Keping 10 : Rahasia Hisyam

1671 Kata
Kehidupan bak permainan rubrik. Semakin kau mainkan semakin menarik. Logika dan rasa saling memekik. Setiap kepingan puzzle memiliki trik. Dan sebagai penyempurna rasa kau harus b******u dengan intriks. _________________&&&_________________ Jantung Adiva tiba-tiba berdebar kencang saat langkahnya terhenti tepat di depan teras rumah megah dengan pilar-pilar besar di sisi kiri dan kanannya, untuk kedua kali ia menginjakkan kaki ke dalam rumah bermodel modern klasik itu. Ia tarik nafas dalam-dalam sebelum ia ikuti langkah Azzam. "Assalamualaikum...," Ucap Azzam sembari membuka pintu kayu jati besar dengan ukiran yang mengelilingi tiap sisinya. "Waalaikumsalam..." Terdengar suara balasan dari arah dalam rumah. Tak lama muncullah wanita berusia sekitar setengah abad yang masih menyisakan jejak-jejak kecantikan di masa senjanya. Wanita dengan wajah bulat, putih, dan cantik itu masih tampak lincah dengan pakaian daster batik kesayangannya. Tampak guratan-guratan halus itu tertarik membentuk sebuah senyuman lembut. "Loh pengantin baru pulang, kok nggak bilang-bilang dulu sih Le, kan ibu bisa masak spesial buat kalian," ucap Arumi ibu Azzam dengan tatapan sendu bergelung rindu. Azzam dan Adiva segera meraih tangan Arumi dan mencium punggung tangannya bergantian. Mereka ngobrol sebentar saling menanyakan kabar. "Bu saya dan Adiva ke kamar sebentar ya? Naruh tas dulu," pamit Azzam setelah meletakkan dua kardus oleh-oleh titipan dari orang tua Adiva. "Iya sana masuk dulu, ibu bantu Bi Mirah nyiapin makan siang dulu ya?" Balas Arumi sembari mengelus bahu Adiva dengan sayang saat Adiva menawarkan diri akan membantu Arumi. "Kita istirahat sebentar sekalian sholat dzuhur dulu Dik," terang Azzam yang seketika mendapat anggukan kepala Adiva. "Mas, aku sungkan sama ibu, beliau masak aku malah santai di kamar sih," ujar Adiva yang sudah duduk di tepi ranjang. Klik. Azzam menyalakan AC kamarnya untuk menghalau udara panas setelah perjalanan jauh, karena sudah lama tinggal di Jombang kini saat ia berada di kota kelahirannya justru ia tidak betah karena udara panasnya. "Ada Bi Mirah yang membantu ibu," balas Azzam lalu melepas jarum pentul di jilbab Adiva, ia lepas jilbab adiva lalu meletakkannya di atas meja rias. Azzam merebahkan tubuhnya lalu disusul Adiva yang bersandar di dadanya. "Kita bersantai dulu, bentar lagi ayah pulang dari toko, dan sepertinya Hisyam sedang di rumah juga," terang Azzam sambil membelai rambut Adiva, tanpa Azzam sadari perkataannya membuat Adiva gugup seketika. Adiva belum siap bertemu Hisyam setelah acara pernikahannya dan Azzam waktu itu. Adiva bukanlah gadis lugu yang tidak tahu mengenai perasaan seseorang padanya. Apalagi Hisyam pernah menyatakan perasaannya sewaktu ia masih duduk di bangku kelas 12 SMA, dan Adiva pun baru tahu jika kepala Laboratorium IPA_nya itu adalah adik kandung Azzam, suaminya. "Oya Mas lupa terus mau nanya, kamu udah kenal Hisyam kan? Dia kan karyawan di sekolah kamu dulu," ucap Azzam yang semakin membuat Adiva bingung harus menjawab apa. "I iya Mas, Pak Hisyam dulu kepala Lab IPA di sekolahku," jawab Adiva berusaha bersikap senormal mungkin. Adiva hanya takut Hisyam akan mengacuhkannya seperti dulu. Flashback On "Adiva kamu mau nggak jadi calon istri saya?" Tanya Hisyam sewaktu mereka hanya berdua di ruang laboratorium. "Hahaha, Pak Hisyam bisa aja nanti di kira orang p*****l loh," tawa Adiva membahana dalam ruangan yang hanya berpenghuni mereka berdua. "Ya nggaklah Adiva, usia kamu 18 tahun dan saya baru 25 tahun, cuma selisih 7 tahun, saya tunggu sampai kamu lulus kuliah nggak masalah kan?" terang Hisyam tanpa menoleh ke arah Adiva yang kini menatapnya dengan seringai jail. Hisyam masih serius membereskan dan menata peralatan lab ke dalam lemari kaca setelah dipakai praktikum anak kelas Adiva. "Kepala Pak Hisyam nggak habis kepentok pintu kan? Atau tadi sebelum berangkat ke sekolah salah minum obat, atau kesambet jin penghuni lab, hayo!" goda Adiva dengan ekspresi ngeri dibuat-buat, Hisyam tergelak, gadis di sebelahnya memang unik dan menggemaskan. "Nggaklah Adiva, saya serius suka sama kamu," ucap Hisyam dengan kesal sembari menatap Adiva tajam. Seketika Adiva mengerjapkan mata lalu memukul pipinya bergantian memastikan kesadarannya. "Berarti saya yang salah minum obat dong Pak, jadi telinga saya ngaco gini dengernya," ucap Adiva lalu segera pergi. Hisyam tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. "Oya Pak, dapat salam dari Ranti, fans berat Bapak," ucap Adiva sambil melongok kan kembali wajahnya di balik daun pintu lalu berlari dengan tawa nyaringnya. Sejak pernyataan itu Hisyam sering memanggil Adiva tanpa alasan yang jelas, lama-kelamaan Adiva sendiri merasa risih dan memilih menghindarinya. Dan tentu saja semua itu diketahui oleh dua sahabatnya, Safira dan Aldebaran. Flashback Off "Salat Yuk!" Ajak Azzam saat mendengar kumandang waktu dzuhur. "I iya Mas," jawab Adiva dengan terbata yang seketika membuyarkan lamunannya. Setelah salat dzuhur mereka ke luar kamar, Adiva bisa mendengar suara obrolan orang-orang dari arah ruang makan. Rumah orang tua Azzam memang tidak seperti rumah orang kaya kebanyakan, rumah itu di desain dan menggunakan interior yang sederhana namun elegan, kesan kejawen jelas tercipta dalam rumah megah ini. Semua pintu dan jendela terbuat dari kayu jati berukiran, ukurannya pun jumbo serta berlapis. Di ruang tengah berdiri tegap jam dinding kayu dengan suaranya yang nyaring saat waktu menunjukkan ketepatan waktu. Haidar tersenyum menatap Azzam dan Adiva yang berjalan beriringan dengan tangan bergandengan, hatinya lega karena putra sulungnya akhirnya menemukan tambatan hatinya, Haidar yakin kini mereka bahagia meskipun diawal pernikahan mereka tidak saling mencintai. Azzam mencium punggung tangan Haidar bergantian dengan adiva. "Ayo makan dulu," ajak Haidar sembari menggandeng Adiva untuk duduk di sebelahnya. Deg..Adiva menoleh ke arah Hisyam yang tengah duduk di seberangnya, di samping Arumi. Setelah bersalaman dengan Azzam, Adiva menganggukkan kepala dan tersenyum menyapa saat pandangannya bertemu dengan Hisyam. Hisyam tersenyum tipis lalu fokus ke arah makanan di hadapannya. Obrolan hangat menemani makan siang mereka, Adiva pun sesekali menanggapinya dengan ramah. Kecuali Hisyam, ia lebih banyak diam dan sesekali melihat layar ponselnya. "Kalian udah nikah dua bulan kan? Apa Adiva belum ada tanda-tanda?" Tanya Haidar dengan senyum merekah, ia sudah tidak sabar untuk menimang cucu. Rona merah seketika menyapu wajah ayu Adiva, Azzam tergelak lalu menggenggam tangan kiri Adiva. "Semoga segera diijabah oleh Allah Ayah, kami juga sudah berusaha," terang Azzam dengan wajah berseri menatap istrinya yang tertunduk malu di sampingnya. Binar bahagia jelas tercetak pada wajah kedua orang tua Azzam. "Maaf, izin angkat telpon dulu," pamit Hisyam tanpa basi-basi, hatinya panas melihat kemesraan kakak dan gadis yang ia cintai. Jika saja ia dulu bersikap egois pastilah Adiva menikah dengannya bukan dengan Azzam. Sesampainya di kamar Hisyam melempar ponselnya ke atas ranjang, hatinya mendidih, hampir dua bulan ia berhasil menghindari pertemuan dengan Adiva dan sekarang tiba-tiba mereka tinggal satu atap untuk beberapa hari. Seandainya ia tau Azzam dan Adiva pulang pastilah ia memilih tetap di pesantren saja. Ia bisa melepas rindu bersama kedua orang tuanya dilain waktu. Hisyam mengusap wajahnya dengan kasar sembari mengucap istighfar berulang kali. Ia duduk di tepi ranjang, pandangannya fokus menatap layar ponsel dengan mata nanar. Tanpa Hisyam sadari Arumi tengah berdiri di samping Hisyam sembari menatap foto Adiva yang terpampang di ponselnya. "Astaghfirullah Le, kenapa kamu masih menyimpan foto Adiva di ponselmu?" Ucap Arumi yang seketika membuat Hisyam menjatuhkan ponselnya di atas lantai karena terkejut. Dengan cepat Arumi mengambil ponsel Hisyam,"Bu, please mana ponselku." Hisyam mengiba, netranya nanar menatap netra Arumi yang basah. "Ibu harus menghapusnya, ikhlaskan Le, dia sekarang menjadi Mbak ipar Kamu," peringat Arumi tegas. Ia tidak mau melihat putra bungsunya masih saja memikirkan Adiva. Walaupun Arumi tahu kesalahan bukanlah pada putranya melainkan dirinya dan suaminya. "Aku akan melakukannya Bu, tapi tolong Bu jangan paksa aku..." Suara Hisyam serak karena menahan gemuruh di dadanya. "Bu hentikan!" cegah Hisyam saat Arumi mulai men_deleted foto-foto Adiva dari galeri ponselnya satu persatu. Air mata Arumi mengalir deras dengan Hisyam yang duduk di bawah sembari memeluk kakinya, tubuhnya bergetar kala mengingat permintaan Hisyam untuk melamar Adiva saat gadis itu masih duduk di bangku kelas 2 SMA dulu. Hisyam sudah jatuh cinta pada Adiva saat pertama kali mereka bertemu, saat itu Hisyam tidak sengaja ikut showan ke kediaman Ayah Adiva untuk bersilaturahim. Hisyam sendiri waktu itu sudah tahap penyusunan skripsi. "Apa aku salah Bu?, ibu melamar Adiva untuk aku tapi malah menikahkannya dengan Mas Azzam, Mbak Aqila pergi saat akad nikah segera dimulai apa salah aku juga? Lalu Ibu dan Ayah beralasan jika aku tidak boleh menikah sebelum Mas Azzam menikah, katanya pamali, dan....," terang Hisyam dengan senyum sarkas, kerongkongannya tercekat tak mampu berkata-kata lagi. Tubuh Azzam bergetar mendengar perbincangan ibu dan adiknya dari celah daun pintu. Tadi dengan hati berbunga Azzam ingin berbagi cerita kebahagiannya dengan Adiva pada Hisyam. Namun justru tamparan keras yang ia peroleh. Ia tidak tahu jika karena dirinyalah adik kesayangannya terluka. "Maksudnya apa Bu, Syam? Katakan!" Ucap Azzam sambil melangkah masuk ke dalam kamar Hisyam. Arumi dan Hisyam terkejut seraya menoleh ke arah Azzam dengan perasaan bingung. "Mas Azz..," ucap Hisyam tercekat, mengapa ia bisa berbicara seceroboh ini. Arumi terduduk kembali di tepi ranjang dengan air mata berlinang, ia tidak bermaksud pilih kasih dengan kedua putranya, ia hanya ingin yang terbaik untuk kedua putranya, Arumi pun tak menyangka jika Hisyam begitu mencintai Adiva, setahunya mereka tidak saling mengenal. Melihat Ibunya bersedih hati kedua putranya pun ikut hancur. "Maafkan aku Bu," Hisyam memeluk kaki Arumi dengan berlinang air mata. Azzam ikut terduduk lalu menatap Arumi lembut sembari mengusap air mata yang mengalir di pipi wanita itu, "Maafkan aku Bu, karena aku Ibu dan Ayah sampai melakukan ini semua untukku, Maafkan aku Dek mengapa kamu tidak pernah cerita sama Mas?" Ucap Azzam bergantian menatap Arumi lalu ke arah Hisyam. "Ibu hanya ingin yang terbaik untuk kalian," balas Arumi sembari kedua tangannya membelai puncak kepala kedua putranya. "Aku sudah ikhlas Bu, aku ikhlas," tangis Hisyam pecah, tangannya memeluk erat kaki Arumi. Sungguh Hisyam tidak pernah berniat buruk apalagi sampai membuat ibunya bersedih seperti ini. "Apa Adiva tahu soal ini Bu?" Pertanyaan yang sedari tadi ia tahan akhirnya lolos dari bibir Azzam. "Adiva tidak tahu apa-apa Mas, jadi tolong tetap rahasiakan ini semua, aku tidak mau ada salah faham di antara kita, Mas Azzam tidak perlu memikirkan aku, aku bahagia jika Mas juga bahagia." Hisyam berganti memeluk Azzam dengan erat. Hatinya lebih terluka jika harus melihat orang-orang yang ia sayangi bersedih. "Terima kasih Dek," balas Azzam singkat. Pikirannya masih berserakan seperti kepingan puzzle, berusaha menyatukan kepingan-kepingan itu kembali hingga kenyataan itu bisa ia terima secara logika.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN