“Dis! Gak mau bareng?”
Tawaran untuk ketiga kalinya Gladis dapat dari Yosi setelah Dante dan Putri menawarkan dirinya untuk mengantarkan Gladis pulang.
“Gak deh, Yos, nanti Artha jemput kok.” Untuk ketiga kalinya pula Gladis menolak.
Hatinya berkata jika Artha akan menjemput, kasian jika nanti lelaki itu menjemputnya namun dirinya tak ada di tempat. Walaupun tadi pagi sempat dibuat kesal, Gladis tetap akan menghargai kerja keras Artha untuk mengantar jemput Gladis untuk bekerja.
“Yaudah, hati – hati ya!”
“Yoi.”
Gladis membalas lambaian dari Yosi, menatap kepergian mobil yang Yosi tumpangi hilang di tengah kemacetan jalan kota.
Sudah setengah jam Artha telat menjemputnya, padahal Gladis yakin ia mengatakan jika pulang jam lima. Atau Artha tengah ada rapat mendadak di kantor? Namun lelaki itu tak mengabarinya sama sekali. Haruskah dia naik taksi untuk pulang? Mungkin saja Artha lupa mengabarinya.
Di tengah pertimbangan yang dirinya pikirkan, ada klakson motor berbunyi didepannya. Gladis hampir melotot saat melihat Artha tengah menaiki motor N-Max keluaran terbaru. Lihatlah, bahkan plat motor itu belum terpasang. Artha pasti membeli langsung motor itu hari ini setelah Gladis mengeluh ingin menaiki motor seperti pasangan tadi pagi.
Artha turun dari motor dan menyerahkan tas korton pada Gladis. Bisa dilihat isinya adalah setelah sweeter, berwarnarna abu – abu, netral untuk dirinya pakai.
“Ganti baju cepetan,” perintah Artha
Gladis melihat bajunya kembali, dirinya memakai dress untuk hari ini. Pakaian yang tak memungkinkan untuk ia gunakan saat naik motor.
“Tunggu bentar.”
“Jangan lama – lama, ayo nightride sampe puas.”
>>
Senja menyambut dengan ramah, membiarkan matahari meninggalkan buminya menuju peraduan. Langit yang awalnya biru cerah perlahan memudar menjadi jingga indah. Burung – burung berterbangan kembali ke sangkarnya setelah seharian mencari makan. Lampu tiap bangunan juga mulai menyala menyambut malam yang gelap.
Semua pemandangan tersebut ditangkap benar oleh mata dengan bulu lentik milik Gladis. Bahkan senyum manisnya tak pernah pudar sepanjang jalan. Gladis mengabaikan wajah lelah orang sekelilingnya, juga dengan jalanan kota yang bisa dibilang macet parah.
Artha memenuhi permintaan. Pria itu bahkan mengajaknya berjalan – jalan mengelilingi kota, menikmati senja indah di tengah kota yang padat. Tidak pada tempatnya, namun Gladis tidak mempermasalahkan hal itu. Bagi Gladis ini sudah cukup.
“Harusnya gue pake hoodie.”
“Hah?!”
Gladis agak sedikit maju, menepatkan kepalanya dipundak sebelah kanan Artha. Itu ucapan Artha pertama sedari awal perjalanan, mereka belum berbicara sama sekali, masih menikmati perjalanan. Gladis mencoba mendengarkan Artha sekali lagi, tetapi pria itu malah menggeleng.
“Apa?!”
“Enggak."
Ucapan tiba – tiba Artha tadi memang tak tertangkap jelas di telinga Gladis, karena wanita itu tengah fokus menatap beberapa anak kecil yang berjalan bebarengan menelusuri jalanan. Anak terlantar, Gladis iba.
Gladis kembali menikmati jalanan setelah mendengar jawaban Artha. Namun beberapa saat sesampainya mereka di lampu merah, Artha menyentuh tangan Gladis yang ada di saku jaket kulit miliknya. Agak sedikit menyesal karena tangan Gladis tak bisa leluasa di saku jaketnya yang sempit. Artha mengelus pelan tangan Gladis dari luar saku, bisa ditebak tangannya yang besar tak bisa masuk sekaligus ke dalam sakunya.
“Sebenarnya...”
Artha menjeda ucapannya menunggu perhatian Gladis teralih padanya. Gladis bisa saja tak menangkap ucapan Artha seperti tadi kan?
“Hm?”
“Sebenarnya gue langsung ke dealer abis kerja, gak sempet pulang,” lanjut Artha setelah mendapat perhatian Gladis kembali,
“Kenapa beli motor baru? Emang gak punya motor?”
Tak salahkan Gladis bertanya seperti itu? Artha adalah anak pemilik perusahaan properti tersohor, meskipun Gladis bisa melihat jika dulu lelaki itu berusaha sendiri untuk memenuhi apa yang dimaui. Karena Ayah adalah tipe orang tua yang ingin anaknya mandiri, beliau akan menyuruh Artha menabung untuk membeli sesuatu yang dia idamkan sejak kecil. Begitupun apartemen beserta mobil yang pria itu punya. Apartemen yang mereka tempati murni milik Artha, atas nama Artha. Walaupun tidak mewah, membeli satu unit apartemen di daerah elite tidak bisa dibilang mudah. Harganya pasti fantastis. Maka dari itu, Artha pasti sudah memiliki motor sebelum ini kan?
“Ada satu, tapi miriip punya Dante.”
“Kenapa gak pake itu aja?”
“Gue ngeri aja boncengin cewek hamil pake itu,” ujar Artha sambil menjalankan motornya lagi. Lampu sudah berubah warna.
“Masih tiga bulan, belom keliatan banget kok.”
Artha mengangkat bahunya, tak menjawab ucapan Gladis.
Gladis kembali menikmati jalanan yang sudah mulai gelap. Hatinya sedari tadi menyesal karena sebelumnya tak pernah menikmati indahnya kota sepulang kerja. Dulu dirinya hanya fokus menyetir dan ingin segera sampai rumah. Harusnya dia bisa menikmati pemandangan ini sejak dulu, tapi bila dipikirkan lagi, Gladis selalu menaiki mobil dengan kaca gelap. Percuma saja melihat keluar saat mengemudi, pasti tak begitu terlihat warna dari pemandangan yang tengah ia lihat.
Harusnya ketemu Artha sejak lama gak sih?
“Mau makan apa?” Artha bertanya setelah beberapa saat dalam keheningan.
“Enaknya apa?”
Gladis menaruh dagunya di pundak kanan milik Artha. Tidak akan terlalu berat, dirinya hanya menaruh tanpa bertumpu.
“Ayam bakar Pak Adi? Sate ayam Mang Ujang? Pecel Lele Bu Santi? Nasi kuning Mbak Rini? Apa Lontong balap Pak Cecep?” ujar Artha menyebutkan beberapa pilihan,
“Itu kan langanan anak – anak waktu SMA. Emang masih ada semua?” Gladis sedikit tersenyum. Artha masih mengingat hal – hal seperti itu rupanya.
“Masih ada kok, cuma Pak Cecep aja udah digantiin sama anaknya.”
Benar, beberapa bulan lalu juga Gladis mendengar jika Pak Cecep langanan lontong balap mereka sudah berpulang.
“Jadi mau apa?”
“Hmmm... Ayam bakar?”
“Iya enak itu."
“Yaudah Ayam bakar aja."
>>
Tempatnya masih sama, di pinggiran jalan kota. Walaupun begitu, pengunjungnya bisa melebihi restauran terkenal di kota mereka. Ayam Bakar milik Pak Adi adalah salah satu langanan mereka sejak SMA dulu, rekomendasi dari Edward.
Awalnya yang lain ingin menolak ajakan Edward dulu karena Edward tak bisa dipercaya, namun pria itu malah memohon dan berjanji meneraktir yang lain agar mau datang. Namun mereka tak jadi menyesal mengikuti rekomendasi dari Edward kala itu, rasa ayam bakar Pak Adi memang tak ada tandingannya.
"Mau makan apa lagi?"
Artha bertanya pada Gladis sambil menatap betapa lahapnya Gladis makan, mereka saling berhadapan. Sesekali Artha akan mengusap kecap yang mengotori sekitaran bibir Gladis, padahal dirinya juga belum menyelesaikan makan malamnya.
Artha tertawa kecil melihat lagi – lagi ada kecap dibibir Gladis bagian bawah. Tangannya kembali mengambil tisu,namun kali ini sebelum Artha bisa mengusap bibir Gladis, wanita itu lebih dulu menyaut tisu yang Artha bawa mengusapnya sendiri.
“Martabak manis? Boleh kan?”
“Boleh.”
Gladis selesai dengan makanannya, lantas menatap Artha yang memang sejak tadi tak begitu fokus makan. Terlalu banyak memerhatikan dirinya.
“Lama banget?!” Keluh Gladis melihat makanan Artha masih tersisa banyak,
“Iya, ini cepet kok.”
Gladis mengangguk, membiarkan Artha melahap makanan yang masih bersisa. Memutuskan melihat ponsel, barang kali ada pesan masuk dari atasannya. Beberapa hari ini memang Gladis disibukkan dengan event yang bakal digelar perusahaan tempat dia bekerja. Event tahunan yang akan menjadi ajang dimana brand merk akan mengeluarkan model baju terbaru. Ia harus beberapa kali mengecek hasil kerja junior, serta ikut menuangkan ide lebih banyak. Atasannya beberapa hari ini juga menuntut agar Gladis merancang lebih banyak lagi model baju.
“Dis?”
“Hm?” Gladis menanggapi Artha masih sambil melihat ponselnya.
“Masih ada cowok yang deketin lo gak?”
Satu kalimat Artha membuat Gladis sepenuhnya menatap ke arah lelaki itu. Pertanyaan konyol. Bagaimana mungkin ada yang mendekatinya jika dia mengundang seluruh temannya datang ke acara pernikahan mereka?
“Aneh banget nanyanya ”
“Yaaa kan gu-“
“Gak ada! Semua kenalan juga tau kalo gue udah nikah.”
Lagian Gladis juga tau bagaimana harus bersikap saat sudah memiliki suami. Artha terlalu over thinking, padahal Gladis sudah mengerti akan hal ini.
“Lo cantik sih, makanya gue khawatir.”
“Lo ganteng, tapi gue gak khawatir.”
“Lo barusan bilang apa?”
Kembali Gladis menyadari ucapannya yang secara tak sengaja memuji wajah rupawan Artha. Untuk pertama kalinya, Gladis mengakui secara gamblang kalo Artha memang tampan.
“Yeee ngelunjak,” cibir Gladis,
“Alah gak usah ngelak deh, gue ganteng kan?!” goda Artha sambil menarik turunkan kedua alisnya.
Pipi Gladis merona, namun ia sembunyikan dengan mengalihkan pandangannya ke luar restoran. Kadang bahkan Gladis bisa merona sepanjang hari karena jahilnya Artha saat mereka sedang bersama.
“Ck! Udah ah, ayo cepetan makannya. Gue mau beli martabak manis.”
>>