01.

1438 Kata
Saat itu aku tidak menyangka, bahwa semua hal senang dan duka yang telah kita lalui bersama akan berakhir menjadi pupus tanpa alasan begitu saja. Hanya karena masalah cinta. Hanya karena masalah perasaan yang bahkan aku sendiri tidak tau apa artinya.   Semua berawal dengan cinta. Dan semuanya juga akan berakhir karena cinta. Sejak itu, aku tidak ingin merasakan dan mengetahui atau bahkan mengerti tentang arti dari sebuah cinta. Cinta membuatku hancur. Cinta membuatku merasa tidak berdaya dan cinta membuatku tidak berharga. Itulah cinta.   Sepuluh tahun yang lalu aku bertemu dengannya. Dengan seorang anak kecil berjenis kelamin pria yang terlihat begitu tampan. Anak itu menghampiriku dengan langkah kecilnya di tepi sungai. Dia menepuk pundakku dengan pelan, dan menatapku dengan kedua mata bulatnya yang berbinar senang.     Saat itu aku berpikir, siapa dia? Kenapa mendekatiku? Kenapa menatapku seperti itu? Apa aku telah melakukan kesalahan lagi tanpa kusadari? Tapi aku tidak mengenalnya sama sekali. Aku membalas tatapannya dengan wajah heran sembari memiringkan kepalaku, suatu kebiasaan yang tanpa sadar kulakukan sedari kecil. Timbul banyak pertanyaan dalam pikiranku ketika melihat kehadiran anak itu.   Aku melihat anak itu semakin melebarkan pandangan matanya dengan binar antusias di sana. Sudut bibirnya terangkat lebar yang semakin membuatku heran. Lalu anak lelaki itu berkata, "Kau imut sekali! Cantik dan manis! Hihi aku suka!" serunya kemudian.   Air mata yang sebelumnya telah mengalir deras dari kedua pelupuk mataku akhirnya tanpa sadar berhenti begitu saja karena tertegun mendengar ucapan anak itu. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang begitu senang melihat kehadiranku.   Namaku Alea. Alea Clarissa Putri. Saat itu umurku sepuluh tahun ketika aku bertemu dengan dia, teman masa kecilku, Ferdian Raharja Putra, yang biasa aku panggil Ian. Di tepi sungai aku tengah menangis sendirian. Menangisi kepergian mamaku karena lebih memilih pergi bersama pria yang dicintainya dibanding dengan keluarganya sendiri.   Meninggalkan aku dan papaku sendirian. Ah bukan, sepertinya akan lebih tepat jika aku mengatakan bahwa akulah yang telah ditinggalkan oleh mama dan papaku saat itu. Aku baru menyadari kenyataan yang ada seiring aku tumbuh besar saat itu, di mana aku telah menemukan fakta bahwa sebenarnya aku adalah seorang anak yang sebenarnya tidak diinginkan oleh mereka berdua.   Aku adalah anak hasil kesalahan yang tidak sengaja mama dan papa buat. Karena itulah, selama ini keluarga yang aku tinggali terasa begitu beku dan tanpa kehangatan di dalamnya. Baik mama atau pun papa, mereka sama-sama saling menyibukkan diri dalam pekerjaan mereka, dan bersikap seolah-olah aku hanyalah sebuah patung pajangan yang tidak bernyawa dan tidak memiliki perasaan.   Mereka memperlakukan diriku seperti sebuah manekin yang akan selalu siap dibawa ke mana-mana hanya untuk sekedar menunjukkan pada dunia bahwa keluarga kami adalah keluarga yang bahagia.   Hingga pada akhirnya mama memilih menyerah kepada keluarga beku ini dan memilih pergi bersama kekasih hatinya. Meninggalkan papa, meninggalkan aku sendiri di sini. Mama telah memutuskan untuk bercerai dengan papa dan meninggalkan rumah kita.   Tidak ada hal yang bisa membuat papa menahan mama juga. Karena sejatinya papa sendiri juga tidak mencintai mama. Karena itu, papa menerima perceraian itu dengan mudah. Aku sedih, aku menangis, aku berteriak memanggil-manggil mamaku.   Meski aku jarang melakukan interaksi dengan mama. Meski beliau selalu bersikap dingin kepadaku. Tetap saja dia adalah seorang Mama bagiku. Mamaku. Tapi hingga suaraku serak pun mama tetap melangkahkan kakinya pergi dengan mantap. Bahkan menoleh ke arahku pun tidak.   Aku menangis. Aku terluka. Aku takut. Aku ingin berlari mengejarnya. Namun tangan kecilku tertahan oleh cengkeraman tangan papa yang begitu kuat. Sampai sosok mama telah pergi dari balik pintu, aku tetap menangis histeris di tempat. Hingga suara papa membuatku terhenti.   "Jangan menangis lagi! Apa gunanya kau menangisi wanita sial itu?! Kau benar-benar anak yang merepotkan!"   Tangisanku berangsur-angsur berhenti hingga menyisakan isak tangis dalam diam. Aku takut mengeluarkan suaraku lagi setelah melihat sorot mata tajam yang dilontarkan papa padaku. Aku terduduk di lantai rumah yang terasa begitu dingin setelah papa melepaskan tanganku dan beranjak pergi meninggalkanku sendirian di sana.   Saat itu, aku menyadari bahwa aku hanyalah seorang diri. Tidak ada yang benar-benar menginginkan kehadiranku. Tidak seperti anak kecil yang tengah memandangku dengan kedua mata berbinarnya di tepi sungai hari itu.   "Hai, aku Ian. Kau siapa?" tanya anak lelaki itu dengan wajah berbinarnya. Dia terlihat begitu antusias menyodorkan tangannya untuk berjabat tangan denganku. Aku dengan takut dan ragu mengulurkan tangan untuk membalasnya.   "Namaku Alea," jawabku dengan lirih dan sedikit malu untuk menjawabnya. Anak itu semakin tersenyum lebar setelah mendengar jawabanku.   "Nama yang cantik. Hei, bolehkah aku menyentuh pipimu?" pinta anak lelaki itu sembari menunjuk pipiku.   "Eh?" Aku memandang anak lelaki itu dengan wajah bingung sekaligus heran. Ada apa dengan pipiku?   "Seperti ini!" Anak lelaki itu langsung mencubit satu pipiku dengan pelan, dan langsung terkagum setelahnya. Membuat kedua mata bulatku semakin melebar terkejut akan tingkahnya.   "Uwahhh seperti yang aku duga. Pipimu memang terasa lembut sekali! Haha menyenangkan sekali, lihat dia!" seru anak lelaki itu sambil memekik girang. Kali ini tanpa ijinku, anak lelaki itu langsung mencubit kedua pipiku dengan gemas dan menguyel-uyelnya hingga membuatku kelabakan.   Pipiku memang terlihat begitu chubby dan selalu merona merah, mungkin karena itulah dia menyukainya.   “Hahaha dia benar-benar seperti mochi! Apa kau tahu mochi?” celoteh anak lelaki itu yang masih sibuk mencubit kedua pipiku dengan gemas. Aku mulai merasa kesakitan dan pusing sendiri.   "Uh he-hentikan... " pintaku saat itu dengan suara yang sedikit mencicit. Ian lalu benar-benar menghentikan kelakuannya itu dan melempar senyum gigi putihnya ke arahku.   "Hahaha maaf. Kau benar-benar cantik dan lucu. Aku sangat suka sekali. Kau mau berteman denganku kan?" pintanya dengan wajah yang antusias menatap ke arahku. Kedua tangannya memegang kedua pundak kecilku dengan mantap.   Meski dia mengucapkan kata maaf kepadaku, namun aku bisa melihat bahwa tidak ada rasa bersalah sedikit pun yang nampak di wajah Ian setelah melakukan hal itu padaku. Aku bingung harus menjawab apa tapi aku pikir dia anak yang baik.   Karena itulah, aku menganggukkan kepala dan sontak membuat pria kecil itu menjadi girang bukan main. Anak lelaki itu langsung melompat-lompat di tempat dan memelukku dengan senang seakan telah mendapat hadiah ulang tahun.   Sejak itu, aku mulai berteman dengannya. Kami sering bermain bersama, dan bahkan beberapa kali Ian juga pernah bermain ke rumahku. Papa tidak berkomentar apa pun tentangnya dan aku pikir itu berarti papa mengijinkan aku untuk berteman dengan Ian. Lebih tepatnya, beliau tidak perduli dengan apa yang tengah kulakukan selama itu tidak merepotkan dirinya.   Kami bermain apa saja. Masak-masakan, petak umpet, bermain boneka, menonton tv, dan membaca buku bergambar bersama. Kami semakin hari semakin akrab, terlebih Ian juga menyukai apa yang kulakukan. Hanya saja terkadang aku sedikit lelah ketika harus menjadi boneka hidup milik Ian.   Pasalnya anak itu suka sekali mendandaniku dan menyuruhku untuk mencoba baju-baju milikku sendiri seperti seorang model baju. Harus beberapa kali aku mengganti baju yang dipilih Ian untukku dan terkadang itu membuatku pusing dan lelah.   Ian terlihat lebih antusias dibanding diriku sendiri. Tidak jarang bahkan anak itu mendecakkan bibirnya kagum dan tidak henti memekik senang ketika melihatku muncul dengan baju pilihannya itu.   "Uwaah cantik sekali! Kamu manis sekali, Alea! Sekarang coba yang satu ini!" Begitulah yang selalu dikatakan Ian ketika melihatku menjadi model baju dadakannya. Berteman lama dengannya membuatku sadar bahwa Ian itu memang suka hal-hal yang berbau manis dan lucu.   Dia sangat suka dengan warna pink, karena itu Ian sering kali menyuruhku untuk memakai baju pink dan menata rambutku semanis mungkin. Luar biasanya Ian cukup terampil dalam mendandani seseorang. Dan kadang hal itu membuatku mendecak kagum ketika melihat hasil karyanya pada tubuhku, terutama rambut panjangku.   Ketika suatu hari aku bertanya apa yang ingin dia lakukan di masa depan, Ian dengan senang mengatakan bahwa dirinya ingin mendandaniku seperti seorang pengantin yang manis. Aku hanya merasa senang mendengarnya.   Tahun demi tahun pun berlalu dan kami telah tumbuh dewasa bersama. Tiga tahun yang lalu aku telah menginjak di bangku SMA tingkat dua bersama dengan Ian. Pertemanan kita semakin erat dan dalam. Bahkan kami sampai dikenal layaknya seperti perangko yang begitu menempel dengan erat satu sama lain.   Ian yang tumbuh menjadi seorang pria tampan dengan senyum cerahnya dan sikap supelnya berhasil memikat dan membuat banyak orang menyukainya, dan aku yang tumbuh menjadi seorang gadis cantik, kalem yang terlihat begitu pendiam lebih suka menjadi seorang penyendiri dan malas berbaur dengan teman-teman yang lain.   Bagiku, kehadiran Ian sudah cukup untuk menemani hari-hariku. Sedari dulu aku memang memiliki sifat yang tidak neko-neko dan tenang. Dan menjadi semakin tenang lagi setelah papa mendapatkan keluarga barunya, di saat aku telah menginjak bangku SMP tingkat satu.   Papa, juga istri dan anak barunya terlihat hidup begitu bahagia berdampingan di depanku. Membuatku semakin terlihat sesak. Mereka bersikap seolah aku seorang tamu di rumahku sendiri dan hanya berbicara seperlunya saja.   Namun aku bisa menghadapi dan melewati ini semua berkat dukungan dari Ian yang selalu berada di sebelahku. Aku benar-benar merasa bersyukur bisa mengenal seorang Ian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN