Terkadang waktu seakan membunuhmu dalam ketiadapastian
Seperti sekarang aku menunggu tempatku beredar namun malam tak jua bangun dari lelapnya
Kemarin kucoba mencumbu langit dalam selimut mendung, ia merajuk manja
Dan sekarang kucoba memeluk purnama untuk meredam rinduku
Karena dengan begitu aku mampu menemukan senyummu
Aldebaran Malik
________________&&&_______________
Semester 4 akan segera berakhir dan itu artinya sebentar lagi ia bisa berkunjung ke kota Jombang menemui Adiva, gadis pujaan hatinya. Al sudah tak sabar menunggu waktu yang selalu ia nantikan setiap tahunnya. Hanya 2 kali dalam setahun ia bisa menemui Adiva dan sebentar lagi waktu yang dinanti-nantikan itu tiba.
Kembali Al melanjutkan pekerjaannya mempelajari tugas di Kejaksaan Agung Muda bidang tindak pidana khusus, itulah tugas Al sekarang membantu di bidang itu atas rekomendasi papanya, ia hanya akan datang di jam kosong kuliahnya yakni hari Rabu dan Sabtu. Meskipun niat awal Al kuliah di jurusan Sastra Inggris namun kini ia mulai merasa nyaman dengan fakultas pilihan orang tuanya itu, semangatnya selalu berkobar saat mengingat senyuman Adiva, dan ia akan membuktikan pada Adiva bahwa ia akan menjadi pengacara andal nantinya hingga layak bersanding dengan Adiva.
Al tersenyum menatap layar ponselnya, foto dirinya bersama Adiva saat liburan semester 3 kemarin, senyuman keduanya tampak bahagia. Ia belai layar ponselnya sambil mendesah pasrah merasakan sesak di d**a karena kerinduan yang selalu ia rasakan setiap waktu.
"Adiva, I really miss u," desis Al lalu segera memasukkan ponselnya ke dalam saku jaket dan bergegas ke luar kantor setelah berpamitan pada rekan-rekan se kantornya.
"Nomor yang Anda tuju tidak terdaftar."
Kembali Al mencoba menghubungi Adiva, hasilnya masih nihil seperti beberapa minggu yang lalu. Namun Al tak mau menyerah dengan keyakinannya bahwa Adiva akan selalu menjaga hatinya hanya untuknya seorang. Ia genggam ponselnya dengan kuat bersamaan dengan tubuhnya yang sengaja menjatuhkan diri ke atas ranjang.
"Adiva apa kamu juga merindukanku seperti aku yang selalu merinduimu?" Dengung Al pada dirinya sendiri.
"Aa' jadi main ke Jombang?" Tanya Riana mama Al yang tiba-tiba sudah berdiri di ambang pintu lalu berjalan masuk ke dalam kamar Al dengan tersenyum lembut.
"Jadi dong Ma, Al sudah nggak sabar aja nunggu minggu depan," balas Al lalu meletakkan kepalanya di pangkuan Riana yang kini duduk di sisi ranjang.
Dengan tersenyum lembut Riana membelai rambut Al, Riana tidak menyangka putra sulungnya bisa mencintai seorang gadis sampai seperti ini, dulu Riana kira cinta Al terhadap Adiva hanya sebatas cinta monyet ala anak remaja. Namun melihat hubungan Al dan Adiva hingga saat ini anggapan Riana terbantahkan, Riana berjanji dalam hati setelah Al menyelesaikan studi S1-nya nanti ia akan meminang Adiva untuk Aldebaran, putranya.
"Mama dan Papa nitip salam buat calon menantu Mama ya?" ucap Riana yang seketika menerbitkan senyuman lebar di kedua sudut bibir Al.
Al mengangguk dengan mata berbinar, dua langkah sudah ia tapaki, mendapatkan hati Adiva dan restu kedua orang tuanya.
*****
"Hemmm.. Wangi banget sih istriku," bisik Azzam sambil memeluk Adiva yang sedang mengenakan hijabnya.
"Iya dong," balas singkat Adiva sambil mengerling manja ke arah Azzam yang menatapnya dari balik cermin.
"Jadi pingin bolos ngajar deh," ucap Azzam yang seketika membuat Adiva tergelak.
"Gitu entar kalau ada mahasiswanya bolos Mas ngomel sekarang ngajakin bolos, hari ini juga ujian terakhirku Mas," tegur Adiva lalu melepaskan kedua tangan Azzam yang melingkar posesif di perutnya, ia mengambil tas dan mengecek buku yang akan ia bawa ke kampus. Kalau tidak segera pergi bisa-bisa Azzam akan menyekapnya kembali di dalam kamar dan dia harus mengikuti ujian susulan untuk menggantinya.
"Habisnya Mas pengen berdua sama kamu terus," rengek Azzam, padahal Azzam pun sudah memakai pakaian lengkap untuk mengajar. Dengan cemberut Azzam mengambil tasnya lalu mengikuti Adiva yang sudah melenggang ke luar kamar. Adiva hanya bisa tersenyum melihat tingkah manja suaminya yang akhir-akhir ini muncul.
"Dasar ABG tua, tapi aku suka," desis hati Adiva yang tiba-tiba membuat pipinya merona.
Di belakang kemudi Azzam ikut tersenyum melihat rona di pipi Adiva. Rasanya ingin sekali ia putar balik arah mobilnya kembali ke rumah lalu mengulang manisnya pengantin baru yang baru 2 minggu ini ia rasakan.
Sesampainya di kampus Adiva segera meraih tangan Azzam dan mencium punggung tangannya.
"Eh main kabur aja," protes Azzam lalu menarik tangan Adiva hingga Adiva terduduk kembali. Azzam melihat ke luar kaca melihat suasana sepi dengan cepat ia mencuri kecupan singkat di bibir Adiva.
"Makasih Sayang," bisik Azzam lalu segera ke luar dari mobil sebelum Adiva melayangkan protesnya.
Azzam dan Adiva berjalan dengan arah yang berlawanan, kantor Azzam di gedung sebelah Barat, tepatnya gedung PAI sedangkan gedung fakultas Psikologi terdapat di sebelah Timur, dari kejauhan Safira melambaikan tangan ke arah Adiva yang langsung disambut oleh Adiva sembari melangkah mendekati Safira lalu berjalan menuju ruang ujian mereka bersama.
"Tumben kamu diem Fir, ada apa?" Tanya Adiva melihat Safira yang terlihat gelisah.
"Nggak papa Div aku cuma takut nggak bisa ngerjain soal mata kuliah psikologi klinis aja, semalam aku keasyikan WA-an sama Bang Hahan jadi nggak sempat buka buku deh," aku Safira dengan ragu, namun sejujurnya bukan itu yang membuat dirinya gelisah. Ia bingung harus menyampaikan pesan dari Al atau tidak, melihat binar bahagia yang akhir-akhir ini ia dapati dalam netra Adiva, Safira tak sampai hati menyampaikannya, akhirnya Safira memutuskan menyimpannya sendiri. Ia tidak ingin sahabatnya bersedih lagi, Safira hanya berharap semoga semuanya akan baik-baik saja, ia hanya ingin melihat sahabatnya bahagia.
"Dasar pacaran mulu!" cibir Adiva sambil mencubit pipi Safira dengan gemas, seketika Safira membalas Adiva dengan cubitan di lengannya.
"Aku sama Bang Hahan nggak pacaran kok," elak Safira yang seketika menciptakan semburat jingga di pipinya, sudah lama Safira memendam perasaan pada kakak sahabatnya itu. Namun Farhan tak pernah sekali pun menyatakan cinta pada Safira padahal hampir setiap hari mereka berkomunikasi layaknya pasangan kekasih. Bahkan Farhan bisa mengirimkan pesan 3 kali sehari layaknya minum obat dokter hanya untuk menanyakan, "lagi ngapain? Sudah makan belum?," Atau hanya sekadar bertanya, "Udah bobo Fir?"
Masih dengan bercanda Adiva dan Safira memasuki ruang ujian mereka. Selang lima menit dosen pengawas ruangan datang dengan map kuning berisi lembar soal di dadanya. Sebelum ujian dimulai dosen pengawas ruangan mengecek para peserta ujian barulah membagikan soal satu persatu pada semua mahasiswa.
Klik.. Ponsel Safira berbunyi diikuti kedipan cahaya bertanda sebuah pesan masuk dengan segera Safira membuka kunci layar ponselnya sebelum mengganti mode silent, karena selama ujian berlangsung semua ponsel mahasiswa harus mode silent atau Off.
Deg... Safira membeku saat membuka pesan dari Al, sebuah tiket kereta api dari Jakarta ke Jombang.
"Fir," panggil Adiva yang seketika membuat Safira tersadar dari lamunannya.
"Eh iya Div," jawab Safira dengan gugup lalu tersenyum kaku pada dosen pengawas ujian yang sudah berdiri di hadapannya dengan tatapan dingin. Kebetulan sekali pengawas mereka adalah Bu Luluk, dosen wanita ter-killer di Fakultas Psikologi.
"Ma maaf bu," ucap Safira lalu segera memasukkan ponselnya ke dalam tas setelah menekan tombol mode silent.
Setelah menyelesaikan dua lembar soal ujian mereka menuju kantin kampus untuk membeli minuman dingin untuk menyegarkan otaknya yang kepanasan setelah mengerjakan soal yang lumayan sulit.
Safira mencari kesempatan untuk mengatakan tentang pesan Al kepada Adiva agar nantinya Adiva tidak kaget saat tiba-tiba Al datang menemuinya, Safira khawatir kedatangan Al akan menimbulkan masalah baru dalam pernikahan Adiva dan Azzam nantinya.
"Adiv..." Baru saja Safira membuka bibirnya terlihat dari kejauhan Azzam berjalan ke arah mereka berdua. Safira menelan kembali ucapannya yang mengambang dengan susah payah.
Seperti biasa ekspresi datar dan dingin Azzam melekat di wajah tampan itu dengan jenggot tipis sebagai ciri khasnya. Tampak pula para mahasiswi pengagum Azzam menatapnya dengan senyuman memuja padahal seantero kampus kabar pernikahan Azzam dan Adiva sudah tersebar hingga viral di sss para mahasiswi. Namun mereka seolah tak peduli dengan status itu, mereka tetap berusaha menebar pesona hingga membuat Safira merasa ngenek.
"Sudah selesai Yang?" Tanya Azzam dengan lembut, Azzam tersenyum lembut pada Adiva tanpa menghiraukan tatapan memuja para mahasiswi di sekelilingnya. Bagi mengagum Azzam melihat senyuman Azzam adalah peristiwa langka yang penting untuk diabadikan ke dalam galeri ponsel mereka.
Azzam memang baru menikah diusia 35 tahun, bukan usia yang muda lagi tapi bukan karena ia tidak menarik, Azzam hanya menutup diri dari semua perempuan yang mendekatinya karena trauma setelah patah hati, ia ditinggal kekasih yang sudah dipacarinya selama setahun saat ijab qobul akan berlangsung 1 jam lagi. Calon istrinya itu kabur bersama mantan pacarnya.
"Sudah Mas, mau minum? biar aku pesenin," jawab Adiva lalu menawari Azzam minuman.
"Nggak usah Yang tadi di kantor sudah minum," balas Azzam masih menatap mesra Adiva.
Ehem.. dehaman Safira seketika menyadarkan Azzam dari pandangan Adiva, Azzam memang lupa diri bila berdekatan dengan istri mungilnya itu.
"Oh ya lupa saya kalau sedang di kantin kampus, maaf Fir," ucap Azzam lalu menatap Safira dan mengedarkan pandangannya pada pengunjung kantin yang sedang menatapnya juga.
Azzam tak peduli, ia berdiri lalu menggenggam tangan Adiva mengajaknya pergi setelah berpamitan pada Safira, dengan malu-malu Adiva mengikuti langkah Azzam dengan berusaha melepaskan genggaman tangan Azzam namun Azzam semakin mengeratkan genggamannya.
"Tolong rahasiakan ini pada Adiva Fir, aku ingin memberinya surprise."
Bahu Safira seketika meluruh setelah membaca pesan terakhir dari Al 10 menit yang lalu, ia pandangi punggung Adiva yang berjalan beriringan dengan Azzam yang mulai menjauh dari penglihatannya dengan mata nanar.
"Apa yang harus kulakukan Adiva?" Gumam Safira dalam hatinya yang nelangsa. Haruskah ia berterus terang namun menjadi alasan tergoyahnya rumah tangga sahabatnya yang baru terbangun? Ataukah memilih berdiam diri untuk bersiap menyaksikan kesakitan dua sahabatnya sekaligus?. Adiva dan Aldebaran.