I Know

1686 Kata
Tepat satu bulan berlalu, Gladis sudah benar-benar melupakan kejadian bersama Artha. Lebih tepatnya berusaha melupakan, lagi pula Gladis merasa Artha juga tidak pernah menganggap kejadian itu terjadi dalam hidupnya. Kayak sponsor, lewat aja terus! Nyatanya itu terbukti, sebab beberapa kali Gladis melihat Artha menjemput Helena di kantornya. Gladis juga yakin kalo hubungan mereka telah berkembang pesat. Jadi buat apa Gladis berharap dan memikirkan hal yang tak menguntungkan baginya? Pekerjaannya berjalan seperti biasa, sibuk dan jarang istirahat. Apalagi Gladis harus mengurusi permintaan Bagas untuk acara pernikahannya 2 bulan lagi, ia bahkan memutuskan datang langsung ke butik tempat pembuatan pakaian pengantin tersebut guna menjelaskan rancangannya. “Lo gak usah ngasih kado apa – apa lagi, gue yakin rancangan yang lo buat harganya bisa jutaan." Itu jawaban Bagas saat Gladis bertanya mengenai masalah kado yang Bagas inginkan. Dia juga sudah bertemu dengan calon istri Bagas, yang memukau Gladis dengan kesan baik saat pertemuan pertama mereka. Namanya Fatin, baru lulus kuliah tahun ini. Anaknya kalem, memakai hijab lagi, dan begitulah kenapa Bagas dengan mudah menerima perjodohan ini. Fatin adalah tipe ideal Bagas. “Mbak Fatin, coba aja, di kamar bilik ganti itu.” Agenda hari ini memang jatah Gladis untuk menemani Fatin mencoba baju pengantin yang akan ia kenakan nanti di butik yang sudah mereka pilih. Bagas masih ada tugas di kantor polisi, katanya akan menyusul setelah menyelesaikan tugas tersebut. Mereka sudah datang sejak 2 jam yang lalu, membenarkan beberapa hal yang masih belum cocok, sampai gaunnya siap untuk Fatin coba. “Mbak, saya lagi menstruasi, gak papa?” Fatin bertanya ragu pada penjaga, sambil menjelaskan kondisinya sekarang. Gladis menatap wajah perempuan yang membantu Fatin, ia tampak tersenyum maklum melihat ketakutan Fatin. “Mbak Fatin, pake tampon apa pembalut?” tanya balik sang penjaga. “Tampon." “Gak papa, minim kemungkinan tembus.” Perempuan itu tersenyum sambil memberikan gaun untuk Fatin coba. Fatin mengangguk, lalu masuk ke dalam bilik ganti. Sedangkan si mbak – mbak tadi berjalan menuju meja kerja milik owner butik tersebut yang sedang tak ada di tempat. Gladis menatap bilik ganti tempat Fatin mencoba gaun di dalam sana, dengan tatapan kosong. Gadis itu pake tampon? Sama seperti Gladis, dia bahkan memiliki stok banyak di laci bawah tempat riasnya. Lebih praktis dan tak perlu khawatir bocor, bedanya Gladis sudah lama tak memakai tampon tersebut. Eh? Wait? Udah lama? Gak make? Udah lama gak pake tampon? Gladis seketika menegakkan badannya, tangannya segera membuka ponsel guna mengecek tanggal. Tanggal 10! Udah telat ... SATU BULAN!!! GILA! Tubuh Gladis langsung menegang, matanya kembali pada bilik ganti. Dirinya sadar harus segera memastikan sesuatu, ada hal tak beres yang sedang terjadi. Kegelisahan mulai menjalar pada tiap inci d**a Gladis. Sialan! Dia bilang keluar di luar! Tangan Gladis meremas ponsel, kepalanya mulai memberi afeksi untuk berpikir positif. Seperti mungkin dia kecapekan? Stress? Apapun itu, pokoknya itulah! “Mbak!” Kepala Gladis menoleh, matanya menatap Fatin yang dibalut dengan gaun pengantin yang telah dirinya desain khusus untuk gadis berhijab itu. Tampak serasi dan sangat cocok untuk Fatin. Gladis berdiri, mencoba fokus pada Fatin dan melupakan sejenak kegelisahannya. Melihat detail gaun yang melekat di tubuh mungil Fatin. Ia merancang gaun tersebut dengan bentuk yang tidak begitu besar, bagian bawahnya berlapis dengan bahan paling luar sifon sutra, bagian atasnya dihiasi penuh dengan berlian. Roknya agak sedikit menyentuh tanah di bagian belakang. “Pas banget buat kamu, tinggal nanti kerudungnya pesen yang gak nutupin hiasan di bagian atas,” ujar Gladis sambil membenahi rok belakang gaun Fatin. “Iya, Mbak, bagus! Aku suka!” balas Fatin sambil tersenyum senang. “Syukur deh! Jadi gimana Bagas? Bakal nyusul kesini?” Gladis bertanya sambil menatap wajah Fatin, asal kalian tau saja, sebenarnya Gladis ingin sekali segera berlari dari butik ini. “Kayaknya gak jadi deh, Mbak, ini udah jam 7 lebih.” Wajah Fatin tampak murung mengucapkan kalimat itu. Gladis yang mengerti pun merangkul Fatin dari samping, mencoba memberi semangat. “Gak papa, besok kamu temenin si Bagas. Maklum Pak Polisi lagi banyak tugas.” Fatin kembali tersenyum dan mengangguk semangat. “Yaudah besok biar aku yang nemenin, makasih ya udah dibantuin.” “Iya sama – sama!” “Oh ya! Mbak Gladis, pulang aja duluan, aku mau dijemput Papa,” ujar Fatin lagi. “Oh yaudah, Mbak pulang dulu ya!” Itu yang diinginkan Gladis sejak tadi, bukan karena apa, hanya saja Gladis memang ada keperluan. “Ya, Mbak, hati – hati.” Gladis mengambil tas kerjanya dari sofa yang ia tempati tadi, lantas keluar sesat setelah melambaikan tangan pada Fatin. Jalanan kota masih ramai, tapi Gladis harus segera pulang untuk menemani sang Nenek makan malam. “Gue harus ke apotek,” gumam Gladis sesudah menempati kemudi mobilnya. Di jalan menuju rumahnya memang ada apotek langganan sang Nenek, tapi bisa bahaya kalo saja Gladis beli di sana. Akhirnya ia memilih mencari apotek yang berlawan arah. Tak apa pulang agak telat hari ini. Gladis juga ingat ada apotek di tengah kota, lebih baik dirinya beli di sana. Gladis bermaksud beli test pack tanpa sepengetahuan orang lain, bisa menjadi masalah jika teman atau bahkan neneknya yang tau. Tepat setelah Gladis sampai di apotek tujuan, ia segera parkir dan mengambil dompet, lantas keluar dan mengunci pintu mobilnya. Dirinya juga memastikan di sekitar apotek tersebut tak ada orang yang dikenal atau mengenal dirinya. Apotek itu berada di tengah bangunan besar, maklum karena tempatnya ada di tengah-tengah kota. Ada beberapa yang pembeli yang berbincang dengan karyawan apotek tersebut, Gladis langsung saja masuk dan disambut oleh seorang karyawan wanita. “Cari apa, Mbak?” “Itu ... Cari t-test pack? Ada?” Awalnya Gladis agak ragu tapi akhirnya ia bisa mengucapkannya juga. “Oh ada, mau yang akurat atau yang super akurat?” tanya sang karyawan lagi. “Hm ... Dua – duanya deh,” putus Gladis. “Tunggu sebentar ya, Mbak!” Karyawan itu masuk, mencari barang yang diminta Gladis. Sambil menunggu Gladis menelusuri tiap sudut apotek itu dengan matanya, ia tak sengaja melihat s**u rasa strawberry kesukaan anak kecil. Reflek Gladis berjalan mengambil dua kotak dan dia bawa ke tempat semula. “Mbak, ini ada dua jenis ya, beda merk. Mbak, bisa baca cara penggunaan di belakang pembungkus,” jelas sang karyawan memberi dua test pack dengan kemasan berbeda. “Sama s**u ini, Mbak?” “Iya, sama itu, totalnya berapa?” “Totalnya jadi 78 ribu, Mbak.” Karyawan itu memasukan kedua test pack beserta s**u tersebut ke dalam kantong plastik. “Pengantin baru ya, Mbak?” tanya Karyawan itu sambil menerima uang seratus ribu dari Gladis. “O-oh iya ....” jawab Gladis sedikit canggung sambil menerima kantung plastik beserta kembaliannya. “Semoga positif ya, Mbak!” “I-iya.” Eh kok iya sih? Janganlah anjirr!! <<<°°°>>> 03:00 WIB Gladis membuka matanya dan langsung terduduk, sepanjang malam dia tak bisa tidur nyenyak, selalu terbangun tiap jam. Dirinya gelisah. Matanya melirik nangkas, di sana dia meletakkan test pack yang dibeli semalam. Setelah semalaman memahami cara penggunaan, ia memutuskan tidur dan mengeceknya pagi ini. Dari pada gue gak bisa tidur, gue tes aja sekarang. Ini juga udah bangun dari tidur! Memang dianjurkan memakainya setelah bangun tidur, katanya hasilnya lebih akurat, tapi Gladis rasa saat ini juga ia sudah bisa dikatakan bangun tidur. Akhirnya Gladis bangun tanpa menyalakan lampu, meraih 2 benda dengan fungsi yang sama, lalu masuk ke dalam kamar mandi. Gladis mengatur nafasnya sebelum membuang air kecil. Tangannya meraih wadah bekas lulur yang sudah habis, lalu ia berjongkok dan mewadahi air seninya sendiri. Demi apa? Jijik! Setelah selesai Gladis menyingkirkan wadah tersebut, lalu ia membersihkan diri sebelum menguji alat yang ia beli kemarin. Gladis akan mencelupkan benda itu bersamaan. Gladis berdiri dan meraih 2 test pack itu, dengan perlahan ia memasukkan 2 benda itu ke dalam wadah yang berisi air seninya tadi. Setelah kedua benda itu masuk, Gladis malah berlari keluar kamar mandi. Ngapain gue lari?! Gila! Gladis mengigit bibirnya gelisah, perlahan ia kembali masuk ke dalam kamar mandi, mendekati WC tempat alat itu sedang bekerja. Sesaat ia melihat 2 benda tersebut, matanya membulat. Dua garis! “Bohong banget keluar diluar!” Gladis kesal mengingat ucapan Artha tempo hari, ia tak berhenti menggerutu sambil membereskan alat tersebut dan menyimpannya di laci. “Gue harus ke dokter besok! Esok harinya Gladis benar-benar datang ke dokter kandungan, ini bukan masalah sepele. Ini menyangkut kehidupan yang ada di dalam perutnya. Meskipun Gladis tak mengharapkan hal ini terjadi, setidaknya ia telah melakukan cara terbaik untuk dirinya maupun si jabang bayi. “Kalo usia kandungan sebulan belum terlalu jelas, Mbak, tapi cek up setelah ini pasti akan lebih jelas dedeknya.” Gladis mengangguk paham saat dokter menjelaskan tentang USG yang sempat dirinya minta tadi. “Suaminya gak ikut, Mbak?” tanya sang dokter sambil membuat resep obat. “Eh? E-enggak, Dok” “Mau surprise ya? Kehamilan pertama emang hadiah banget buat pengantin baru,” ujar dokter yang bernama Kina itu. Hadiah matanya! Gladis hanya tersenyum menanggapi ucapan dari sang dokter. Beruntung ia bisa pulang cepat hari ini, hingga bisa menyempatkan diri langsung menuju rumah sakit untuk memastikan perihal tes pack semalam. Sudah pasti jawabannya positif! Kantung janin sudah terlihat tadi saat diUSG. Kalo ditanya kenapa Gladis tak merasa sedih atau menangis, jawabannya karena Gladis sudah matang dalam segi umur juga pekerjaan, ia bisa membiayai kehidupannya sendiri. Gladis bukan anak SMA yang akan kebingungan sebab takut ketahuan dan dikeluarkan dari sekolah, intinya ia tak sesulit itu. Sulitnya cuma satu, bapak dari anak yang dikandungnya terlalu jahat! Gladis seperti tak rela kalo anaknya punya bapak seperti Artha. Penilaian Gladis berubah 180 derajat setelah melihat dan mendengar ucapan Artha tempo hari paska kejadian. “Ini resep vitamin bisa ditebus di apotek ya, Mbak, terus ini hasil tesnya.” dokter Kina menyodorkan dua kertas pada Gladis. Gladis menerimanya dan segera keluar ruangan. Ia sengaja memperlambat jalannya menuju apotek guna menebus obat. Gladis masih mengawang-awang apa yang benar-benar harus ia lakukan setelah ini. Atau gak usah? Gak usah nebus obat? Gladis benar – benar tak rela punya anak dari Artha, entahlah dia hanya merasa anaknya tak boleh punya bapak seburuk Artha. Bakal kecewa kalo punya bapak seperti Artha. Gue gugurin aja! <<<°°°>>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN