanita memakai setelan warna hitam dan tutup kepala itu masih saja mematung di atas kubur yang masih penuh dengan karangan bunga.
Para pelayat telah meninggalkan tempat sembari mengucapkan bela sungkawa. Namun, seorang gadis bernama Ayana Valencia Greetha masih saja terpaku tidak bisa menerima takdir yang menimpa kedua orang tuanya dengan begitu cepat.
"Tidak mungkin, kan, semua terjadi begitu cepat, ini pasti hanya mimpi," gumamnya memeluk diri sendiri.
Belum sempat ia berpikir jernih, tiba-tiba saja suaminya, Daniel, sudah menepuk pundaknya dari belakang.
"Sayang! Sudah waktunya pulang, ayolah, kamu sudah basah kuyup begini," ujar Daniel dengan raut wajah yang gusar.
Ayana tersenyum masam melihat suaminya. "Tunggulah di mobil, aku ingin berada di sini sebentar saja!"
Daniel mendecakkan lidah dengan keras. Raut wajahnya sudah sangat kesal. "Baiklah, jangan lama-lama."
Ayana memandang sedih punggung sang suami yang semakin menjauh. Seharusnya dia bisa menenangkannya di hari kepergian orang tuanya. Belakangan ini sikapnya memang semakin dingin dan cuek.
Wanita itu pun menunduk mengusap batu nisan kedua orang tuanya secara bergantian. Mereka meninggal dalam kecelakaan mobil dan tewas seketika di tempat. Ingatan itu membuat dadanya terasa semakin sesak.
"Ibu, ayah, kenapa takdir hidup memisahkan kita seperti ini? Seharusnya aku bisa mencegahnya. Kalian orang baik dan dermawan. Namun, justru meninggal lebih dulu," lirih Ayana.
Dia kembali menangis di depan makam. Sedih tak terbendung sebab setelah ini tidak akan bisa lagi bertemu dengan mereka.
"Maafkan, Aya. Aku tidak bisa mewujudkan hal yang sangat kalian inginkan," lanjutnya mengusap air mata. Sejak lama mereka menginginkan seorang cucu dari Ayana. Namun, wanita itu tak kunjung hamil.
Gemuruh kilat terdengar semakin menggelegar bersamaan dengan guyuran hujan yang semakin deras. Menyamarkan air mata Ayana yang masih menganak sungai. Wanita itu menyadari ia harus bergegas.
"Aku pamit, ayah, ibu. Semoga kalian tenang di surga," tutupnya kemudian berdiri dan beranjak ke mobil menuju suaminya.
Melihat istrinya masuk ke dalam mobil, Daniel segera mengangsurkan handuk padanya.
"Sayang, lap badanmu, kau membuat mobilku basah semua, aku baru saja mencucinya tadi pagi," kata Daniel dengan nada sewot.
Ayana menerima handuk itu dan hanya diam sepanjang perjalanan pulang ke rumah.
***
Setibanya di rumah, Alma – adik perempuan Ayana, menyambutnya dengan hangat. Dia tampak begitu mencemaskan kakaknya.
"Kakak sudah pulang? Kenapa lama sekali? Lihatlah kau sampai kedinginan begitu, badanmu juga menggigil. Apa kau baik-baik saja?" ucapnya dengan khawatir.
"Aku sudah katakan padanya, tapi kakakmu malah mengabaikanku," sahut Daniel mengeluh.
"Ya sudah, Kak. Lebih baik sekarang Kakak makan dulu dan ganti baju! Lihatlah kau sampai pucat begini. Aku tidak mau kau jatuh sakit, tunggu disini, aku buatkan s**u hangat untukmu!" lanjut Alma.
Ayana hanya mengangguk lemah. Melihat sang kakak nampak murung, Alma pun kembali menguatkan.
"Sudahlah, Kak. Aku tahu kau pasti sangat terpukul, begitu pun denganku, aku juga sama sedihnya denganmu, tapi ingatlah hidup harus terus berjalan. Kita tidak bisa terpuruk dengan kesedihan. Aku yakin pasti ayah dan ibu sudah bahagia di alam sana," tambah Alma memberi pelukan.
"Ya, kau benar, Al. Makasih ya," ujar Ayana tulus.
"Tidak masalah, Kak. Tidak perlu segan. Bukankah kita saudara?" sambungnya dengan senyum lebar.
Ayana kembali mengangguk dan menatap sang adik keluar dari kamarnya. Dia kemudian segera mengguyur tubuhnya dengan air hangat. Setelah mandi Ayana berdiri mematung di jendela, bunyi petir semakin memekakkan telinga, seolah langit memahami kepiluan hatinya dengan turunnya hujan tanpa henti.
Alma masuk dengan membawa secangkir teh hangat di tangannya.
"Minumlah dulu, supaya badan Kakak terasa hangat," ucapnya sembari duduk.
Ayana mengangguk dan meraih cangkir tersebut dan meneguknya perlahan.
"Dan ini, Kak, jangan lupa minum obatmu!" tambah Alma mengingatkan.
"Ya, makasih, aku hampir lupa meminumnya hari ini," balas Ayana.
Ayana meminum obat yang direkomendasikan oleh Alma, itu adalah obat untuk kesuburan supaya lekas hamil. Namun, sudah hampir tiga tahun ia mengkonsumsinya tidak juga dikaruniai seorang anak.
"Sama-sama, sudah menjadi tugasku untuk menghiburmu. Jangan khawatir, setelah ini kau bisa lebih fokus untuk kehamilanmu," ucap Alma membesarkan hati kakaknya.
"Di mana Daniel?" tanya Ayana.
"Sepertinya dia sudah kembali ke kantor. Ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan," jawab Alma. "Sudah jangan dipikirkan, lebih baik sekarang kau istirahat saja!"
Ayana hanya terdiam melempar pandang ke arah jendela dengan sorot matanya yang sendu. "Seharusnya kamu tidak pergi, padahal aku sangat membutuhkan saat ini," batinnya piluh.
***
Saat tengah malam, Ayana tak mendapati suaminya pulang ke rumah. Dia juga sudah berulang kali menghubunginya namun tidak ada jawaban, berkirim pesan pun tidak ada respon atau balasan. Akhirnya, jam dua belas tepat Ayana mendengar deru mobil suaminya di depan rumah. Dia segera membukakan pintu.
"Nah, ini dia istriku yang mandul!" teriaknya dengan keras.
Takut mengganggu tetangga, Ayana pun memapahnya masuk ke dalam.
"Sst, jaga bicaramu! Apa kau mabuk?" tanya Ayana mencium aroma alkohol yang menguar dari mulut suaminya.
"Memangnya kenapa kalau aku mabuk?" tanya balik Daniel dengan tubuh sempoyongan.
"Apa kau tidak malu justru mabuk-mabukan di hari pemakaman orang tuaku? Aku sedang berduka!" seru Ayana memberikan penekanan. Berharap suaminya itu sedikit saja memberi simpati.
"Tidak ada urusan denganku, aku mabuk juga karena kau begitu mengecewakan. Apa kau lupa, sudah 3 tahun pernikahan kau tidak mampu memberiku seorang anak?" Daniel mengatakan itu dengan suaranya yang terdengar keras.
"Ada apa ini ribut-ribut? Ini sudah tengah malam," sahut Alma yang tiba-tiba saja muncul dari dalam kamarnya.
"Kakakmu ini tidak pernah bisa membuatku bahagia. Dia terus saja membuat kecewa!" seru Daniel.
"Apa soal anak lagi yang kalian ributkan?" tanya Alma menebak.
"Apa kita harus membahasnya sekarang? Aku sangat sedih atas kepergian ibu dan ayah. Aku juga lelah. Tolong mengertilah sedikit saja!" pinta Ayana dengan suara parau. Dia langsung naik ke kamarnya tanpa menghiraukan lagi Daniel dan juga adiknya.
Setibanya di dalam kamar, dia tidak dapat lagi membendung tangisnya. Semalaman Ayana tergugu seorang diri tanpa Daniel di sisinya. Suaminya itu malah tidak menampakkan batang hidungnya. Bahkan pria itu juga tidak mengejar Ayana ke kamar.
***
Keesokan paginya, Ayana terbangun dengan mata bengkak akibat menangis semalaman. Dia meratapi nasibnya yang diabaikan saat butuh bahu sang suami untuk bersandar.
"Apa kau sudah bangun? Aku membawakanmu sarapan," ucap Alma dari balik pintu.
"Masuklah!" titah Ayana dengan malas.
"Apa kau melihat Daniel berangkat lebih pagi hari ini?" lanjut dia bertanya.
Alma menggelang pelan. "Dia sudah pergi sejak semalam setelah bertengkar denganmu."
Ayana menghela napas pendek. "Andai saja aku bisa memberikannya seorang anak, pasti dia tidak akan mengabaikanku. Aku ini bukan wanita kuat sepertimu, Al. Aku juga butuh dukungan suamiku."
Wajah Ayana tampak muram. Entah kenapa sang adik justru terlihat lebih tegar darinya. Alma pun segera merengkuhnya kembali.
"Sama saja. Aku juga tidak sekuat itu, Kak. Semalaman aku menangis teringat kedua orang tua kita, tapi ya itu tadi, sudah ku katakan padamu, hidup harus terus berjalan, kan?"
Ayana kembali mengangguk dan tersenyum. Dia beruntung masih ada sang adik yang peduli terhadapnya.
***
Dua hari kemudian, Ayana sudah kembali masuk ke kantor seperti biasanya. Dia tidak ingin berlarut-larut dan berdiam diri di rumah. Justru semakin banyak kesedihan yang menderanya.
"Apa kau akan pulang malam lagi hari ini?" tanya Daniel sebelum ia berangkat tadi.
"Ya, sepertinya aku harus lembur malam ini," jawab Ayana.
Ayana pergi ke kantor dan menyelesaikan pekerjaannya dengan cepat. Dia mendahulukan dokumen-dokumen penting terlebih dahulu.
Sebenarnya dia tidak perlu lembur. Ayana sengaja mengatakan begitu kepada suaminya untuk memberinya kejutan. Sudah lama hubungannya dengan Daniel semakin renggang. Malam ini, Ayana akan pulang lebih awal agar bisa memperbaiki hubungannya.
"Wah, kau menyelesaikan pekerjaanmu lebih cepat hari ini, Ay," ujar manajer kantor, menghampiri tempat kerjanya.
"Ya, Pak Manajer. Saya ada urusan. Harus pulang cepat malam ini," jawab Ayana dengan sopan.
"Pantas saja. Oh ya, untuk Minggu depan akan ada pergantian direktur di perusahaan kita. Jadi, tingkatkan kinerjamu ya? Beliau adalah cucu presdir," jelas manajer.
"Semoga saja kebijakan direktur baru tidak jauh berbeda, Pak Manajer," timpal Ayana.
Manajer pun tertawa renyah. "Yah, aku juga berharap begitu."
Sepulang dari kantor, Ayana mampir sebentar ke toko buket untuk membeli bunga. Wanita itu merasa bersalah pada sang suami karena telah abai akibat kesedihannya. Ayana berharap jika hubungannya dengan Daniel bisa kembali baik.
Hanya butuh waktu satu jam lamanya, Ayana pun tiba di rumah. Namun, ia merasa aneh saat mendapati suasana di rumahnya tampak gelap tanpa penerangan.
"Kenapa Daniel tidak menyalakan lampu?" gumam Ayana, membuka pintu dengan perlahan sambil berjinjit-jinjit menuju ke lantai dua kamarnya.
Setibanya di sana, tiba-tiba Ayana mendengar suara yang tak biasa. Sayup-sayup erangan dari seorang wanita terdengar semakin jelas di telinganya. Dia pun berusaha tidak membuat suara. Menguatkan hati, walau lututnya terasa lemah. Tubuhnya mulai gemetar setelah membuka sedikit celah pintu. Mendapati sang suami dan Alma – adiknya tengah b******a.
Bersambung