Menahan Kekesalan

1036 Kata
"Dari mana saja kau semalam?" tanya Stella begitu Ayana sampai di tempat kontrakannya. "Oh. Aku hanya menghabiskan malam bersama seorang teman," jawab Ayana berbohong. "Ku kira kau nekat bunuh diri. Aku hampir saja lapor polisi pagi tadi," lanjut Stella. "Kau pikir seputus asa apa aku hingga melakukan hal bodoh macam itu?" sewot Ayana membuat Stella tekekeh. "Ya mungkin saja kan?" Ayana hanya mengulas senyum kemudian segera menyiapkan baju kerjanya dan sepatu pantofel. Dia tampak buru-buru sekali. "Aku sudah terlambat, Stella. Nanti akan aku ceritakan lebih banyak padamu," ujarnya dengan tergesa-gesa. "Baiklah aku akan menunggumu," jawab Stella menikmati secangkir kopi. Hari ini dia masuk shift malam. Jadi bisa sedikit bersantai. Sesampainya di kantor, Ayana segera menuju ke meja kerjanya. Beruntung dia datang tepat waktu. Mengingat kejadian semalam, melakukan adegan panas dengan pria tak dikenalnya sungguh tindakan di luar nalar. Namun dia benar-benar terpuaskan lahir dan batin. Tidak pernah dia merasakan kenikmatan melebihi malam kemarin. "Hei, Aya. Apa kau sudah dengar berita terbaru?" tanya Chaca, teman samping kubikel-nya. Yang hobi sekali bergosip kesana kemari. "Ada apa?" balas Ayana. Sebenarnya dia malas menanggapinya tetapi karena Chaca sering membantunya, dia tak enak hati kalau harus menghiraukannya. "Dengar-dengar akan ada Direktur baru di perusahaan ini," bisik Chaca pelan. "Oh, Itu." Ayana tampak tidak terkejut. "Kau sudah tahu?" balas Chaca menodong. "Ya. Kemarin Pak Manajer sempat katakan padaku tentang itu. Kalau tidak salah sih cucu Presdir yang akan menjabat jadi Direktur baru," urai Ayana sembari memilah-milah berkas. "Apa!" seru Chaha melengking. Suaranya sampai naik satu oktaf. Ayana segera menutup kedua telinganya. "Kau ini kenapa?" "Tentu saja aku terkejut dengar berita ini darimu. Kau tidak terkejut?" tanya balik Chaha dengan ekspresi cemas. "Memangnya kenapa? Aku malah lebih terkejut lagi mendengar teriakanmu," balas Ayana dengan santai. "Enak aja. Suaraku merdu tahu," sewot Chaha. "Iya, Mengguncang dunia! Saking merdunya sampai rumah-rumah pada roboh," sambung Ayana terkekeh. Chaha hanya memasang tampang masam dan mencubit lengan Ayana. "Eh, tapi aku pernah dengar kalau cucu Presdir itu terkenal tegas dan disiplin loh, Ay. Dia juga tidak akan segan-segan menghukum para pegawai jika tidak profesional," jelas Chaha menggebu-nggebu. "Bagus kan? Jadi semuanya bisa disiplin dan taat peraturan," timpal Ayana. "Ih, bagus apanya. Dia juga terkenal temperamental. Nanti kalau Direktur baru itu gampang main pecat gimana nasib kita?" lanjut Chaha. "Ya, kalau kita tidak berbuat salah kenapa mesti takut, Ca. Lagian orang dipecat itu kan harus ada alasan yang jelas dan juga kesalahan fatal. Kalau tidak ya mana bisa bos bisa seenaknya memecat karyawan," urai Ayana Masuk akal. "Wiiih, aku tidak mengira kalau kau ternyata pintar juga. Mungkin level Pentium otak kita sudah berbeda," balas Chaca cekikikan. Ayana hanya memutar bola matanya dengan jengah. Terkadang Chaca memang terlampau khawatir dengan sesuatu hal yang baru. "Tapi ada lagi gosip hangat yang beredar di kalangan karyawan." Tidak ada habis-habisnya Chaca mendapat informasi baru. "Katanya Direktur baru kita ini juga punya kepribadian ganda loh," lanjut dia. "Hah?" kali ini Ayana yang tidak mengerti. "Iya. Jadi, kadang bisa baik kadang juga bisa jahat." "Sudahlah, Ca. Jangan percaya gosip yang belum tentu benar," sangkal Ayana. Chaca pun memajukan mulutnya lima senti. Dan kembali fokus dengan pekerjaannya. *** "Jadi kemana saja kau semalam?" todong Stella saat Ayana baru datang. Ayana menyadari dia tidak bisa menyembunyikan semuanya dari Stella. Cepat atau lambat dia pasti akan tahu perbuatan tercela yang dia lakukan. "Aku semalam ke tempat hiburan malam," jawab Ayana jujur. "Club?" tebak Stella tak percaya. Dia tahu tipikal seperti apa sahabatnya itu. Ayana tidak pernah menginjakkan kakinya di tempat seperti itu. "Ya. Kau benar." "Untuk apa, Ayana?" "Aku tidur dengan lelaki lain," jawab Ayana seolah tidak ada rasa penyesalan. "Apaaa!" pekik Stella tidak percaya. "Yang benar saja." "Benar, aku melakukannya semalam," tegas Ayana meyakinkan. "Kenapa kau melakukannya? Apa kau tidak takut bermasalah?" tanya Stella. "Entahlah. Aku hanya ingin cari pelampiasan saja," jawab Ayana asal. "It's oke, Ay. Aku hanya tidak ingin kau terkena masalah saja," balas Stella tak enak hati. Biarlah itu sudah menjadi pilihan Ayana. Ayana pun mengangguk, dan menyadari kepedulian sahabatnya. Mungkin hidupnya sudah rumit dengan masalah perceraian yang dihadapinya. "Aku keluar sebentar." Ayana meraih dompet dan ponselnya yang tergeletak. "Mau ke mana lagi?" "Cari makanan ringan." Berjalan kaki sembari mengamati lingkungan sekitar, Ayana mencari supermarket terdekat yang mudah dijangkau. Di sana dia memilih sayuran segar yang bisa disimpan dalam kulkas, daging, juga beberapa buah-buahan, Snack dan minuman kemasan. Setidaknya dia ikut menyediakan makanan, bukan hanya menumpang di kontrakan milik Stella. Saat hendak membayar semua belanjaannya, tidak sengaja netranya menangkap sosok tinggi dengan penampilan modis yang sangat dikenalnya. "Daniel?" gumamnya seorang diri. Ayana memperhatikan punggung suaminya dari belakang. Pria yang tiga tahun lalu berusaha merebut cintanya dari banyaknya pria yang datang melamarnya. Dan akhirnya kini pria itu justru membuangnya seperti kain usang. "Sayang! Bolehkah aku nambah ini?" sahut seorang gadis yang juga sangat dikenalnya. Alma. Ayana segera merapatkan tubuhnya ke dalam antrian yang memanjang. Berusaha untuk tidak terlihat batang hidungnya. Dia sudah terlanjur muak melihat kedua manusia yang tidak tahu malu. "Kenapa mereka ada di sini?" batin Ayana. "Tentu saja boleh, Sayang. Ambil semua semaumu. Apa sih yang tidak untukmu," balas Daniel dengan lembut. Ayana berdecak pelan. Daniel bahkan tidak pernah bersikap selembut itu padanya. "Oh Sayang. Kau sungguh baik padaku, terima kasih," jawab Alma dengan manja. Kemudian bergelayut di lengan Daniel tanpa menghiraukan pandangan orang lain. Seakan dunia hanya milik mereka berdua. Daniel bahkan belum resmi bercerai dengan Ayana. Meremas ponsel yang ia genggam, Ayana merasa geram dengan tindakan mereka berdua. Berarti mungkin saja keduanya telah lama menjalin hubungan di belakangnya diam-diam. Tangannya semakin menggenggam erat gawainya, membayangkan seolah itu adalah wajah Daniel dan Alma yang ingin sekali ia cabik-cabik. Sesampainya di kontrakan Stella, Ayana terduduk lemas di meja dapur. Ternyata membenci seseorang bisa mengeluarkan tenaga yang cukup besar. Apalagi berpura-pura bahagia. Segera merapikan barang-barang yang ia beli, Ayana tidak mau berlarut mengingat kedua orang yang telah menyakitinya tepat di ulu hati. "Hai. Kau belanja banyak sekali?" tanya Stella yang tiba-tiba saja muncul. "Ya. Cukuplah untuk kebutuhan kita seminggu kedepan," jawab Ayana mengulas senyum. "Kau tidak perlu repot-repot begini," sahut Stella membantu merapikan. "Tidak apa-apa. Aku senang melakukannya," balas Ayana. Stella tersenyum lebar. Dia sudah mengenal Ayana sejak dulu dan sifatnya tidak berubah. Sahabatnya itu tetap saja peduli dan peka terhadap orang lain. Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN