Langit terlihat begitu cerah hari ini. Jam belajar sekolah yang kosong langsung dimanfaatkan banyak murid-murid untuk melakukan hal yang mereka inginkan. Ada yang pergi ke kantin, ada yang memilih tidur, ada yang bermain sepak bola, dan juga yang lainnya.
Hari ini tengah diadakan rapat guru dadakan. Dan hari bebas setelah sekolah kami mengadakan ulangan semester. Karena itu semua murid dan guru terlihat lebih santai. Hanya untuk sehari saja kami bisa menikmati hari bebas ini. Aku yang tidak terlalu suka dengan kebisingan memutuskan untuk melangkahkan kaki menuju perpustakaan sekolah.
Tempat sempurna di mana aku bisa menghabiskan waktu seharian di sana. Tempat yang tenang dengan banyak buku bacaan berbagai macam genre yang bisa aku nikmati dalam diam.
Dengan tenang aku melangkahkan kaki kecil menuju ruangan yang cukup jarang diminati oleh banyak murid itu. Sepanjang perjalanan kedua mata bulatku menyempatkan diri untuk melihat-lihat suasana di sekitar sekolah.
Terlihat banyak sekali siswa-siswi yang bermain di luar, khususnya kantin sekolah. Langkah kaki kecil milikku sontak terhenti ketika tiba-tiba seseorang merangkul leherku dengan seenaknya. Siapa lagi kalau bukan Ian.
“Ian!” geramku sambil memutar bola mata malas dengan wajah kesal melirik ke arah pria tinggi yang tengah merangkul seenaknya ini.
“Kaget tau!” sungutku.
“Hehe ya maaf. Kamu sih ninggalin aku. Baru juga ditinggal ke toilet bentar udah main ilang aja, dasar!” balas Ian yang juga tidak terima. Pria itu menjitak kepalaku dengan pelan.
“Apanya yang bentar? Kamu lama tau.”
“Yah gimana lagi? Aku kan lagi karaoke di dalam toilet, Sayang.” Ian melempar cengiran kudanya ke arahku dengan tampang seolah tidak berdosa. Aku hanya membalas teman masa kecilku itu dengan dengusan kecil, kemudian kami beriringan melanjutkan langkah bersama menuju ruang perpustakaan.
Ian sudah tahu kebiasaanku yang tidak suka dengan kebisingan, pasti akan mencari tempat yang menurutku nyaman, contohnya seperti perpustakaan, atau kalau tidak ya ke UKS, tidur. Pilihan terakhir itu sangat cocok sekali denganku dan juga Ian tentunya. Kami melewati kantin sekolah ketika tiba-tiba sekali lagi pria itu menghentikan langkah kaki kami.
“Bentar, bentar!” tahan Ian kemudian. Aku seketika menghentikan langkah dan dengan wajah malas menatap ke arah pria itu.
“Apa lagi, Ian?”
“Mau cari cemilan dulu. Kamu jangan ke mana-mana, awas!” pesan Ian dengan memasang wajah garangnya ke arahku, sebelum kemudian melesat pergi ke kantin. Aku yakin bahwa Ian sadar pasti akan memakan waktu lama untuk kami menghabiskan waktu di perpustakaan sekolah, karena itu Ian membutuhkan sesuatu untuk mengganjal perut kami berdua. Aku hanya bisa tersenyum kecil setelah kepergian Ian.
Aku menunggu Ian di tempat dalam diam sembari kembali melihat ke sekitar. Kantin benar-benar terlihat ramai hari ini. Pasti Ian akan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengantri. Lebih baik aku mencari tempat duduk sejenak sembari menunggu Ian.
Setelah berpikir seperti itu, aku membalikkan tubuh dan tanpa sengaja langsung menabrak sesuatu yang keras. Sontak tubuhku langsung terjungkal dan mundur beberapa langkah ke belakang sembari mengaduh kesakitan karena wajahku langsung terhantam begitu saja benda tersebut. Meski pelan tetap saja hidungku terasa linu. Untung saja seseorang dengan sigap menahan tubuhku.
“Hei, kau baik-baik saja? Maaf aku tidak sengaja menyenggolmu tadi,” ucap seseorang dengan suara berat. Baru kusadari bahwa ternyata wajahku baru saja menghantam pundak kekar dari seorang pria yang tidak kukenal.
Aku yang awalnya sibuk mengusap hidung kini melempar pandang ke arah suara itu, dan langsung bertatapan dengan sepasang kedua mata indah berwarna hijau di hadapan. Seketika aku terpaku di tempat. Aku merasa seakan tengah terhipnotis dengan jernihnya bola mata indah tersebut.
Dan entah ini hanya perasaanku saja, atau memang pria itu juga tengah menatapku dengan lekat. Untuk sejenak kami hanya saling bertatapan saja sebelum kemudian seseorang memanggil pria itu.
“Dimas, ngapain lo? Ayo buruan, udah lapar nih!” seru salah satu dari mereka yang sudah melangkah lebih dulu meninggalkan pria itu. Pria yang baru kutahu bernama Dimas itu sontak menoleh ke arah teman-temannya berada, sebelum kemudian kembali menatap ke arahku sekali lagi.
Pria itu nampak sedikit gugup. Dan kegugupan itu membuatku menjadi ikut canggung saat ini. tidak ingin suasana menjadi semakin canggung, aku memilih untuk membalikkan diri dan melangkah pergi meninggalkan pria itu. Aku bersikap seolah tidak terjadi apa-apa di antara kami.
Tanpa kutahu bahwa pria bernama Dimas itu masih berdiri di tempat menatap kepergianku dari belakang. Pria itu terlihat sedikit ragu untuk menahan kepergianku. Namun akhirnya diurungkan niatnya itu. Akhirnya pria itu memilih menyusul teman-temannya yang tengah memesan makanan di kantin.
Aku akhirnya mengambil tempat duduk di atas batu beton yang tidak jauh dari kantin sembari menunggu Ian selesai dengan urusannya. Masih bisa kurasakan sakit di hidungku akibat benturan keras tadi. Jemariku meraba kembali bagian hidung yang masih terasa linu itu walau hanya samar-samar. Memijatnya sedikit untuk meredakan rasa sakitnya.
Itu batu atau badan sih, keras sekali, batinku menggerutu kesal kemudian. Hingga akhirnya seseorang datang menghampiriku. Aku mendongakkan kepala untuk menoleh ke arahnya.
“Udah nih, yuk! Loh kenapa tuh hidung? Kok merah?” tanya Ian sembari memerhatikan hidungku yang sedikit memerah. Aku masih sibuk mengusapnya untuk menenangkan rasa linu di tempat itu.
“Gak apa-apa. Cuma kena tabrak dikit tadi,” jawabku dengan singkat. Ini bukan masalah besar bagiku.
“Mana coba sini lihat!” Ian langsung menundukkan tubuhnya lebih mendekat ke arahku untuk melihat wajahku. “Duh, mangkannya hati-hati. Udah kecil entar makin kecil lagi tuh hidung! Ini salah satu asetku yang berharga tau!” omel pria itu kemudian sembari dengan seenaknya mencubit hidung kecilku cukup keras dengan gemas.
“Akh, sakit Ian! Kok malah dicubit sih! Ini tuh asetku, bukan asetmu, dasar!” Aku tentu saja tidak terima dengan ucapan kepemilikan Ian. Ditambah lagi Ian semakin membuat hidungku memerah dan linu. Aku menjadi semakin sebal. Segera aku bangkit dari duduknya dan berlalu pergi meninggalkan Ian begitu saja.
“Ck, kamu kan model boneka manisku, Lea. Tentu saja semua bagian dari tubuhmu itu menjadi aset berharga bagiku, dasar Gadis Kecil! Untung gemesin!” gerutu Ian balik sembari mengikuti langkah kaki kecilku di belakang. Namun aku sudah tidak memedulikan celotehannya lagi.
Kami akhirnya tiba di perpustakaan sekolah. Aku langsung menghampiri buku-buku n****+ yang juga tersedia di sana. Sedangkan Ian sendiri kulihat sudah memilih tempat yang nyaman untuk kami berdua yang terletak di pojok ruangan. Jauh dari keramaian murid-murid meski sebenarnya tempat itu juga termasuk cukup jarang dikunjungi murid-murid. Aku mengangguk puas dengan pilihan tempatnya.
Ian mengeluarkan ponselnya dan langsung tenggelam dalam permainan game mobilenya, sementara aku sendiri kini datang dengan beberapa buku bacaan tema kesukaanku sendiri. Ian langsung membuka ruang untukku masuk seperti biasa tanpa kata dan tanpa menoleh sedikit pun ke arahku.
Aku lalu melangkah masuk melewatinya dan duduk di sebelahnya yang berada di dekat tembok dalam diam. Entah kenapa pria itu selalu menempatkanku di sebelah tembok. Membuatku sering terkurung dan tidak bisa keluar masuk dengan mudah karena Ian cukup sulit untuk disuruh menggerakkan kakinya lagi jika dirinya telah fokus pada mainannya.
Aku duduk dengan santai di dekat dinding dan menyandarkan punggung kecilku di sana. Dengan begitu, aku juga bisa dengan mudah melihat sisi samping dari Ian yang kini telah fokus dengan permainan mobilenya sendiri. Pria itu memakai headset agar tidak menggangguku dan siswa yang lain yang tengah belajar di sana.
Melihat sisi samping Ian membuatku tersenyum kecil kemudian. Aku mulai meraih buku bacaanku dan membukanya. Hanya sebuah n****+ fantasy romance karangan penulis lokal yang bernama Daisy. Akhir-akhir ini aku mulai tertarik membaca cerita fantasy romance, dan aku cukup menikmati jalan ceritanya.
Kubuka lembaran pertengahan yang terakhir telah k****a dari buku berjudul Leon tersebut. Sampulnya memakai gambar setengah dari wajah seorang gadis kecil yang manis, dan di sebelahnya terdapat gambar setengah dari wajah harimau. Dari perkenalannya sih itu cerita yang terlihat cukup menyedihkan.
Sejauh ini aku disuguhkan dengan tingkah kocak dan menyentuh dari hubungan di antara kedua tokoh utama tersebut. Mereka terlihat begitu saling menyayangi satu sama lain meski salah satu tokohnya cukup kaku dalam menyampaikan perasaannya.
Tokoh utama wanita begitu dekat dengan harimau tersebut tanpa menyadari bahwa sebenarnya ada kejahatan besar yang telah dilakukan harimau itu terhadap keluarga si gadis. Aku mengira bahwa cerita ini akan berakhir tragis. Namun entah kenapa aku tetap lanjut membaca cerita tersebut.
Padahal aku sendiri sangat membenci cerita tragis. Aku benci ketika aku harus menangis dan mengeluarkan air mata karena hal yang menyedihkan seperti itu. Namun tetap saja aku tidak bisa menahan rasa penasaran dalam pikiranku untuk tetap mengikuti jalan cerita tersebut.
Entah kenapa interaksi di antara keduanya mengingatkanku dengan Ian. Kami nampak begitu akrab dan terhubung satu sama lain. Bahkan terkadang hanya dengan pandangan mata saja kami bisa mengerti apa yang tengah kami pikirkan satu sama lain. Dan itu membuatku senang.
Menyadari bahwa dirimu terhubung dengan seseorang yang selalu ada di hatimu itu sangat mengesankan. Seolah kau tidak sendiri hidup dalam dunia ini. Aku diam-diam tersenyum kecil memikirkan hal itu. Mata bulatku kembali menoleh ke arah Ian yang sangat mengejutkannya ternyata juga tengah memerhatikan diriku saat ini.
Wajah bodohku yang sedari tadi sibuk senyum-senyum tidak jelas langsung membeku di tempat ketika menatap Ian yang kini tengah memerhatikan diriku dengan pandangan yang sulit diartikan. Aku yakin dia tengah berpikir bahwa aku terlihat bodoh saat ini.
“Kau terlihat bodoh dengan wajah bodohmu saat ini, Lea.” Nah kan. Apa yang kubilang? Dia benar-benar menganggapku bodoh saat ini.
“Ehem, jangan pedulikan aku!” sungutku yang langsung menundukkan kepala dalam-dalam. Aku langsung berpura-pura membaca bukuku kembali dengan serius agar Ian tidak membahas kebodohanku lagi. Tanpa kusadari, pria itu benar-benar tengah berusaha keras menahan tawa karena tingkah konyolku itu. Ini memalukan sekali.