Pengennya Gladis

1068 Kata
Pagi hari setelah seperempat jam lebih berkutat dengan alat dapur Gladis telah menyelesaikan tugas pagi harinya. Sekedar menyiapkan sarapan dan kopi untuk Artha. Rutinitas yang ia mulai beberapa hari kebelakang ini. Walaupun Artha tak pernah menuntut, tapi Gladis memilih berinisiatif sendiri. Dua piring berisi roti panggang ia letakkan di atas meja makan, disusul dengan secangkir kopi dan selai coklat untuk Artha. Langkahnya kemudian ia bawa memuju kamar, untuk menyiapkan baju kerja yang akan Artha kenakan. Kemeja, celana bahan, dasi, serta jas. Gladis menata semuanya di atas tempat tidur, sambil menunggu Artha selesai mandi dirinya memilih memoles wajahnya dengan make up. Seminggu yang lalu Bunda dan keluarga sudah pulang ke Bali, menyisakan Gladis dan Artha yang menempati unit apartemen. Tidak begitu masalah karena mereka sama – sama memiliki pekerjaan. Pagi hari mereka akan sarapan bersama, lalu malamnya bertemu kembali untuk makan malam. Mungkin akan sedikit meluangkan waktu sebelum tidur untuk berbagi cerita tentang hari mereka. Seminggu ini juga Gladis mulai memahami kepribadian Artha, lelaki itu lebih banyak bertanya ketimbang memperhatikan dan memahami sendiri. Tipe orang yang tak peka dan lebih gamblang dalam berbicara maupun berperilaku. Agak sedikit keterlaluan jika ingin protes atau mengkritik orang. Namun, banyak sisi baik juga dalam diri Artha. Dengan kegamblangan yang ia punya, Artha dengan mudah memberikan perhatian kepada Gladis. Contohnya setiap hari saat jam makan siang, suaminya itu selalu mengirimi pesan guma mengingatkan agar Gladis makan tepat waktu. Perhatian kecil yang bisa membuat Gladis tersenyum lebar sepanjang sisa hari. Meskipun belum ada perasaan cinta dalam hati Gladis. Gladis yang sudah mulai terbiasa akan kehadiran Artha, masih berusaha menyeimbangi gaya hidup yang mereka berdua miliki. Ia juga sedikit jengkel karena mudah tersipu dengan hal kecil yang di berikan oleh Artha. Padahal kalau diingat, dulu ia tak se-beperan itu. “Dis?” Gladis menengok ke arah kamar mandi, nampak Artha yang keluar sambil mengeringkan rambut dengan handuk ditangannya. Hanya menutupi sebagian bawah tubuh. Lagi – lagi Gladis merona, dengan segera ia mengalihkan pandangannya ke arah lain. Menyelesaikan polesan di wajah, sambil merutukki dirinya sendiri. “Dis?” Langkah Artha menyeret menghampiri Gladis, “Kenapa sih!?” Gladis sedikit membentak Artha, menyamar rasa grogi yang sedang menyerbu. “Gue cuma manggil, emosian banget.” “Ck!” Gladis langsung saja keluar kamar meninggalkan Artha yang masih terheran-heran akan perilaku aneh Gladis. Sungguh jantung Gladis berdebar tak karuan melihat Artha setengah naked seperti tadi. Sejenak wanita itu menenangkan detak jantungnya, baru kemudian melangkah menuju meja makan dan menunggu Artha selesai untuk bersiap. Sembari menunggu Artha, Gladis membuka ponsel, melihat beberapa notifikasi pesan yang masuk, serta akun sosmed yang ia miliki. Tidak ada yang begitu penting. Gladis kembali menutup ponselnya dan berinisiatif mengambil yogurt serta apel dari dalam kulkas. Bekal yang akan Gladis bawa untuk menemani dirinya saat menyelesaikan pekerjaannya. “Dis?” “Apa?” Tak menjawab, Artha malah melangkah dan duduk di samping Gladis. Perasaan lelaki itu terus memanggil namanya pagi ini, sudah tiga kali Gladis hitung. “Dis” “Apaan sih, Tha? Manggil mulu dari tadi!” Akhirnya Gladis kesal sendiri, “Ehmm...i-itu” “Itu apa?” “N-nanti Lo pulang jam berapa?” Ragu – ragu Artha bertanya. Gladis memutar matanya malas. Kalau Cuma mau tanya begitu kenapa mesti manggil Gladis terus – terusan? Bahkan tergagap mengatakan hal se-sepele tadi. “Jam lima, kayak biasanya.” “Bareng gue ya?” Gladis mengangguk. Tak ada salahnya jika harus berangkat bersama Artha. Kantor mereka satu arah. Lebih tepatnya jika Artha berangkat kerja, ia akan melewati kantor Gladis. Lagi pula Gladis juga sering mengantuk akhir – akhir ini. Mungkin kalo diantar jemput Artha, dirinya bisa tidur saat perjalanan. Gladis mulai memakan sarapannya, disusul juga oleh Artha. Roti panggang dengan taburan gula dan cinnamon powder untuk Gladis, dan roti panggang dengan selai Nutella untuk Artha. Sempat ia ditanyai kenapa suka sekali dengan sarapan seperti itu, dan dijawab itu kebiasaan yanb tidak disengaja. Dulu semasa SMA saat neneknya sakit, Gladis harus membuat sarapannya sendiri. Namun karena hanya ada roti tawar dan cinnamon powder sisa nenek membuat roti Gladis terpaksa hanya memakan itu. Menambahkan sedikit gula, dan jadilah sarapan favorit Gladis hingga saat ini. “Ayo, Dis!” Artha selesai terlebih dahulu. Tangannya meraih piring dan cangkir yang sudah selesai ia pakai, lalu meletakkan di wastafel untuk dicuci nanti malam. Mereka juga punya jadwal untuk pekerjaan rumah satu ini. Matanya melihat Gladis juga ikut menyusul menaruh piringnya, lalu meminum satu gelas air putih. “Ayo!” ulang Artha “Iya bentar.” >> Dalam perjalanan menuju kantor, Gladis sibuk dengan memandang padatnya jalanan kota. Lalu lalang kendaraan telah menyita penuh atensinya. Sedangkan Artha fokus pada kemudi, juga tak banyak bicara. Mereka berdua sama – sama sibuk dengan dengn dunianya sendiri, tak ada percakapan berarti apapun. Hingga sorot mata Gladis menangkap pemandangan dua pasang muda – mudi mengendarai motor. Layaknya sepasang kekasih lain, pasangan itu juga berpelukan erat. Nampak sekali jika mereka menikmati perjalanan sambil bergurau asik di atas motor. Hati Gladis tersenggol, ia ingin seperti pasangan itu juga. “Tha!” “Hm?” Tak perlu berkata lagi, Gladis lebih memilih menunjuk pasangan itu dengan telunjuknya saat mereka berjajar berhenti di lampu merah. Artha memperhatikan sebentar arah yang Gladis tunjuk, dahinya berkerut tak paham. Namun sedetik kemudian ia paham, dan tersenyum pada Gladis “Lo ngidam?” “Hah? Gatau, gue pengen naik motor.” Artha hanya mengangguk dan kembali menjalankan mobil saat lampu berubah warna. Sama sekali tak menunjukan reaksi untuk sekedar memberi tau Gladis jika keinginannya akan dia turuti. Gladis yang melihat itu diam tak berkata apapun lagi, padahal ia sudah berusaha dengan gamblang mengatakan keinginannya pada Artha. Reaksi suaminya menjengkelkan. Lima belas menit kemudian, mobil yang mereka tumpangi memasuk kawasan kantor Gladis, lantas berhenti tepat didepan pintu. Gladis mengambil tasnya dan berniat membuka pintu mobil tanpa berpamitan terlebih dahulu, dirinya masih kesal. Namun tangannya di tahan oleh Artha. “Nanti pulang jam berapa?” “Jam lima. Tadi gue udah bilang!” Gladis menjawab dengan judes, membuat Artha meringis. “Yaudah nanti gue jemput.” “Hm.” Segera setelahnya Gladis keluar dari mobil Artha, bahkan membanting pintu mobil keras agar Artha tau jika dirinya sedang marah. Menurut Gladis sendiri Artha tak ada iktikad baik untuk menuruti keinginannya, kalaupun Artha tersinggung dan tak mau menjemputnya nanti, dirinya bisa naik taksi untuk pulang. Percuma saja berbicara dengan Artha baik-baik, mood Gladis sudah jatuh di dasar paling dalam. >>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN