Kenangan adalah ribuan coretan berwarna di atas kertas, sekeras apa pun kau mencoba menghapusnya hasilnya akan tetap membekas.
__________________&&&___________________
Deg.."Aqila," desis Azzam bersamaan dengan denting jam dinding kamar yang berdenting, kenangan bersama Aqila kembali berputar bagai film dokumenter, klise demi klise bergulir tanpa bisa ia cegah. Azzam mencoba menghalau perasaan tak jelas yang tiba-tiba melesak cepat bagai busur panah, tangannya bergetar dengan jantung berirama cepat lalu memasukkan kembali jam tangan itu ke dalam tempatnya.
Azzam masih mematung di tempat saat sebuah kertas berwarna ungu dengan lipatan berbentuk hati jatuh dari paper bag tersebut, ia pungut kertas itu dengan gemuruh hati yang tak bisa Azzam deskripsikan, seperti cubitan kecil dalam hati terdalamnya saat mengetahui istrinya memiliki cinta lain selain dirinya. Hati Azzam meronta tak terima meskipun ia sadar nama Aqila pun belum sepenuhnya terhapus dari memorinya. Perlahan ia buka lipatan kertas itu.
Dear My Love,
Hari ini aku berjanji Adiva, aku akan menjadikanmu ratu dalam hidupku bahkan sebelum kau memintanya kau telah lama bertahta dalam hatiku, dua langkah sudah kulalai dan sekarang kita hanya menunggu waktu menyatukan kita dalam ikrar suci. Insyallah jika Allah menghendaki 2 tahun lagi aku akan menjemputmu bersama keluargaku. Kuharap janji setia kita masih terpatri kuat saat waktu itu tiba.
Aldebaran Malik
Azzam segera melipat kertas itu seperti semula lalu memasukkan kembali ke tempatnya, Azzam tak menggubris perintah hatinya untuk menyingkirkan semua itu, meskipun menyakitkan Azzam akan bersabar hingga Adiva sendiri yang memilih membuang semua kenangannya bersama Aldebaran dan menyerahkan seluruh rasa padanya, meskipun ia tahu akan terluka.
Tiba-tiba seulas senyuman tersungging di kedua sudut bibirnya saat melihat tumpukan hasil karya istrinya, Adiva memiliki bakat menggambar yang luar biasa, banyak sketsa gambar yang belum ia warnai. Ia buka lembaran itu satu persatu. Namun pada lembar ke 5 ia baru menyadari bahwa di setiap ujung gambar itu terdapat inisial huruf AM, inisial huruf yang pernah membuatnya penasaran saat awal mereka menikah. "Aldebaran Malik," gumamnya sambil menahan hantaman keras tepat mengenai dadanya, masih dengan rasa penasaran ia membuka laci meja belajar milik Adiva.
Deg..matanya membulat seketika saat ia melihat tumpukan kertas warna-warni dengan lipatan-lipatan berbentuk hati, ia buka dan membacanya sekilas, hanya coretan puisi ala remaja biasa. Namun ada sesuatu yang mengusik hatinya saat semua kertas itu tertera inisial huruf AM dan bunga-bunga yang sudah mengering menyertainya. Azzam memejamkan mata sejenak mencoba menenangkan hatinya yang bergemuruh sembari beristighfar berulang kali.
"Mas lagi ngapain?" Suara Adiva seketika mengejutkan dan membuat matanya terbuka sempurna.
"Maaf Dek, aku lancang telah membuka barang-barang pribadi milik kamu," jawab Azzam sembari menatap Adiva dengan sendu, tak bisa dibohongi bahwa hatinya semakin terluka saat melihat ekspresi wajah Adiva.
Adiva bergeming, ia mematung melihat barang pribadi miliknya berserakan di atas meja belajarnya, bukan karena marah tetapi ia khawatir jika suaminya salah paham, Adiva bukannya sengaja menyimpan semua kenangan bersama Al, hanya saja ia belum sempat membersihkan semua itu, ia sudah berjanji akan menjaga janji suci pernikahan mereka dan Al hanya akan menjadi sebuah kenangan di sudut hatinya karena kini Azzam adalah imam yang akan menjadi masa depannya.
"Mas, aku bisa jelasin semuanya," ucap Adiva dengan mata nanar, ia bisa melihat sorot terluka dari kedua netra Azzam.
"Aku paham Dek, ada pria lain di hatimu sebelum aku hadir," balas Azzam singkat lalu memasukkan kembali barang-barang Adiva seperti sedia kala. Wajah dingin dan datar yang dulu selalu Adiva lihat kini melekat di sana. Membuat nyalinya menciut untuk sekadar mendekati Azzam.
Azzam bangkit dari duduknya lalu melepas baju koko dan menyisakan kaos dalaman berwarna putih dan sarung, ia naik ke atas ranjang tanpa berucap lalu memejamkan mata dengan posisi membelakangi Adiva. Adiva mengikuti naik ke atas ranjang lalu menatap langit-langit kamarnya, untuk kesekian kalinya ia menoleh menatap punggung Azzam yang tampak tenang. Tak ada candaan, tak ada kecupan dan tak ada pelukan yang selalu menenangkannya. Perasaan bersalah kian menyesakkan hatinya kala Azzam masih saja diam seribu bahasa.
Kembali Adiva mencoba memberanikan diri untuk menyentuh bahu Azzam namun ia segera menarik tangannya kembali saat tubuh Azzam bergerak, kenangan saat Azzam dulu memarahinya di depan teman-temannya di sekolah bagai sebuah klise. Takut, itu yang dirasa Adiva sekarang, Azzam tak segan-segan membentak dan memukul jika siswa itu berani melawannya, meskipun itu hanya berlaku hanya pada siswa putra. Apa mungkin Azzam akan bersikap kasar padanya?.
Hingga pukul 2 dini hari Adiva masih saja terjaga, lelah karena Azzam masih saja mendiamkannya, Adiva tahu Azzam juga belum tertidur seperti dirinya, hembusan nafas keras lolos dari bibirnya saat ia berpindah posisi turut membelakangi Azzam, air matanya mengalir deras tanpa bisa ia bendung lagi.
Azzam mendengar isakan lirih Adiva yang terasa seperti sayatan tajam menggores hatinya namun ia masih bertahan dalam diam, terlalu sakit mengetahui istrinya masih menyimpan semua kenangan bersama sang mantan kekasih. Sejam lebih akhirnya Azzam berpindah posisi menghadap Adiva, ia tidak tega melihat istrinya menangis semalaman seperti itu apalagi posisi mereka sedang berada di rumah kedua orang tua Adiva, bagaimana ia nanti akan menjawab pertanyaan kedua mertuanya saat mereka melihat mata bengkak Adiva namun yang ia dapati justru nafas Adiva yang teratur menandakan ia sudah terlelap. Istrinya pasti tertidur karena kelelahan menangis. Terdengar helaan nafas panjang sebelum Azzam bangun lalu mengambil air wudhu.
Hati Azzam merasakan ketenangan setelah melaksanakan salat malam, ia puas setelah berkeluh kesah dengan Sang Pencipta. Masih duduk di atas sajadahnya yang terbentang di atas lantai Azzam menatap wajah teduh istrinya yang sedang memeluk guling dengan erat, tampak sisa air mata masih membekas di pipinya, perlahan ia sadar bahwa sikapnya salah, Adiva masihlah remaja labil yang butuh bimbingannya. Dan itu adalah tugasnya sebagai kepala keluarga, tidak pantas jika ia malah ikut bersikap kekanak-kanakan hanya karena rasa cemburu.
Dengan perasaan bersalah Azzam kembali naik ke atas ranjang lalu memeluk Adiva dari belakang, ia kecup puncak kepala Adiva dengan sayang.
"Maafkan aku Sayang," bisik Azzam sembari memejamkan mata.
Adiva terkejut saat mendapati sebuah tangan besar melingkari perutnya, ia rasakan hembusan nafas hangat nan tenang menyapu puncak kepalanya. Ia terdiam tanpa berani bergerak sekaligus mengobati rasa rindu di hatinya, padahal hanya semalam saja ia tidur tanpa pelukan sang suami tapi rindu itu berhasil menyiksanya.
Berlahan Adiva melepaskan tangan Azzam dari atas tubuhnya saat kumandang adzan subuh sayup terdengar.
"Sebentar lagi Sayang, kita jamaah salat subuh bersama," ucap Azzam masih dengan mata terpejam yang seketika membuat tubuh Adiva membeku.
"Maafkan Mas, Sayang," bisik Azzam saat tak ada tanggapan dari Adiva.
"Aku yang salah Mas, seharusnya aku yang minta maaf," balas Adiva sembari beralih posisi menghadap Azzam. Seketika mata Adiva berkaca menatap netra suaminya yang juga menatapnya dengan lembut.
"Maafkan Mas karena membuatmu menangis." Azzam mendekap tubuh mungil Adiva sembari menghujani wajah Adiva dengan kecupan.
Adiva mengangguk dengan air mata menderas lalu membalas pelukan Azzam dengan erat.
"Cup cup...jangan menangis lagi," ucap Azzam lalu melepas pelukannya, ia seka air mata Adiva lalu mencium kedua kelopak mata Adiva bergantian.
Senyum Adiva merekah saat tiba-tiba Azzam menggendongnya ke arah kamar mandi, "yuk kita salat dulu, setelah itu...," Ucapan Azzam menggantung dengan seringai m***m yang sudah Adiva hafal.
Adiva mengangguk dengan malu-malu bersamaan dengan pipinya yang bersemu merah.
*****
Kini keluarga Adiva sedang sarapan bersama dalam suasana hangat yang diwarnai dengan obrolan ringan seputar kegiatan masing-masing. Namun, Farhan memilih lebih banyak berdiam diri, hanya memberi jawaban singkat saat ada pertanyaan yang menghampirinya, ia sedang kesal saat melihat mata sembab Adiva, ia yakin rumah tangga adiknya sedang ada masalah dan Farhan tahu pasti penyebabnya adalah kedatangan Al beberapa hari yang lalu.
"Oya Adiva sampaikan salam terima kasih Ayah pada temanmu Al karena sudah jauh-jauh membawakan oleh-oleh untuk kami, Ayah jadi merasa bersalah karena tidak bertemu dengannya saat ke sini," ucap Mansur tanpa menyadari raut terkejut semua orang yang berada di ruang makan tersebut.
Adiva membeku dengan kepala menunduk, lidahnya kelu hanya sekadar untuk menanggapi ucapan Mansur ayahnya. Adiva paham maksud ucapan ayahnya yang memang tidak tahu-menahu soal hubungannya dengan Al, hanya pada Fitri, Adiva menceritakan tentang perasaannya terhadap Al. Rencana perjodohannya dengan Azzam pun sempat menjadi perdebatan antara Mansur dan Fitri. Karena tidak ingin melihat kedua orang tuanya berselisih Adiva menyetujui perjodohan itu meskipun dengan berat hati.
"Insyallah nanti saya sampaikan Ayah, kebetulan saya mengenal Al sudah lama, dia dulu santri bimbingan saya sewaktu masih di pondok pesantren," terang Azzam dengan santai sembari tangan kirinya menggenggam erat tangan Adiva yang berada di bawah meja. Adiva tersentak sambil menatap Azzam yang masih menatap Mansur dengan tersenyum.
"Syukur kalau kalian sudah saling mengenal, Al dulu sering main ke sini bersama Safira sahabat Adiva," lanjut Mansur setelah meneguk sisa air putih dalam gelas di hadapannya.
Fitri dan Farhan hanya bisa membisu sembari memperhatikan sikap salah tingkah Adiva.
"Ayah, Ibu aku berangkat kerja dulu ya dan kamu Dek, Mas Hahan sayang sama kamu," ucap Farhan setelah menyalami kedua orang tuanya lalu mengecup puncak kepala Adiva dengan sayang. Tanpa sengaja Farhan melihat kedua tangan mereka saling bertaut di bawah meja. Namun ia segera mengalihkan perhatiannya saat mendengar suara dehaman dari Fitri.
Ehem...Fitri berdeham meminimalisir keadaan agar Farhan segera pergi lalu berucap, "Maaf Nak Azzam, ya gitu tingkah Farhan kalau sama adiknya, akhir-akhir ini Farhan lebih banyak diam karena tidak ada yang ia usili lagi sekarang," terang Fitri yang seketika membuat Azzam tergelak.
"Saya paham Bu, emang adiknya sudah saya rebut," balas Azzam ramah.
"Mas Azzam nitip Adiva ya? Jaga dia baik-baik," sela Farhan sembari mengulurkan tangan ke arah Azzam.
"Pastilah Mas, saya akan selalu jagain Adiva dengan baik, oya kenapa Mas Farhan manggil saya Mas? panggil Dek atau Azzam saja," pinta Azzam dengan ramah.
Farhan tersenyum lalu mengangguk, ia tepuk bahu Azzam pelan sembari mengedipkan sebelah matanya. Kini Farhan merasa lega saat melihat pendar cinta dalam netra Azzam, Farhan hanya ingin menyerahkan adik kesayangannya dengan tenang pada orang yang tepat.