Rea berjalan mondar-mandir di ruangan kerjanya. Jemarinya bergetar memegang ponsel yang baru saja diaktifkan. Beruntung Darius tidak mengambil ponsel itu tadi malam. Pria itu langsung tertidur setelah menyentuhnya. Ia harus segera menghubungi Raka dan berbicara dengan pria itu.
1 new message
Kening Rea berkerut melihat notifikasi di layar ponsel yang membentuk retakan di ujung sampai ke tengah lcd. Bersyukur ponsel itu masih bisa digunakan meskipun sudah setengah rusak.
Mungkin dari Raka, pikirnya dan segera membuka pesan tersebut.
From : Pak Raka
Besok aku akan mengurus semuanya. Kau hanya perlu melakukan tugasmu. Apa kau mengerti?
Ia benar-benar merasa lega semalam Darius mengabaikan ponsel yang berhamburan di lantai, sehingga tidak membaca pesan dari Raka yang terkirim sesaat setelah panggilan mereka terputus.
Setelah menekan panggilan cepat nomor satunya dan menyelipkan ponselnya di telinga, Rea menunggu jawaban dari Raka.
"Hallo, Rea."
"Raka, maafkan aku semalam tiba-tiba memutuskan pembicaaan kita."
"Aku mengerti. Mungkin kau sedikit terkejut dengan permintaanku dan butuh waktu berpikir."
"Mari saya antar, Tuan."
Rea membeku ketika indera pendengarannya menangkap suara lain dari seberang. Ia sangat mengenali suara tersebut. Itu suara salah satu sekretaris Darius, Diana. "Raka ...."
"Rea, aku harus menutup telponmu. Kita bertemu nanti siang. Okey?"
"Kau ada di mana sekarang?" tanya Rea dengan suara sedikit meninggi penuh kekhawatiran. Apa Raka akan berbicara dengan Darius? Berbicara baik-baik dengan Darius? Untuk melepaskannya?
Mustahil semua akan berjalan dengan baik-baik jika itu berhubungan dengan Darius. Apalagi tentang dirinya, dengan anak Darius di perutnya.
"Tenang saja, Rea. Aku akan mengurus semuanya. Bye." Raka mengakhiri panggilan.
"Hallo, Raka? Raka!" panggil Rea.
Tidak!
Ia harus menghentikan Raka sekarang juga. Ia tidak boleh membiarkan Raka menemui Darius. Tidak tahu apa yang akan pria kejam itu lakukan pada Raka. Mengingat kekejaman Darius, segala kemungkinan bisa saja terjadi.
Rea segera berlari ke arah pintu, tapi langkahnya terhenti ketika melihat seorang pria berpakaian serba hitam berdiri di depan ruangan. Sengaja menghalangi jalannya. Saat itu juga Rea tahu, Darius mengirim pengawal agar ia tidak mengganggu pertemuan pria itu dengan Raka. Pria itu maju selangkah lebih dulu daripada dirinya, atau tiga langkah.
"Minggir!" gertak Rea mengabaikan sopan santunnya pada orang asing mengingat pria itu bekerja untuk Darius.
"Maafkan saya, Nona. Tuan Darius menyuruh saya untuk memastikan anda tidak keluar dari ruangan Anda. Jika ada sesuatu yang penting, saya akan menyuruh teman ...."
"Aku hanya butuh keluar dari ruangan ini," jawab Rea sengit dan berusaha melewati tubuh besar yang menghalangi jalannya, "atau aku akan memanggil keamanan kemari."
"Anda tidak boleh ...."
"Ada apa, Rea? Apa ada yang menganggumu?" Suara baru yang muncul membuat kedua sosok itu menoleh ke asal suara.
Rea tersenyum dalam hati melihat salah satu temannya, Reno yang kebetulan lewat di lorong.
"Sama sekali tidak ada. Kami hanya ...." Pengawal itu menoleh dan menjawab.
Dan saat perhatian pengawal itu teralihkan, Rea segera mendorong tubuh pengawal itu dan berlari ke arah Reno dengan memasang wajah ketakutan yang dibuat-buat.
"Nona." Pengawal itu berusaha menghentikan langkah Rea, tapi terlambat, Rea sudah bersembunyi di belakang tubuh Reno. Sehingga pria itu langsung menghadangnya.
"Dia menguntitku, Reno. Aku tidak tahu bagaimana dia bisa menerobos keamanan di perusahaan ini."
"Nona, saya hanya ...."
"Reno, bisakah kau membawanya ke keamanan? Aku benar-benar ketakutan." Rea memotong kalimat pengawal tersebut. Jika Reno tahu pria ini adalah pengawal Darius, Reno tidak akan berani menolongnya.
"Pergilah, Rea. Aku akan menghadang dan membawanya ke keamanan." Reno mengangguk sekali dan tidak melepaskan pandangannya dari pria itu yang masih berusaha mencegah Rea pergi.
"Nona, Anda benar-benar akan menyesal jika ..."
"Terima kasih, Reno. Aku pergi dulu." Segera Rea berlari menuju lift di ujung lorong. Ia tidak punya banyak waktu. Pengawal Darius adalah orang pilihan, jadi tidak butuh waktu lebih dari semenit bagi untuk mengurus Reno dan mengejarnya.
Ia tersenyum kecut penuh permintaan maaf ketika pintu lift tertutup dan melihat Reno yang sudah jatuh tersungkur di lantai.
Dengan kedua tangan yang tidak berhenti bergetar menunggu sampai ke lantai yang di tuju. Alangkah terkejutnya Rea ketika pintu lift terbuka di lantai 21 dan menemukan pemandangan yang membuat perutnya melilit.
Melihat Raka yang meronta-ronta dari cekalan dua pria yang ia tahu adalah pengawal Darius. Raka menyumpah-nyumpah berang akan tindakan kedua pengawal tersebut. Namun, dengan malang pria itu tidak bisa lepas dari cekalan kedua pengawal Darius.
"Raka?!" Rea segera keluar dari dalam lift dan berlari ke arah Raka yang tidak jauh dari tempatnya, tapi langkahnya terhenti oleh cekalan tangan kokoh di pergelangan tangan. Matanya melotot menemukan si pemilik tangan dan berteriak memperingatkan, "Lepaskan aku, Alan!"
"Aku tidak pernah mau mencari masalah dengan Darius, Rea. Jadi, mengertilah posisiku sebagai sahabat baik Darius," jawab Alan ringan dengan senyum kecil.
Rea mengerang frustasi pada Alan. Jika manusia yang paling dibencinya nomor satu di dunia ini adalah Darius, maka di urutan kedua setelahnya adalah Frian Alandra Sagara dan Kaheza Keydo Ellard. Sahabat sekaligus orang kepercayaan Darius. "Kau benar-benar gila, Alan. Dia sepupumu sendiri!" maki Rea.
"Dia sudah memukul Darius dan karena dia sepupukulah aku memastikannya bisa keluar dari ruangan itu dengan tanpa luka sedikit pun. Bersama nyawanya."
"Lepaskan tanganmu darinya, Alan!" teriak Raka melihat Rea yang meronta dari cekalan tangan sepupunya itu, "Aku benar-benar tidak bisa memercayai kenyataan bahwa darah lebih kental dari air!"
"Aku memastikan kau jauh dari masalah, Sepupu," jawab Alan tenang. Menarik Rea menjauh dari Raka yang dipaksa masuk ke dalam lift, sedangkan dirinya memaksa Rea berjalan menuju ruangan Darius.
Ketika Rea masuk ke dalam ruangan Darius, ia melihat Darius yang bersandar di punggung sofa dengan mata terpejam. Sherlyn duduk di samping Darius mengoleskan salep pada luka di salah satu sudut bibir Darius yang berdarah.
Sesaat Sherlyn menghentikan aktifitasnya, melihat kedatangan Rea dan Alan. Menatap sejenak ke arah Rea dengan dingin, lalu menurunkan pandangan ke arah perut Rea. Sherlyn sudah tahu mengenai Rea yang tengah hamil anak Darius dan wanita itu sama sekali tidak menutupi kebenciannya akan berita itu.
Darius membuka mata, menegakkan badan, dan melihat Rea yang melemparkan tatapan membunuh ke arahnya.
"Apa yang akan kau lakukan padanya, Darius?" teriak Rea sambil menghempaskan tangan Alan dari pergelangan tangannya dengan kasar ketika Alan sudah melonggarkan cekalan pria itu.
"Kenapa dia bisa ada di sini, Alan?" tanya Darius berang pada Alan sambil menegakkan punggung dan menghempaskan tangan Sherlyn dari wajahnya. Lalu, beranjak dari duduknya dan melangkah mendekati Rea penuh amarah yang bergemuruh di d**a. Wajahnya memerah oleh amarah yang meluap melihat Rea ada di ruangannya, sudah pasti karena Raka. Ia tak butuh keributan lain, tapi jika wanita itu menantangnya ....
Rea menelan ludah dengan tatapan tajam dan dingin Darius padanya. Seketika keberaniannya menguap entah kemana.
Ketika langkah Darius hanya tinggal beberapa langkah dari tempat Rea berdiri, terdengar pintu dibuka oleh Sherlyn. Rea menoleh dan melihat pengawal yang tadi menghadangnya kini masuk ke dalam ruangan itu dengan kepala tertunduk dan ekspresi wajah yang datar.
"Maafkan saya telah lalai menjalankan tugas, Tuan," ucap pengawal tersebut.
Darius mengernyit, lalu berdesis dengan tajam, "Kau salah satu pengawal terbaikku, Jo. Bisa-bisanya kau tertipu oleh wanita kecil sepertinya."
Pengawal bernama Jo itu hanya menggumam pelan dan berkata, "Maafkan saya, Tuan."
Bruukkk ...
Tanpa kata dan tanpa Rea duga, Darius melayangkan satu pukulan tepat di muka Jo, membuat kepala pria itu mundur ke belakang dengan sangat mengerikan.
Rea terkesiap dan menjerit melihat adegan kekerasan yang terjadi tepat di depan mata. Semakin terkesiap ketika melihat Darius menghajar Jo semakin menjadi tanpa ada perlawanan sedikit pun dari Jo. Ia melihat ke arah Alan dan Sherlyn bermaksud meminta mereka menghentikan Darius. Akan tetapi, kedua orang itu sama sekali tak terpengaruh. Tampak jelas mereka sudah terbiasa melihat adegan kekerasan dengan sikap santai. Tidak bisa dipercaya!
Rea kembali menoleh ke arah Darius yang masih menghajar Jo habis-habisan. Melihat wajah Jo yang kini sudah babak belur dengan darah mengotori setelan hitam pria itu. Rea mengerang dalam hati menyadari pria itu sama sekali tidak melawan pukulan Darius.
"Hentikan, Darius. Kau bisa membunuhnya!" teriak Rea putus asa. Bagaimanapun, semua ini juga kesalahannya.
Darius sama sekali tidak mengacuhkan teriakan Rea, lelaki itu memukul Jo sekali lagi dan mundur satu langkah ketika tubuh Jo terjatuh dan berlutut di depan Darius. "Itu hukuman karena sudah lalai menjalankan tugasmu."
Tubuh Rea gemetar karena ketakutan,
' ... dan karena dia sepupukulah aku memastikannya bisa keluar dari ruangan itu dengan tanpa luka sedikit pun. Bersama nyawanya.'
'Aku memastikan kau jauh dari masalah, Sepupu.' Sepertinya, inilah yang dimaksud dengan perkataan Alan tadi.
Lalu, sekali lagi dengan kekejamannya, Darius mengangkat tangan. Mengarahkan pukulannya ke arah Jo.
Spontan Rea menjerit dan menghambur ke arah Darius. Memeluk erat-erat lengan Darius yang terangkat dan menenggelamkan wajahnya di lengan itu sambil menangis. "Hentikan, Darius. Semua ini kesalahanku."
Seketika Darius menghentikan ayunan lengannya dan mengurungkan niat untuk memukul Jo lagi. Melirik Rea yang menangis di lengannya dengan napas terengah-engah karena habis-habisan menghajar Jo.
"Aku salah. Aku salah. Jadi jangan pukul dia lagi," lirih Rea pelan dengan nada memohon di antara isak tangisnya.
Sejenak Darius tertegun, matanya tak segelap seperti beberapa detik yang lalu. Kemudian, dengan gusar Darius mengangkat tangan, mengisyaratkan pada semuanya untuk meninggalkannya dan Rea sendirian.
Setelah Jo, Alan dan Sherlyn keluar dari ruangan, Darius menarik Rea untuk menghadap ke arahnya. Memegang kedua pundak Rea dan menatap tepat di kedua mata wanita itu yang basah. "Kau tahu aku sudah memperingatkanmu, bukan? Jangan sekali pun kau pernah berpikir akan melenyapkan anakku, Rea, atau aku akan membuatmu benar-benar menyesal pernah memikirkan tentang rencana busuk itu."
Rea masih terisak, tubuhnya bergetar hebat karena ketakutan. Masih syok dengan adegan kekerasan yang ia saksikan baru saja terjadi. Ia benci kekerasan. Ia benci tindakan fisik itu terpampang jelas di matanya dan menimbulkan rasa sesak yang familiar di d**a.
Darius mengangkat tangan kanannya dan menghapus air mata Rea dengan lembut. "Jadi sebaiknya lupakan Raka dan apa pun itu yang kalian berdua rencanakan di belakangku."
Wajah Rea yang sudah memerah karena tangisan menjadi semakin pucat pasi. 'Apakah Darius sudah tahu semuanya?'
"Kau memang kesayanganku, Rea. Tapi jika kau mengkhianatiku, kau tahu benar bayaran yang akan kau terima. Karena aku tidak pernah mengampuni pengkhianat," tambah Darius penuh bisikan lembut dan ancaman mengerikan.
"Aku hanya ingin bebas darimu," ucap Rea lemah dan marah, frustrasi karena apa pun usaha untuk lepas dari cengkeraman Darius selalu berakhir sia-sia. Bercampur rasa frustasi karena dirinya selalu ketakutan jika menghadapi Darius.
"Kau milikku, Rea. Ingat itu baik-baik," tandas Darius lagi. Meyakinkan Rea untuk menanamkan pemikiran itu di otak. "Aku akan memberimu kebebasan asalkan kau bisa kupercayai. Jadi, bersikaplah yang manis sebagai kesayanganku. Karena jika kau mengkhianatiku, aku pastikan bukan hanya kau saja yang menerima akibatnya."
"Aapa ... apa maksudmu?" Suara Rea terbata. Bukan karena ia tidak mengerti maksud kalimat Darius baru saja. Tetapi karena kekhawatirannya yang semakin memuncak. Ternyata benar apa yang ia khawatirkan dari kemarin-kemarin. Darius orang yang licik, pria itu pasti akan melampiaskan kemarahan pada Raka jika dirinya berani mengkhianati Darius.
Darius menyeringai. "Kau tahu apa maksudku."
Menguap sudah harapan satu-satunya Rea. Dia harus menjauhi Raka atau pria itu yang akan hancur karenanya. Hanya itu pilihan yang ia miliki.
Darius menyentuh dagu Rea, menundukkan wajah dan menenggelamkan bibirnya di antara bibir Rea yang basah oleh air mata. Menciumnya dengan sedikit memaksa melampiaskan emosinya.
"Melihat kau menerobos keamananku dan membela pria itu membuatku sangat gerah, Rea. Kurasa kau harus bertanggung jawab untuk itu."
Mata Rea melotot mendengar kata-kata Darius yang tanpa basa basi itu. Namun, belum sempat ia memprotes, Darius sudah menariknya ke arah meja.
Dengan mata yang menatap lekat-lekat mata Rea, Darius mengangkat gagang telpon. "Batalkan semua rapat hari ini dan aku tidak ingin diganggu siapa pun sampai aku menyelesaikan urusanku," perintah Darius singkat pada sekretarisnya.
'Menyelesaikan urusanku?' batin Rea mengulang kalimat terakhir Darius sambil menelan ludah.
Rea juga menangkap arti tatapan Darius. Sekali saja Darius bisa menyentuhnya, otak dan tubuhnya akan dikuasai oleh pria itu.
'Tidak!!!' teriak Rea lagi dalam hati. 'Tidak lagi!!!'
Namun, sudah terlambat. Darius sudah menarik pinggangnya dengan sentuhan yang lembut dan sangat kuat. Merapatkan tubuh mereka.
"Darius ..." Rea berusaha mendorong d**a Darius, tapi tidak berhasil. Darius tidak bergerak barang seinci pun. "Ini di kantor."
"Kantorku."
"Darius." Suara Rea bergetar dengan gerakan tangan dan ciuman Darius yang semakin menggila. Terpekik kaget ketika tiba-tiba Darius melepas ciumannya dan menunduk sejenak untuk menyelipkan tangan di balik lutut Rea. Mengangkat tubuh Rea dengan gerakan ringan yang kuat dan melangkah menuju pintu di sudut ruangan. Membawa Rea ke ruangan area pribadi yang biasa digunakan Darius untuk tidur siang.
"Kau milikku, Rea. Dan tidak akan kubiarkan kau tergelincir sedikit pun dari genggamanku." Secepat kalimatnya selesai, Darius kembali melumat bibir Rea yang terkatup rapat.