Kesalahan Satu Malam

1512 Kata
11:09 WIB Gladis duduk pada salah satu kursi yang menghadap langsung ke pantry sebuah club malam terkenal di kotanya. Hal paling lumrah pada kehidupan orang seumuran Gladis adalah berpesta. Peralihan masa remaja menuju dewasa, membuat beberapa orang memilih merehatkan badan dengan bersenang – senang di sini, termasuk Gladis. Awal ia masuk perusahaan adalah masa paling berat, masa percobaan ditambah tekanan yang membebaninya membuat Gladis memutuskan bermain sesekali bersama Flora atau yang lain. Hanya sebentar, karena dia mulai sadar kembali sesaat setelah melihat Nenek tertidur di sofa menanti kepulangannya setiap pulang larut. Gladis mulai meninggalkan perilaku buruknya itu beberapa bulan belakangan, menolak ajakan teman – temannya dan lebih memilih pulang awal untuk menemani sang Nenek makan malam di rumah. Hal itu berjalan sesuai apa yang ia rencanakan hingga akhirnya dia kembali paksa untuk menjajaki tempat ini lagi setelah acara reuni SMA tadi. Mata Gladis menatap ke arah Edward, Artha, Dante, Flora, dan Helena yang menari asik di antara kerumunan orang di tengah-tengah ruangan, dengan alunan musik yang memekakkan telinga. Sedangkan, dia dan Bagas memilih duduk memperhatikan mereka. Hanya bertujuh, Candra dan Naura memilih pulang karena Naura sedang hamil muda. Gladis masih memiliki prinsip untuk hanya sekedar menghibur diri melihat orang lain menari di atas lantai club dari pada ikut menggoyangkan tubuhnya, juga hanya meminum setengah gelas jenis alkohol dengan kadar rendah. Selebihnya ia akan duduk dan meminum air putih. “Lo masih suka Gavin Dis?” Bagas memulai pembicaraan. “Gak tau,” jawab Gladis spontan. “Dia udah punya cewek, Dis.” Ya, Gavin sudah punya kekasih baru, teman kuliahnya di Inggris. Ada sedikit sengatan dalam hati kecil Gladis mengetahui hal itu, tapi mau gimana lagi? Gladis yang menyudahi hubungan di antara mereka dulu. “Yaudah... Terus kenapa?” Gladis menoleh ke arah Bagas, “Lo sakit hati,” ujar Bagas mantap, “Enggak!” “Gue gak nanya, gue bilang.” Bagas menegaskan pada Gladis. Gladis diam, mana mungkin dia bisa berbohong pada Bagas yang sedari dulu menemaninya? Yang menjadi teman curhatnya sejak dulu? Bagas bisa dikatakan paham betul sifat dan kelakuan Gladis. “Ya, mungkin bukan jodoh gue kali, Gas.” Gladis berucap sambil meminum minuman yang ada di gelas kecil sampingnya. Namun seketika raut wajah Bagas panik melihat Gladis akan meminum habis cairan dari gelas itu. “Gladis! Itu vodka punyanya Edward!” “Bukan ini air gue!” Setelahnya Gladis langsung meminum habis minuman yang ada di gelas tersebut, tanpa merasakan terlebih dahulu. Langsung ditengak habis, beberapa sengatan kecil baru terasa saat minuman itu telah tandas. “Ini airnya, itu Vodka bodoh!” Telunjuk Bagas ke arah gelas yang lain yang ada di meja pantry. Balkan 176 Vodka dengan kandungan alkohol 88% perbotol, dipesan oleh Edward yang memiliki toleransi alkohol yang bisa diacungi jempol. Minuman itu sendiri tampak seperti air putih, tak berwarna juga tak ada bau. “Gila! Lo kan gak bisa minum, Dis!” Bagas makin panik saat melihat Gladis menjatuhkan kepala yang sebelumnya telah gadis itu pegang, tanda dirinya akan kehilangan kesadaran. Terakhir yang Gladis dengar adalah Bagas berteriak berusaha memanggil teman – temannya. <<<°°°>>> Gladis membuka mata tepat setelah matahari muncul, dia merasa badannya sakit semua. Wanita itu juga merasa kamar Flora agak beda dari biasanya, sejak kapan Flora punya selimut tebal warna abu – abu, biasanya seprei kamar Flora itu merah gelap. Namun, karena ia rasa badannya memang butuh istirahat ia kembali melanjutkan tidurnya, mungkin tadi malem dia mabuk dan ikut berjoget bersama yang lain. Hingga beberapa saat kemudian Gladis mencium aroma kamar yang ia tempati, dan mulai termenung. Manly banget parfumnya Flora? Seketika Gladis membuka matanya, ia langsung terduduk dan menyadari jika tubuhnya tak mengenakan pakaian sehelai pun. Tuhan! Gladis juga sadar ini bukan kamar Flora, kamar bernuansa gelap dengan pintu balkon yang terbuat dari kaca besar menampakkan pemandangan kotanya dari ketinggian gedung. Berbeda jauh dengan kamar Flora yang ada di lantai bawah dengan pemandangan kebun belakang rumah. Ting! Gladis menoleh, melihat ada pesan masuk ke dalam ponselnya yang berada di nangkas samping tempat tidur. Fionana Dis maaf, semalem gue salah masukin elo ke mobil orang Sialan! Terus dia dimana ini? Matanya menatap nanar dress yang ia pakai semalam sobek tergeletak naas di lantai. Bagaimana? Sesaat kemudian pintu bilik yang Gladis yakini merupakan pintu kamar mandi terbuka. Menampilkan sosok lelaki yang baru menyelesaikan mandinya dan sedang mengusap rambut basah dengan handuk keluar, lelaki itu menunduk hanya memakai celana training hitam tanpa atasan. Mata mereka bertemu saat akhirnya lelaki itu mendongak, seakan waktu berhenti sejenak di sana. Padangan mereka tak terdefinisi, bertanya – tanya akan hal yang telah mereka lakukan, hingga si lelaki tersadar lebih dulu. “Gladis maafin gue.” Pria itu berjalan menghampiri Gladis, Gladis langsung menangis sambil menenggelamkan wajahnya ke dalam pangkuan, tubuhnya masih dibalut selimut tebal milik Artha. <<<°°°>>> Mata Gladis menatap keluar jendela mobil, pandangannya tampak kosong. Menyesali hal apa yang terjadi semalam, dia tak inget sama sekali, dan Gladis yakin dia mabuk berat. Bodoh banget ngapain lo minum vodka punya Edward?! Gladis terus merutuki dirinya, menyumpah serapahi dirinya sendiri yang tak hati – hati dalam menjaga diri hingga hal yang tak diinginkan terjadi. Flashback on “Kita–?” tanya Gladis masih menangis dan menangkup wajahnya, “Dis, maaf gue gak sengaja. Gue mabuk dis, gue gak bisa na–“ Artha duduk di atas ranjang samping Gladis, mungkin saat ia bangun, dia tak sadar ada Gladis di sampingnya, dan baru sadar sesaat setelah usai mandi melihat Gladis sudah terduduk kaku di atas ranjang. “Gue gak keluar di dalem kok! Sumpah, lo gak bakal hamil!" Artha berucap sambil mengacungkan kedua tangannya Gladis masih terus menangis, hingga Artha memeluknya dan menyembunyikan tubuh kecil Gladis dalam pelukannya. Artha memilih diam, Karena berbicara saat wanita menangis itu percuma. Pelukan yang Artha beri cukup lama, hingga tangisan Gladis berangsur reda. “Lo mandi ya, gue anterin pulang,” ujar Artha saat Gladis mengangkat wajahnya Gladis diam dan mengangguk kecil, tapi matanya menatap dress yang dia gunakan semalam. Tangisnya masih sesenggukan. “Gue beliin baju, bentar!” Artha bangkit dan mengambil kaos oblong. Sesegera mungkin dia keluar kamar dan menuju toko pakaian dekat rumah. Flashback off Hal semalam bagi Artha mungkin hal biasa, dia kaya dan punya segalanya, kejadian seperti itu lumrah bagi dirinya. Akan tetapi, berbeda dengan Gladis, kenakalan Gladis paling parah adalah bermain ke club malam, tanpa melakukan pergaulan bebas dengan berhubungan dengan sembarang pria. Pengalaman pertama Gladis yang seharusnya ia lakukan dengan suaminya kini tinggal angan, Gladis merasa dirinya sudah tak pantas lagi menjadi wanita yang dicap baik. “Dis, sumpah gue gak keluar di dalem! Lo gak bakal hamil, Dis, jangan khawatir!” ucap Artha kembali bersuara melihat Gladis yang tak berbicara satu katapun. Gladis hanya diam tak menangapi. Kepalanya masih pusing, ia memilih menolak ajakan Artha untuk sarapan. Ia yakin wajahnya pucat pasi, semoga saja Neneknya sedang keluar rumah. Tepat di depan rumah Gladis, mobil Artha berhenti. Artha kembali menghadap Gladis dan memegang tangan kecil wanita itu, matanya menatap memohon pada Gladis. “Dis, gue yakin banget lo gak bakal hamil, percaya sama gue. Lupain kejadian ini ya, lupain seolah kita gak pernah ngelakuinnya, gue bakal transfer berapapun yang lo mau,” ujar Artha sambil menggenggam tangannya. Brengsek! Tapi Gladis hanya mengangguk, ia tak mau berurusan dengan Artha lagi. “Gue trans–“ “Gak usah! Gak perlu!” saut Gladis cepat. Artha tersenyum canggung dan melepas tangan Gladis. Setelahnya Gladis keluar mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Beruntung Neneknya sedang keluar, jadilah dia tak akan mendapat pertanyaan aneh – aneh dari sang Nenek. Ting!! Tanda pesan masuk, Gladis membuka tas yang ia gunakan semalam dan mengambil ponselnya, dia bahkan masih berdiri setelah menutup pintu kamar. Tangannya dengan cekatan membuka pesan yang masuk padanya. Fionanana Dis Lo punya nomernya Helena? Si Artha minta Emang dasar b******k ya tetep aja kayak gitu. Gladis membanting ponselnya bersamaan dengan tubuhnya ke atas ranjang, dia merasa jika Artha emang tak punya rasa bersalah. b******n mana yang minta nomer wanita lain setelah meniduri anak orang?! Namun, setelahnya Gladis terduduk kembali, dia tak akan menangis lagi, hidup terus berjalan dan dia yakin tak hanya dirinya yang kehilangan mahkota paling berharga bagi wanita di luar pernikahan, suatu hari dia pasti akan bertemu pria lain yang nerima apa adanya dia. Selain Artha Tangan Gladis membalas pesan Fiona dan memberikan nomer milik Helena. Lantas ia keluar kamar, berniat untuk sarapan. “Lho, Dis, udah pulang?” Mata Gladis melihat ke luar rumah, Neneknya baru sampai dengan belanjaan di tangannya. “Iya, Nek, Gladis laper!” jawab Gladis sambil mengambil roti berniat memanggangnya, “Nenek nanti masak lodeh kesukaan kamu, bantuin ya!” ujar sang Nenek sambil menata belanjaan diatas meja makan. “Siap, Nek!” “Baju kamu baru, Dis?” Gladis menatap baju yang ia pakai, tadi Artha sempat membelikan dia celana training berwarna merah muda dan kaus lengan pendek berwarna putih dengan gambar kartun. Gladis ingat jika Artha juga membelikan sepasang pakaian dalam. “Punyanya Flora, Nek." “Yaudah, kamu makan ya, nanti abis itu bantuin Nenek." <<<°°°>>>
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN